Sabtu, 11 Juli 2015

SUNNAH

BAB I
PENDAHULUAN
   A.   Latar Belakang
Sunnah sering disamakan dengan hadits, artinya semua perkataan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menyetujui perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, misalnya Kholid bin Walid memakan daging biawak, Rasulullah SAW membiarkannya maka hal itu dikesani bahwa Nabi tidak mengharamkannya.
Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Dalam kajian ushul fiqh, as-Sunnah merupakan metode untuk menjelaskan al-Qur’an, oleh karena itu fungsi as-Sunnah adalah penjelas, penafsir, menguat, penambah, dan pengkhusus berbagai hukum yang terdapat dalam al-Qur’an yang masih global atau masih multitafsir dan adapula yang masih mubham.
   B.   Rumusaan Masalah
1.     Apa pengertian Sunnah?
2.     Apa macam-macam Sunnah?
3.     Bagaimana periwayatan Sunnah?
4.     Apa fungsi dari Sunnah?
5.     Bagaimana kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum?
   C.   Tujuan Masalah
1.     Untuk mengetahui pengertiaan Sunnah
2.     Untuk mengetahui macam-macam Sunnah
3.     Untuk mengetahui periwayataan Sunnah
4.     Untuk mengetahui fungsi Sunnah
5.     Untuk mengetahui kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum




BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian sunnah
1.     Secara etimologi
Makna kata sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela.
Sabda rasulullah SAW :
مَنْ سَنَّ فِى الاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرَهُ وَ اَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ .

Artinya: “Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam Islam, maka ia menerima pahalannya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya”. (H.R. Muslim )
2.     Secara terminologi
Pengertian sunnah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu ;
a.     Ilmu hadits
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
b.     Ilmu ushul fiqhi
Segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
c.      Ilmu fiqhi
Salah satu hukum takhlifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Para ulama islam mengutip kata Sunnah dari al-Qur’an dan bahasa Arab yang mereka gunakan dalam artian khusu yaitu: ”cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama”.
Kata Sunnah sering disebut dengan kata ”kitab”. Di kala kata sunnah dirangkaikan dengan kata “kitab”, maka Sunnah berarti: “cara-cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang disarankan dari Nabi Muhammad SAW”; atau “suatu amaliah agama yang telah dikenal oleh semua orang”. Kata Sunnah dalam artian ini adalah “bid’ah” yaitu amaliah yang diadakan dalam urusan agama yang belum pernah dilakukan oleh Nabi.
Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan   dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.
Perbedaan ahli ushul dengan ahli fiqh dalam memberikan arti arti pada Sunnah sebagaimana disebutkan diatas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauannya. Ulama ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Maksutnya adalah “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai salah satu dari hukum syara’.
Kata “Sunnah” sering diidentikkan dengan kata “Hadits”. Kata “Hadits” ini sering digunakan oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama dengan kata “Sunnah” menurut pengertian yang digunakan kalangan ulama ushul.
Dikalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dan Hadits, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi; sedangkan Sunnah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.

B.   Macam-macam sunnah
1.     Pembagian sunnah dari segi bentuknya:
a.     Sunnah Qauliyyah
Adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar oleh sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang lain.
Contoh sunnah qauliyyah:                               
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Artinya: Dari Annas ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:”Belum beriman salah seorang dari kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.
b.     Sunnah Fi’liyah
Adalah semua perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui atau diperhatikan oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapannya.
Contoh sunnah fi’liyah:                                                              
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيْمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِيي قَالَ: فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ تُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
Artinya: Dari ubbad bin tamim, dari pamannya, ia berkata: “Saya melihat Rasullah SAW pada hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya: “Maka beliau membalikkan tubuhnya membelakangi jama’ah menghadap kiblat dan berdoa, kemudian beliau membalikkan selendangnya, kemudian beliau shalat bersama kami dua rekaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rekaat itu”.  
Sunnah fi’liyyah pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1)    Gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum.
Misalnya; tata cara shalat, puasa, haji, transaksi dagang,tata cara makan dll.
Perbuatan ini dapat diketahui dengan adanya petunjuk dari beliau sendiri, atau karena adanya petunjuk (qarinah) lain, baik dari Al-Qur’an maupun dari sifat perbuatan Rasulullah SAW.
2)    Perbuatan yang khusus berlaku bagi Rasulullah SAW.
Misalnya; beristri lebih dari 4 orang, wajib melaksanakan shalat tahajjud, berkurban, shalat witir, dll. Semua perbuatan itu bagi umatnya tidak wajib.
3)    Perbuatan dan tingkah laku Nabi berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti: shalat, puasa, jual beli, utang piutang, dll.
c.      Sunnah Taqririyah
Adalah perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi, namun Nabi diam, maka hal ini merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat dibedakan pada dua bentuk:
1)    Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa si pelaku berketerusan melakukan perbuatan yang pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Diamnyan Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
2)    Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibahah atau meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan; sedangkan Nabi bersifat ma’shum (terhindar dari kesalahan).
 Contoh sunnah taririyyah:
       عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيْدِ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيْلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لاَ وَلَكِنَّهُ لاَ يَكُنونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
Artinya: Dari Khalid bin Walid ra katanya: “Kepada Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada beliau: “Itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata: “Apakah haram memakannya?”  Beliau menjawab: “Tidak,tetapi binatang jenis itu tidak biasa ditemukan didaerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya”. Maka Khalid memakannya, sedang Rasulullah memandanginya.

C.   Periwayatan Sunnah
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya sekitar abad ketiga Hijriah.
   Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi sampai kepada orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas oran yang membawa khabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.
   Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membawa khabar itu kepada tiga tingkatan:
1.     Khabar mutawatir, yaitu khabar yang disampaikan secara berkesinambungan oleh orang banyak kepada orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2.     Khabar masyhur, yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak yang untuk selanjutnya disampaikan pula kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3.     Khabar ahad, yaitu khabar yang disampaikan dan diterima dari nabi secara perorangan dan dilanjutkan periwayatannya samapai kepada perawi akhir secara perorangan pula.
Perbedaan yang jelas diantara ketiganya adalah:
1.     Khabar mutawatir diterima dan disampaiakan dari pangkal sampai keujung secara mutawatir.
2.     Khabar masyhur yaitu khabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perseorangan, kemudian dilanjutkan sampai ke ujungnya secara mutawatir.
3.     Khabar ahad diterima dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya secara perorangan.
Tingkat kebenarannya yang paling tinggi adalah khabar mutawatir, khabar masyhur, lalu barulah khabar ahad.

D.   Kebenaran khabar dari segi Ibarat yang Digunakan Pembawa berita dalam menyampaikan berita
Sebagaimana telah diuraikan bahwa kebenaran suatu Sunnah Nabi tergantung pada kebenaran berita yang disampaikan pembawa berita tentang Sunnah itu. Tingkat kebenaran berita dapat diketahui dari kuantitas pembawa berita, juga dari ibarat yang digunakan pembawa berita itu.
   Dalam hal ini terdapat beberapa tingkat kebenaran:
1.     Tingkat yang terkuat, bila pembawa berita mengatakan, “Saya mendengar bahwa Nabi bersabda” atau “Nabi memeberitakan kepada saya” atau, “Nabi berbicara dengan saya”.
Bentuk penyampaian seperti ini menunjukkan suatu seperti tentang adanya ucapan nabi dan tidak ada kemungkinan lain.
2.     Penyampaian berita berkata, “Rasul Allah berkata.” Bentuk seperti ini, dan yang biasa ditemui dalam periwayatan, menurut zhahirnya memang berbentuk penukilan berita, tetapi tidak menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa ia menerima sendiri secara langsung ucapan Nabi itu.
3.     Bila pembawa berita mengatakan, “Nabi menyuruh kami berbuat ini”, atau “Nabi melaran kami mengerjakan itu”. Kelemahan periwayatan seperti ini karena ditemukan ada dua kemungkinan dalam ucapannya itu. Pertama dalam hal pendengarnya terhadap ucapan Nabi. Kedua tentang adanya “suruhan”, karena seorang pendengar kadang menganggap sesuatu seperti suruhan tetapi sebenernya bukan suruhan.
4.     Pembawa berita berkata, “Adalah nabi Muhammad SAW menyuruh begini atau melarang begitu”. Pemberitaan dalam bentuk ini lebih lemah dibandingkan dengan tiga bentuk sebelumnya karena adanya kemungkinan-kemungkinan sebagaimana terdapat pada tingkat sebelumnya, juga ada kemungkinan yang menyuruh atau melarang bukan Nabi secara langsung.
5.     Si pembawa berita berkata bahwa ia melakukansesuatu kemudian ia meng-hubungkan kepada suatu masa dengan Nabi dan tidak ada reaksi dari Nabi tentang itu. Hal tersebut menjadi dalil kebolehan berbuat sesuatu itu.

E.   Fungsi Sunnah
Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian  fungsi Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an.
Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1.     Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam al-Qur’an.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:
وَ أَقيموا الصلاة واتوا الز كاة ....
Dan diriknlah shalat dan tunaikanlah zakat....
2.     Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an dalam hal:
a.     Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an
b.     Merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar
c.      Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum
d.     Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an
3.     Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an.  Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya”.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara terbatas.

F.      Penjelasaan Sunnah terhadap Hukum dalam Al-Qur’an.
Pada dasarnya Sunnah Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-Qur’an dalam segala bentuknya. Allah SWT menetapkan hukum dalam al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengamalan hukum Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana menurut apa adanya sebelum diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian penjelasan Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Penjelasan Nabi terhadap hukum dalam al-Qur’an memiliki beberapa bentuk:
1.     Nabi memberi penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh umat sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Cara seperti ini sesuai dengan pesan Allah. Karena umat Islam yang menerima penjelasan waktu itu masih sederhana cara berfikirnya, maka penjelasan Nabi terlihat begitu sederhana sehingga mudah dipahami dan cepat dilaksanakan oleh umat.
2.     Nabi memberikan penjelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara nyata terdapat disekitar lingkungan kehidupan waktu itu.
Dengan demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an mudah diterima dan dijalankan oleh umat. Penjelasan yang melampaui dari hal itu atau yang tidak ada pada waktu itu tentu tidak akan dapat dipahami oleh umat.  

G.  Sunnah Berdaya Hukum
Dari satu segi Sunnah adalah segala apa yang dikatakan Nabi, diperbuat Nabi atau yang diakui Nabi. Di sisi lain umat dituntut untuk mengikuti semua Sunnah Nabi itu. Di antara Sunnah itu ada yang tidak mesti diikuti oleh umat, bahkan ada yang dilarang umat melakukannya. Dalam hal ini ulama mengelompokkan Sunnah menjadi dua kelompok:
1.     Sunnah bukan tasyri atau Sunnah yang tidak berdaya hukum, yaitu Sunnah yang tidak harus diikuti dan oleh karenanya tidak mengikat.
Sunnah yang tidak berdaya hukum itu ada tiga macam:
a.     Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari hajat insani dalam kehidupan keseharian Nabi dalam pergaulan, seperti: makan, tidur, kunjungan, sopan dalam bertamu , cara berpakaian dan lain ucapan serta perbuatan Nabi sebagai seorang manusia biasa.
b.     Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi, kebiasaan dalam pergaulan, seperti: urusan pertanian dan kesehatan badan, cara berjual beli dan memelihara ternak.
c.      Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi dalam keadaan dan lingkungan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan barisaan dan penentuan tempat dalam peperangan.
Semua yang dinukil dari Nabi dalam tiga bentuk tersebut tidak mempunyai daya hukum mengikat yang mengandung tuntutan atau larangan. Umat dapat saja mengikuti apa yang dilakukan Nabi itu kerena ia adalah Sunnah, namun sifatnya tidak mengikat.
2.     Sunnah tasyri atau Sunnah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti. Sunnah dalam bentuk ni ada tiga macam:
a.       Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian risalah dan penjelasan terhadap Al-Qur’an; seperti menjelaskan apa-apa yang dalam Al-Qur’an masih bersifat belum jelas, membatasi yang umum, memberi qayid yang masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadat, halal dan haram, ‘aqidah dan akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul termasuk Sunnah berdaya hukum.
Tasyri’ dalam bentuk ini berlaku secara umum sampai hari kiamat dan dalam pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain pengetahuan akan adanya sunnah itu.
b.     Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai imam dan pemimpin umat Islam, seperti mengirim pasukan untuk jihad, membagi harta rampasan, menggunakan bait al-maal, mengikat perjanjian dan tindakan lain dalam sifatnya sebagai pemimpin.
Sunnah tasyri’ dalam bentuk ini tidak berlaku secara umum untuk semua orang dan dalam pelaksanaannya tergantung kepada izin atau persetujuan imam atau pemimpin.
c.      Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim atau qadhi yang menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam. Daya hukum dalam bentuk ini, seperti halnya dalam bentuk yang sebelumnya, tidak bersifat umum dan dapat dilakukan oleh perorangan dengan penunjukan dari imam atau penguasa.
Sunnah berdaya hukum sebagaimana disebutkan di atas secara garis besarnya mengandung beberapa bidang sebagai berikut:
a)    Aqidah
Sunnah tidak dapat menetapkan dasar aqidah karena aqidah itu menimbulkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang pasti. Tidak ada yang mungkin menghasilkan keyakinan yangpasti itu kecuali yang pasti pula.
Sunnah atau qath’i ialah sunnah yang baik dari segi lafadznya, atau wurudnya maupun dari segi dilalahnya adalah qath’i atau pasti.
b)    Akhlaq
Dalam sunnah atau hadits banyak sekali disampaikan Nabi hikmah-hikmah, adab sopan santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara langsung maupun dalam bentuk pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati janji; atau celaan terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan umat. Sunnah tersebut menuntut munculnya manusia sempurna yang juga dikehendaki oleh rasa yang dan pandangan yang wajar.
c)     Hukum-hukum Amaliyah
Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadat, pengaturan mu’amalat antar manusia; memisahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban; menyelesaikan persengketaan diantara umat secara adil. Hukum-hukum yang diperoleh dari sunnah (dalam bentuk ini) disebut Fiqh Sunnah;sedangkan haditsnya sendiri disebut  Hadits Ahkam.hadits-hadits dalam bentuk inilah yang dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqh sesudah Al-Qur’an.

H.  Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum
Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, Sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
Kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada 3 hal, yaitu:
1)    Sunnah sebagai Ta’kid (penguat) Al-Qur’an
Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak heran kalau banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
2)    Sunnah sebagai Penjelas Al-Qur’an
Sunnah adalah penjelas (bayanu tasyri’) sesuai dengan firman Allah surat An-Nahl ayat 44:
وَ أَنْزَلَ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ للنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.
Artinya:
Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir.(Q.S. An-Nahl:44)
Penjelasan sunah terhadap Al-Qur’an dapat dikategorikan menjadi 3 bagian:
a.     Penjelasan terhadap hal yang global.
Seperti diperintahkannya shalat dalam Al-Qur’an tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh sunah sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى.               
Artinya:
“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat.”
b.     Penguat secara mutlaq. Sunnah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada dalam Al-Qur’an.
c.      Sunnah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qur’an yang masih umum.
3)    Sebagai Musyar’i (pembuat syari’at)
Sunnah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam Al-Qur’an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:
a.     Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Qur’an.
b.     Sunnah tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam Al-Qur’an, tetapi hanya memuat hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Qur’an.

  


BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela. Sunnah dibagi menjadi 3 bagian:
   1.     Sunnah Qauliyah
   2.     Sunnah Fi’liyyah
   3.     Sunnah Taqririyyah
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya sekitar abad ketiga Hijriah.
     Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi sampai kepada orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas oran yang membawa khabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.
Fungsi sunnah adalah Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an.
Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat Al-Qur’an, sebagai penjelas Al-Qur’an, dan sebagai musyar’i.
  



DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 2010, Jakarta: Amzah.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 2008, Jakarta: Kencana.
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, 2008, Bandung: Pustaka Setia.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, 2010, Bandung: Pustaka Setia.
Saeful Hadi, Ushul Fiqih,2009, Yogyakarta: Sabda Media



1 komentar:

Tinggalkan Komentar anda di sini