KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan rohmat, hidayah dan inayahNya kepada
penulis sehingga penulis bias menyelesaikan makalahini dengan baik dan lancar.
Mengingat kurangnya kemampuan dan keterbatasan
penulis dalam menyelesaikan makalah ini, penulis meyakini bahwa tugas ini tidak
dapat terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Atas bimbingan dan bantuan tersebut tiada yang dapat penulis ucapkan selain ucapan terima kasih, kepada :
Atas bimbingan dan bantuan tersebut tiada yang dapat penulis ucapkan selain ucapan terima kasih, kepada :
1. Allah
SWT yang telah memberikan nikmat sehat dan segala barokah-Nya
2. Dosen
Pembimbing, Muh.
Latief Fauzi, S.H.I., M.S.I., M.A
3. Seluruh
pihak yang membantu yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Demikian
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu
penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat bagi kita
semua.
Semoga
makalah ini dapat kita ambil manfaatnya bersama, khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi para pembaca.
Surakarta,29 Mei 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL ............................................................................................................ i
KATA
PENGANTAR......................................................................................................... ii
DAFTAR
ISI......................................................................................................................... iii
BAB
I : PEMBUKAAN......................................................................................................
A.
Latar Belakang...........................................................................................................
B.
Rumusan Masalah......................................................................................................
C.
Tujuan Penulisan........................................................................................................
BAB
II :
PEMBAHASAN...................................................................................................
A.
Pengertian Hukum
Taklifi..........................................................................................
B.
Pembagian Hukum Taklifi.........................................................................................
BAB
III : PENUTUP.............................................................................................................
Kesimpulan...............................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam islam terdapat berbagai
macam hukum, diantaranya adalah hukum taklifi. Hukum Taklifi adalah
sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk
berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya. Begitu juga terdapat macam-macam hukum taklifi. Makalah ini
akan menjelaskan pengertian dari macam-macam hukum tersebut.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa pengertian Hukum Taklifi?
2.
Bagaimana pembagaian Hukum Taklifi?
C.
Tujuan penulisan
1.
Menjelaskan pengertian Hukum Taklifi.
2.
Menjelaskan pembagaian Hukum Taklifi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi
adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk
berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya.
1. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut
untuk melakukan perbuatan:
وَاَقِيْمُوا الصَّلَوةَ
وَآتُوا الزَّكَوةَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
"Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat
dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi Rahmat." (QS. An-Nur :
56)
2. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut
meninggalkan perbuatan:
وَلاَ تَأْكُلُوْا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Janganlah kamu memakan harta di antara
kamu dengan jalan bathil." (QS. Al-Baqarah : 188)
3. Contoh firman Allah yang bersifat memilih:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلاَسْوَدِ مِنَ
اْلفَجْرِ
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (QS. Al-Baqarah
: 187)
Macam-macam
hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:
1. Ijab
Yaitu tuntutan syar'i yang bersifat untuk
melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkan
dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur :56
وَاَقِيْمُوا الصَّلَوةَ وَآتُوا الزَّكَوةَ....
artinya:
"Dan
dirikanlah shalat dan tunaikan zakat..."
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr,
yang menurut ahli para Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu
kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan
perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan
perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan sholat dan membayar zakat),
disebut dengan wajib. Oleh sebab itu, istilah ijab menurut ulama Ushul
Fiqh, terkait dengan khithab (tuntutan) Allah, yaitu ayat di atas,
sedangkan wujub merupakan akibat dari khithab tersebut dan wajib
adalah perbuatan yang dituntut oleh khithab Allah.
2. Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu
perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga
seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya
tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub,
sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah
: 282. Allah SWT berfirman:
يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْآ اِذَا تَدَا يَنْتُمْ
بِدَيْنٍ اِلَى اَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ....
Artinya:
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..."
Lafadz faktubuhu (maka tuliskanlah
olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah (wujub),
tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang
terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-Baqarah : 283):
...
فَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ اَمَنَتَهُ....
Artinya:
"Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya..."
Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah
menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat,
yaitu allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang
tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan nadb,
sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan
utang-piutang disebut mandub, dan akibat dari tuntutan Allah di atas
disebut nadb.
3. Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah
dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya firman
Allah dalam surat Al-An'am : 151:
...
وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ ....
Artinya:
"...Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan
Allah..."
Khithab (ayat) ini
disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut harman,
dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang,
disebut dengan haram.
4. Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat
memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini
disebut juga karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb.
Misalnya hadits Nabi Muhammad SAW:
اَبْضُ
اْلحَلَالِ عِنْدَاللَّهِ الطَّلَاقُ
Artinya:
"perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah
talak." (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan
Hakim).
khithab hadits ini
disebut karahah dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan karahah,
sedangkan perbuatan yang dikenai khithab ini disebut makruh.
5. Ibahah
Yaitu khithab Allah yang bersifat
memilih, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama.
Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan
perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah
dalam surat Al-Maidah : 2
...
وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا....
Artinya:
"Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah
haji, maka bolehlah kamu berburu."
Ayat ini juga menggunakan lafadz amr
(perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasi yang
memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah,
dan akibat dari khithab ini juga disebut dengan ibahah, sedangkan
perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
B. Pembagian Hukum Taklifi
1. Wajib
Para ulam Ushul Fiqh
mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari berbagai segi, antara lain:
a.
Dilihat dari segi waktu.
Ø Wajib al-muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syari' untuk
dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Misalnya,
kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar
sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia
melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan saja.
Ø Wajib al-mu'aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan
orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa
Ramadhan. Shalat wajib (Shubuh, Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, dan 'Isya') harus
dikerjakan pada waktunya, demikian juga puasa Ramadhan. Waktu di sini merupakan
bagian dari kewajiban itu sendiri, sehingga apabila belum masuk waktunya,
kewajiban itu belum ada.
b.
Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan.
Ø Wajib al-muhaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan
ukurannya oleh syara' dengan ukuran tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib
dizakatkan dan jumlah raka'at dalam shalat. Jumlah dan ukuran ini tidak boleh
diubah, ditambah, atau dikurangi.
Ø Wajib ghairu al-muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara'
ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama dan pemimpin umat
untuk menentukannya. Misalnya, penentuan hukuman dalam jarimah ta'zir
(tindak pidana di luar hudud dan qishash) yang diserahkan kepada
para qadhi (hakim). Dalam penentuan hukuman ini, para hakim harus
berorientasi pada tercapainya tujuan syara' dalam mensyari'atkan suatu hukuman
dan bersifat adil.
c.
Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban.
Ø Wajib al-'aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap
pribadi orang mukallaf. Misalnya, kewajibab melaksanakan shalat bagi
setiap orang mukallaf.
Ø Wajib al-kifa'i adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh
orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari
mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya
tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah,
melaksanakan amr ma'ruf nahi munkar, dan menjawab salam ketika berkumpul
bersama orang banyak.
Akan tetapi, wajib al-kifa'i bisa
berubah menjadi wajib al-'aini apabila yang bertanggung jawab dalam
kewajiban tersebut hanya satu orang. Misalnya, menolong orang yang tenggelam di
laut atau di sungai merupakan wajib al-kifa'i, karena semua orang yang
menyaksikannya wajib menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang yang
menyaksikan peristiwa itu hanya satu orang yang pandai berenang, maka waib
al-kifa'i yang dikenakan kepada
sejumlah orang itu berubah menjadi wajib al-'aini bagi orang yang pandai
berenang tersebut.
d.
Dilihat dari segi kandungan perintah.
Ø Wajib al-mu'ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu
yang diperintahkan, seperti sholat, puasa, dan harga barang dalam jual beli.
Shalat dan puasa dikerjakan yang pada dirinya adalah wajib, dan harga barang
yang dibeli itu juga wajib ada dan wajib diserahkan.
Ø Wajib al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang bisa
dipilih orang mukallaf. Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah:89,
mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas, memberi makan fakir miskin,
memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak.
2. Mandub
Para ulama Ushul Fiqh
membagi mandub menjadi 3 macam, antara lain:
a.
Sunnah al-Mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)
Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan
mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang
meninggalkannya mendapat celaan. Di antaranya adalah shalat-shalat sunah
sebelum dan sesudah mengerjakan shalat lima waktu (shalat fardu'), seperti
shalat sunah dua raka'at sebelum shubuh, dua raka'at sebelum dan setelah
Zhuhur, dan berkumur-kumur waktu berwudhu', adzan, berjama'ah.
b.
Sunnah ghairu al-Mu'akkadah (sunah biasa)
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan
mendapat pahala, apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat
celaan dari syar'i, seperti bersedekah, shalat sunnah dhuha dan puasa setiap
hari Senin dan Kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama fiqh
disyari'atkan, tetapi tidak senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW. Sunah seperti
ini disebut juga dengan istilah mushtahab atau nafilah.
c.
Sunnah al-Za'idah (sunah yang bersifat tambahan)
Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang
dilakukan Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila
tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan
seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah SAW sebagai
manusia biasa, seperti cara tidur, cara makan, dan cara berpakaian. Apabila
hal-hal seperti ini dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti apa yang
dilakukan Rasulullah SAW, maka disebut sunah Za'idah.
3. Haram
a. Haram li dzatihi
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak
semula ditentukan Syar'i tentang keharamannya. Misalnya memakan bangkai, babi,
berjudi, meminum minuman keras, berzina, membunuh dan memakan harta anak yatim.
Keharaman dalam contoh ini adalah keharaman pada zat (esensi) pekerjaan itu
sendiri. Akibatnya, apabila melakukan suat transaksi dengan sesuatu yang haram li
dzathihi ini, hukumnya menjadi batal, dan tidak ada akibat hukumnya.
b.
Haram li ghairihi
Yaitu sesuatu yang pada mulanya
disyari'atkan, tetapi dibarengi oleh sesuatu yang bersifat mudarat bagi
manusia, maka keharamannya adalah disebabkan adanya mudarat tersebut. Misalnya,
melaksanakan shalat dengan pakaian hasil ghashab (mengambil barang orang
lain tanpa izin), melakukan transaksi jual beli ketika suara adzan shalat
Jum'at telah berkumandang, pernikahan tahalal, puasa di Hari Raya Idul Fitri.
4. Makruh
Ulama hanafiyyah membagi
makruh dalam dua bentuk, yaitu:
a. Makruh Tanzil
Yaitu sesuatu yang dituntut Syar'i untuk
ditinggalkan, tetapi dengan tuntunan yang tidak pasti. Makruh tanzih
dalam istilah ulama hanafiyyah ini sama dengan pengertian makruh di kalangan
Jumhur Ulama. Misalnya, memakan daging kuda yang dikemukakan di atas.
b.
Makruh Tahrim
Yaitu tuntutan Syar'i untuk meninggalkan suatu
perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada
dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan emas
bagi kaum lelaki, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah SAW:
"Keduanya ini (emas
dan sutera) haram bagi umatku yang laki=laki dan halal bagi wanita." (H.R. Abu Daud, An-Nasai', Ibn Majah, dan
Ahmad Ibn Hanbal).
5. Mubah
Pembagian mubah menurut
ulama Ushul Fiqh dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan
manfaat, antara lain:
a.
Mubah yang apabila
dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti makan, minum,
berpakaian dan berburu.
b.
Mubah yang apabila
dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan ini sendiri
pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini di antaranya, melakukan sesuatu
dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak
ada makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak dimakan,
maka seseorang akan meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti ini
makan daging babi untuk sekedar mempertahankan nyawa termasuk mubah. Atau
sesuatu yang pada dasarnya wajib dilaksanakan, tetapi karena darurat, maka
boleh ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi orang hamil, musafir dan ibu
yang menyusui anaknya.
Sesuatu yang
pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara', tetapi
Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Misalnya
mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam, seperti mengawini bekas istri ayah
(ibu tiri) dan mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian
datang syari'at islam yang mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan
bahwa orang yang telah melakukannya sebelum islam dimaafkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut
suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat , atau memberikan
pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya.
Macam-macam hukum taklifi
menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:Ijab, Nadb, Ibahah, Karahah, Tahrim.
2.
Pembagian Hukum Taklifi
a.
Wajib
1) Dilihat dari segi waktu,
yaitu wajib al-muthlaq dan wajib al-mu’aqqat.
2) Dilihat dari segi ukuran
yang diwajibkan, yaitu wajib al-muhaddad dan wajib ghairu al-muhaddad.
3) Dilihat dari segi orang
yang dibebani kewajiban, yaitu wajib al-‘aini dan wajib al-kifa’i.
4) Dilihatdarisegikandunganperintah, yaituwajibal-mu’ayyandanwajib
al-mukhayyar.
b.
Mandub
1) Sunah al-Mu’akkadah (sunah yang
sangatdianjurkan).
2) Sunahghairu al-Mu’akkadah (sunahbiasa).
c.
Haram
1) Haram li dzatihi.
2) Haram li ghairihi.
d.
Makruh
1) Makruhtanzih.
2) Makruhtahrim.
e.
Mubah.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafe’i, Rahmat. 2010. IlmuUshulFiqihcet.IV. Bandung: CV
PustakaSetia.
Haroen, Nasrun. 1996. UshulFiqih 1. Jakarta: Logos.
terima kasih....
BalasHapusSama-sama
Hapuskak aku bolwh minta file word nya gak ?
BalasHapus