Kamis, 06 Desember 2012

Filsafat Klasik Antara Plato dan Aristoteles


 Pendahuluan
Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dan dunia yang kita sebut "filosofis" dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsepsi-konsepsi religius dan etis warisan; kedua, semacam penelitian yang biasa disebut "ilmiah" dalam pengertian yang luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem-sistem yang dibuat oleh para filosof secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tetapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu, mencirikan filsafat.
Filsafat, sebagaimana yang disampaikan Bertrand Russell, adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Semua pengetahuan yang definitif adalah termasuk sains, sedangkan semua dogma, yang melampaui pengetahuan definitif termasuk ke dalam teologi. Namun, di antara keduanya terdapat sebuah wilayah yang tidak dimiliki oleh seorang manusia pun, wilayah tak bertuan ini adalah filsafat.
Hampir semua persoalan yang sangat menarik bagi pikiran-pikiran spekulatif tidak bisa dijawab oleh sains, dan jawaban-jawaban yang meyakinkan dari para teolog tidak lagi terlihat begitu meyakinkan sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Apakah dunia ini terbagi menjadi dua; jiwa dan materi, dan jika "ya", apakah jiwa dan materi itu? Apakah jiwa tunduk pada materi, ataukah jiwa dikuasai oleh kekuatan-kekuatan independen? Apakah alam semesta ini memiliki kesatuan atau maksud tertentu?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat ditemukan di laboratorium. Teologi berusaha memberikan jawaban yang sangat definitif, namun jawaban-jawaban tersebut mengundang kecurigaan pikiran-pikiran modern. Mempelajari pertanyaan-pertanyaan tersebut, jika bukan menjawabnya, adalah urusan filsafat.
Filsafat dimulai di Yunani pada abad ke 6 SM. Setelah memasuki zaman kuno, filsafat kembali ditenggelamkan oleh teologi ketika agama Kristen bangkit dan Roma jatuh. Periode kejayaan filsafat yang kedua adalah abad ke-11 – 14 dan diakhiri dengan kebingungan-kebingungan yang berpuncak pada reformasi. Periode ketiga, dari abadke-17 sampai sekarang.
Di antara seluruh filsuf, baik pada zaman kuno, pertengahan maupun modern, Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh paling berpengaruh. Dengan demikian, dalam sejarah tentang pemikiran filsafat memang sangatlah perlu membicarakan pemikiran dari Plato dan Aristoteles. Tulisan ini berusaha untuk memberikan gambaran singkat tentang pemikiran keduanya, khususnya ketiak membicarakan tentang realitas yang sesungguhnya. Rujukan utama yang digunakan penyusun dalam penulisan makalah ini adalah buku "History of Western Philosophy and its Connection with Political and social Circumstances from the Earlies Times to the Present Day" karya Bertrand Russell, yang diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk dalam "Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang".

Pembahasan
A. Biografi Plato dan Aristoteles
Deskripsi biografi Plato dan Aristoteles dianggap perlu dikemukakan karena sangat mustahil untuk membicarakan pandangan seorang filsuf tanpa membicarakan biografinya.
1. Plato
Plato (427-347 SM) dilahirkan di lingkungan keluarga bangsawan kota Athena. Semenjak muda ia sangat mengagumi Socrates (470-399), seorang filsuf yang menentang ajaran para sofis, sehingga pemikiran Plato sangat dipengaruhi sosok yang di kemudian hari menjadi gurunya tersebut. Plato memiliki bakat yang sangat besar untuk menjadi pengarang, terbukti hingga saat ini setidaknya 24 dialog Plato dianggap sebagai kesusastraan dunia. Sebagaimana Socrates, Plato selalu mengadakan percakapan dengan warga Athena untuk menuliskan pikiran-pikirannya. Pada tahun 387 SM, Plato mendirikan sekolah filsafat yang dinamakannya Akademia.
Salah satu pemikiran pemikiran Plato yang terkenal ialah pandangannya mengenai realitas. Menurutnya realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia: dunia yang terbuka bagi rasio dan dunia yang hanya terbuka bagi panca indra. Dunia pertama terdiri atas idea-idea dan dunia berikutnya ialah dunia jasmani. Pemikiran Plato tersebut bahkan berhasil mendamaikan pertentangan antara pemikiran Heraklitus dan Parmenides. Pemikiran Plato inilah yang akan penyusun jadikan sebagai tema pembahasan dalam makalah ini.
2. Aristoteles
Aristoteles (384-322) berasal dari Stagyra di daerah Thrace, Yunani Utara. Ia belajar di sekolah filsafat yang didirikan Plato dan tinggal di Akademi hingga Plato meninggal dunia. Dua tahun kemudian Aristoteles diangkat sebagai guru pribadi Alexander Agung, barulah setelah Alexander Agung dilantik sebagai raja ia mendirikan sekolah yang dinamakannya Lykeion. Sebagaimana Plato yang sangat mengagumi gurunya, Aristoteles pun sangat mengagumi Plato sebagai pemikir dan sastrawan meskipun dalam filsafatnya Aristoteles menempuh jalan yang berbeda. Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang berpendapat bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- "Amicus Plato, magis amica veritas" yang artinya: "Plato memang sahabatku, tapi kebenaran lebih akrab bagiku" – ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi “Saya mencintai Plato, tapi saya lebih mencintai kebenaran”.
Aristoteles menyatakan kritik yang sangat tajam terhadap pandangan Plato mengenai konsep idea-idea. Ia bahkan menawarkan konsep baru yang dikemudian hari dinamakan hilemorfisme sebagai alternative bagi ajaran Plato mengenai idea-idea. Sekalipun demikian tidak dapat disangsikan Aristoteles tetap berutang budi kepada Plato karena dialah yang pertama kali mengungkap tentang idea-idea.
B. Pemikiran Plato
Diantara pemikiran Plato yang terpenting adalah teorinya tentang ide-ide, yang merupakan upaya permulaan yang mengkaji masalah tentang universal yang hingga kini pun belum terselesaikan.Teori ini sebagian bersifat logis, sebagian lagi bersifat metafisis. Dengan pendapatnya tersebut, menurut Kees Berten (1976), Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Heraklitus dengan pendapatnya Permenides, menurut Heraklitus segala sesuatu selalu berubah, hal ini dapat dibenarkan menurut Plato, tapi hanya bagi dunia jasmani (Pancaindra), sementara menurut Permenides segala sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, ini juga dapat dibenarkan menurut Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Plato menjelaskan bahwa, jika ada sejumlah individu memiliki nama yang sama, mereka tentunya juga memiliki satu "ide" atau "forma" bersama. Sebagai contoh, meskipun terdapat banyak ranjang, sebetulnya hanya ada satu "ide" ranjang. Sebagaimana bayangan pada cermin hanyalah penampakan dan tidak "real". Demikian pula pelbagai ranjang partikular pun tidak real, dan hanya tiruan dari "ide", yang merupakan satu-satunya ranjang yang real dan diciptakan oleh Tuhan. Mengenai ranjang yang satu ini, yakni yang diciptakan oleh Tuhan, kita bisa memperoleh pengetahuan, tetapi mengenai pelbagai ranjang yang dibuat oleh tukang kayu, yang bisa kita peroleh hanyalah opini.
Perbedaan antara pengetahuan dan opini menurut Plato adalah, bahwa orang yang memiliki pengetahuan berarti memiliki pengetahuan tentang "sesuatu", yakni "sesuatu" yang eksis, sebab yang tidak eksis berarti tidak ada. Oleh karena itu pengetahuan tidak mungkin salah, sebab secara logis mustahil bisa keliru. Sedangkan opini bisa saja keliru, sebab opini tidak mungkin tentang apa yang tidak eksis, sebab ini mustahil dan tidak mungkin pula tentang yang eksis, sebab ini adalah pengetahuan. Dengan begitu opini pastilah tentang apa yang eksis dan yang tidak eksis sekaligus.
Maka kita tiba pada kesimpulan bahwa opini adalah tentang dunia yang tampil pada indera, sedangkan pengetahuan adalah tentang dunia abadi yang supra-inderawi; sebagai misal, opini berkaitan dengan benda-benda partikular yang indah, sementara pengetahuan berkaitan dengan keindahan itu sendiri. Dari sini Plato membawa kita pada perbedaan antara dunia intelek dengan dunia inderawi. Plato berusaha menjelaskan perbedaan antara visi intelektual yang jelas dan visi persepsi inderawi yang kabur dengan jalan membandingkannya dengan indera penglihatan. Kita bisa melihat obyek dengan jelas ketika matahari menyinarinya; dalam cahaya temaram penglihatan kita kabur; dan dalam gelap gulita kita tidak dapat melihat sama sekali. Menurutnya, dunia ide-ide adalah apa yang kita lihat ketika obyek diterangi matahari, sedangkan dunia dimana segala sesuatu tidak abadi adalah dunia kabur karena temaramnya cahaya. Namun untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang dimaksudnya, Plato memberikan sebuah tamsil, yakni tamsil tentang gua.
Menurut tamsil itu, mereka yang tidak memiliki pengetahuan filsafat bisa diibaratkan sebagai narapidana dalam gua, yang hanya bisa memandang ke satu arah karena tubuhnya terikat, sementara di belakangnya ada api yang menyala dan di depannya ada dinding gua. Mereka hanya dapat melihat bayang-bayang yang dipantulkan pada dinding gua oleh cahaya api. Mereka hanya bisa menganggap bayang-bayang itu sebagai kenyataan dan tidak dapat memiliki pengertian tentang benda-benda yang menjadi sumber bayang-bayang.
Sedangkan orang yang memiliki pengetahuan filsafat, ia gambarkan sebagai seorang yang mampu keluar dari gua tersebut dan dapat melihat segala sesuatu yang nyata dan sadar bahwa sebelumnya ia tertipu oleh bayang-bayang. Namun ketika ia kembali ke gua untuk memberitahukan kepada teman-temannya tentang dunia nyata, ia tidak dapat lagi melihat bayang-bayang secara jelas jika dibandingkan dengan teman-temannya, sehingga di mata teman-temannya ia tampak menjadi lebih bodoh daripada sebelum ia bebas.
Demikianlah pemikiran Plato mengenai realitas yang sebenarnya. Teori Plato tentang ide-ide tersebut, menurut penyusun, mengandung sekian kesalahan yang cukup jelas. Kendati demikian, pemikiran itu pun menyumbangkan kemajuan penting dalam filsafat, sebab inilah teori pertama yang menekankan masalah universal, yang dalam pelbagai bentuknya, masih bertahan hingga sekarang.
C. Pemikiran Aristoteles
Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk). Menurut teori ini, setiap benda jasmani memiliki dua hal yaitu bentuk dan materi. Sebagai contoh, sebuah patung pasti memiliki dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan bentuk misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimungkinkannya ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari materi dan bentuk. Bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka konsekuensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.
Lebih lanjut, Aristoteles mengajukan sebuah argumen yang sangat baik untuk menyanggah teori idea Plato. Argumen yang paling kokoh adalah tentang "orang ketiga"; jika seorang manusia adalah manusia karena ia menyerupai manusia ideal, maka masih harus ada manusia lainnya lagi yang terhadapnya manusia biasa dan manusia ideal tadi mempersamakan diri.
Kini kita sampai pada pernyataan baru, yang pada mulanya akan terkesan sulit. Dikatakan bahwa jiwa adalah "forma" dari tubuh. Dalam sistem pemikiran Aristoteles, jiwalah yang menyebabkan tubuh menjadi sesuatu, yang memiliki kesatuan dan tujuan. Tujuan mata adalah untuk melihat, namun mata tidak dapat melihat jika dipisahkan dari tubuh. Sebenarnya, yang melihat adalah jiwa.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Ini sangat berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hilemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sesuatu dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitus dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah.
Kesimpulan
Dari pembahasan singkat mengenai pemikiran Plato dan Aristoteles di atas, dapat kita simpulkan adanya perbedaan yang cukup mendasar antara keduanya tentang realitas hakiki. Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan) dalam diri seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Ini adalah persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").
Sedangkan Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. idea kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadaran oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea bawaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini