Minggu, 29 September 2013

HERMENEUTIKA



Pendahuluan
            Teori tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula sangat dekat kerjanya dengan Biblical Studies, dengan munculnya buku Truth and Method (1960) oleh Hans-Geor Gadamer, maka hermeneutika mengembangkan mitra kerjanya pada semua cabang ilmu.
Gadamer mendasarkan klaimnya pada argumen bahwa semua disiplin ilmu, termasuk ilmu alam, mesti terlibat dengan persoalan understanding yang muncul antara hubungan subyek dan obyek.[1]
Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Hermeneutik Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter hermeneutis dari pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat (atau harus bersifat) “hermeneutis”.

           
Asal – Usul dan Definisi Hermeneutika.
            Hermeneutika merupakan satu di anatara beberapa teori yang menawarkan pendekatan baru dalam ilmu – ilmu sosial .pemikiran hermeneutika sosial ini dikembangkan oleh Friederich Schleiermacher (1768 – 1834), Wilhelm Dilthey (1833 – 1911), Gadamer (1900- ), dan lain –lain. Di tangan mereka , pemikiran hermeneutika yang ada pada awalnya sebagai teori memahami tekstulis atau kitab suci, kemudian mendapat perluasan objek, yaitu ‘teks’ kehidupan sosial. Hal ini mereka maksudkan untuk melakukan terobosan metodologi baru dalam ilmu – ilmu sosial atas hegemoni paradigmapositivisme.[2]
            Sebelum lebih jauh melhat pemikiran hermeneutika sosial, ada baiknya diuraikan sekilas pengertian hermeneutika dan perkembangannya. Istilah hermenetika berasal dari kataYunani :hermeneuein artinya “tafsiran”. Dalam tradisi Yunani kuna kata hermeneuein dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan ( to say), menjelaskan ( to explain ), dan menerjemahkan ( to translate ).
                Pada umumnya bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan.
Hermes diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang diyakini sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Hermes yang dikenal oleh orang Arab sebagai Idris as, disebut Enoch oleh orang Yahudi.  Baik Idris as, Hermes, Thoth, dan Enoch adalah merupakan orang yang sama. Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain ,hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks.  Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
            Dalam perkembangannya, hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep Bleicher membagi pembahasan hermeneutika menjadi tiga, yaitu hermeneutika sebagai sebuah metodologi, hermeneutika sebagai filsafat, dan hermeneutika sebagai kritik.
            Sementara Richard E. Palmer menggambarkan perkembangan pemikiran hermeneutika menjadi enam pembahasan, yaitu hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, hermeneutika sebagai metode filologi, hermeneutika sebagai pemahaman linguistic, hermeneutika sebagai pondasi dari ilmu sosial – budaya ( geisteswissenschaft), heremeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Melihat luas dan kompleksnya pembahasan hermeneutika, pada kesempatan ini hanya akan dikaji sebagiannya saja, terutama kaitanya sebagai pendekatan dalam ilmu sosial – budaya.

Sebagai Pendekatan dalam Ilmu – Ilmu Sosial.
            Seperti yang telah disinggung, fokus utama problem hermeneutika sosial adalah untuk menerobos otoritas paradigm positivisme dalam ilmu – ilmu sosial dan humanities. Dengan demikian pembahasan hermeneutika pada umumnya merupakan problem filsafat ilmu bukan problem metafisika yang mempersoalkan realitas. Melainkan cara pandang untuk memahami realitas, terutama realitas sosial, seperti ‘teks’ sejarah dan tradisi.
            Wilhelm Dilthey mengajukan sebuah dikotomi antara metode erklaren untuk ilmu – ilmu  alam dan metode verstehenuntuk ilmu – ilmu sosial. Metode erklaren adalah metode khas positivistik  yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa ‘perilaku’ alam menurut hukum sebab – akibat, sedangkan metode verstehen yaitu pemahaman subjektif atas makna tindakan – tindakan sosial, dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa dunia kehidupan sosial. Dengan demikian sebuah pendekatan dalam ilmu sosial, hermeneutika tidak  bisa dipisahkan dengan pendekatan sebelumnya ( fenomenologi). Sedangkan metodologis pendeskripsian fenomenologis adalah penafsiran.
            Dengan demikian, hermeneutika merupakan penafsiran atas dunia kehidupan sosal ini. Konsep penafsiran dan pemahaman ini sekal lagi merupakan usaha untuk mengatasi objektivisme dari positivisme yang secara berat sebelah melenyapkan peranan subjek dalam bentuk kenyataan sosial. Jelasnya, apa yang dalam fenomenologi disebut ‘kesadaran yang mengkonstitusi kenyatan’ dan yang kemudian dalam hermeneutic ditunjukkan dalam pengertian kata hermeneutic itu sendiri (yakni penafsiran) adalah menunjukkan peranan subjek dalam kegiatan pengetahuan.
            Untuk melihat peranan subjek dalam proses penafsiran dibawah ini akan dibahas secara ringkas pemikiran hermeneutika yang ditawarkan beberapa filsuf, yaitu Schleier macher dan Dilthey (sebagai wakil filsuf hermeneutika Romantik) dan Gadamer.

Hans-Georg Gadamer (1900-1998).
            Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis. Gadamer melontarkan konsep “pengalaman” historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian, peristiwa, perjumpaanGadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada.3
Dia umpamakan pemahaman manusia sebagai interpretasi-teks. Dalam proses memahami teks selalu didahului oleh pra-pemahaman sang pembaca dan kepentingannya untuk berpatisipasi dalam makna teks. Kita mendekati teks selalu dengan seperangkat pertanyaan atau dengan potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon ekspektasi inilah kita memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh realitas sejarah. Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut dengan effective historical consciousness yang struktur utamanya adalah bahasa.
Menurut Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga adalah tidak terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha keluar dari lingkaran tersebut. Menurut Gadamer, ketika kita berusaha memahami sebuah teks kita akan berhadapan dengan koherensi relatif dari ruang lingkup makna. Jadi, sebenarnya ada dua metode yang perlu dihindari ketika memahami sesuatu. Pertama, sikap reduktif ketika dengan seenaknya  memasukkan konsep kita sendiri dengan berlebih-lebihan ke dalam ruang lingkup budaya, sehingga menafikan kekhususan maknanya; kedua, sikap self-effacement ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri dengan berusaha masuk ke dalam kacamata orang lain. Kedua metode tersebut tidak menyelesaikan persoalan ilmu yang objektif karena masih terjerat dengan dikotomisasi antara subjek atau objek, padahal kondisi primordial kita melampaui hubungan antara subjek dan objek.4
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks.5
        

Kesimpulan :

Dari uraian diatas bisa dipahami bahwa pada awalnya hermeneutika sebagai teori memahami tekstulis atau kitab suci, kemudian mendapat perluasan objek, yaitu ‘teks’ kehidupan sosial. Hal ini mereka maksudkan untuk melakukan terobosan metodologi baru dalam ilmu – ilmu sosial atas hegemoni paradigmapositivisme.

Hermenetika berasal dari katayunani :hermeneuein artinya “tafsiran”. Dalam tradisi Yunani kuna kata hermeneuein dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan ( to say), menjelaskan ( to explain ), dan menerjemahkan ( to translate ).
            Dalam perkembangannya, hermeneutika terdapat beberapa pembahasan salah satunya sebagai pendekatan dalam ilmu-lmu sosial. Dengan demikian pembahasan hermeneutika pada umumnya merupakan problem filsafat ilmu bukan problem metafisika yang mempersoalkan realitas. Melainkan cara pandang untuk memahami realitas, terutama realitas sosial, seperti ‘teks’ sejarah dan tradisi.
            Sebuah dikotomi yang berupa metodeerklarendan metode verstehen.. Metode erklaren adalah metode khas positivistik  yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa ‘perilaku’ alam menurut hukum sebab – akibat, sedangkan metode verstehen yaitu pemahaman subjektif atas makna tindakan – tindakan sosial, dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa dunia kehidupan sosial.
            Salah satu Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri.
            Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. ”. Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks.

Referensi :

1.      Armas,Adnin dari Alan How, The Habermas-Gadamer, lihat Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika, h.  5.
2.      Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com.
3.      http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika.11 mei 2013, 20.00 WIB.
4.      http://Khuailidmoh.Files.Wordpress.com/ 11 mei 2013, 20.00 WIB.
5.      Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar,2004.





[2] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar,2004

3 Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini