Pendahuluan
Teori
tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari
kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub
ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu
pengetahuan adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu
dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah
filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu
tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula sangat dekat kerjanya dengan Biblical
Studies, dengan munculnya buku Truth and Method (1960) oleh
Hans-Geor Gadamer, maka hermeneutika mengembangkan mitra kerjanya pada semua
cabang ilmu.
Gadamer mendasarkan klaimnya pada argumen bahwa semua disiplin ilmu, termasuk ilmu alam, mesti terlibat dengan persoalan understanding yang muncul antara hubungan subyek dan obyek.[1]
Gadamer mendasarkan klaimnya pada argumen bahwa semua disiplin ilmu, termasuk ilmu alam, mesti terlibat dengan persoalan understanding yang muncul antara hubungan subyek dan obyek.[1]
Hermeneutika adalah kata
yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Hermeneutik
Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan Eropa, yang
menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis
sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter
hermeneutis dari pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat
(atau harus bersifat) “hermeneutis”.
Asal
– Usul dan Definisi Hermeneutika.
Hermeneutika
merupakan satu di anatara beberapa teori yang menawarkan pendekatan baru dalam
ilmu – ilmu sosial .pemikiran hermeneutika sosial ini dikembangkan oleh
Friederich Schleiermacher (1768 – 1834), Wilhelm Dilthey (1833 – 1911), Gadamer
(1900- ), dan lain –lain. Di tangan mereka , pemikiran hermeneutika yang ada
pada awalnya sebagai teori memahami tekstulis atau kitab suci, kemudian
mendapat perluasan objek, yaitu ‘teks’ kehidupan sosial. Hal ini mereka
maksudkan untuk melakukan terobosan metodologi baru dalam ilmu – ilmu sosial
atas hegemoni paradigmapositivisme.[2]
Sebelum lebih jauh melhat pemikiran
hermeneutika sosial, ada baiknya diuraikan sekilas pengertian hermeneutika dan
perkembangannya. Istilah hermenetika berasal dari kataYunani :hermeneuein
artinya “tafsiran”. Dalam tradisi Yunani kuna kata hermeneuein dipakai
dalam tiga makna, yaitu mengatakan ( to say), menjelaskan ( to explain ), dan
menerjemahkan ( to translate ).
Pada umumnya bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu
agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi.
Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa
Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai
utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama
Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan.
Hermes diyakini
oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang diyakini
sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan menginterpretasikan
pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dipahami manusia.
Hermes yang dikenal oleh orang Arab sebagai Idris as, disebut Enoch oleh orang
Yahudi. Baik Idris as, Hermes, Thoth,
dan Enoch adalah merupakan orang yang sama. Sebagai turunan dari simbol dewa,
hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah
kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan
menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain ,hermeneutika
merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi
terhadap sebuah teks. Kata hermeneutika
yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan
sebuah teks.
Dalam
perkembangannya, hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep Bleicher
membagi pembahasan hermeneutika menjadi tiga, yaitu hermeneutika sebagai sebuah
metodologi, hermeneutika sebagai filsafat, dan hermeneutika sebagai kritik.
Sementara
Richard E. Palmer menggambarkan perkembangan pemikiran hermeneutika menjadi
enam pembahasan, yaitu hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci,
hermeneutika sebagai metode filologi, hermeneutika sebagai pemahaman
linguistic, hermeneutika sebagai pondasi dari ilmu sosial – budaya (
geisteswissenschaft), heremeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan
hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Melihat luas dan kompleksnya
pembahasan hermeneutika, pada kesempatan ini hanya akan dikaji sebagiannya
saja, terutama kaitanya sebagai pendekatan dalam ilmu sosial – budaya.
Sebagai Pendekatan
dalam Ilmu – Ilmu Sosial.
Seperti
yang telah disinggung, fokus utama problem hermeneutika sosial adalah untuk
menerobos otoritas paradigm positivisme dalam ilmu – ilmu sosial dan
humanities. Dengan demikian pembahasan hermeneutika pada umumnya merupakan
problem filsafat ilmu bukan problem metafisika
yang mempersoalkan realitas. Melainkan cara pandang untuk memahami realitas,
terutama realitas sosial, seperti ‘teks’ sejarah dan tradisi.
Wilhelm
Dilthey mengajukan sebuah dikotomi antara metode erklaren untuk ilmu –
ilmu alam dan metode verstehenuntuk
ilmu – ilmu sosial. Metode erklaren adalah metode khas positivistik yang dituntut menjelaskan objeknya yang
berupa ‘perilaku’ alam menurut hukum sebab – akibat, sedangkan metode verstehen
yaitu pemahaman subjektif atas makna tindakan – tindakan sosial, dengan
cara menafsirkan objeknya yang berupa dunia kehidupan sosial. Dengan demikian
sebuah pendekatan dalam ilmu sosial, hermeneutika tidak bisa dipisahkan dengan pendekatan sebelumnya
( fenomenologi). Sedangkan metodologis pendeskripsian fenomenologis adalah
penafsiran.
Dengan
demikian, hermeneutika merupakan penafsiran atas dunia kehidupan sosal ini.
Konsep penafsiran dan pemahaman ini sekal lagi merupakan usaha untuk mengatasi
objektivisme dari positivisme yang secara berat sebelah melenyapkan peranan
subjek dalam bentuk kenyataan sosial. Jelasnya, apa yang dalam fenomenologi
disebut ‘kesadaran yang mengkonstitusi kenyatan’ dan yang kemudian dalam
hermeneutic ditunjukkan dalam pengertian kata hermeneutic itu sendiri (yakni
penafsiran) adalah menunjukkan peranan subjek dalam kegiatan pengetahuan.
Untuk
melihat peranan subjek dalam proses penafsiran dibawah ini akan dibahas secara
ringkas pemikiran hermeneutika yang ditawarkan beberapa filsuf, yaitu Schleier
macher dan Dilthey (sebagai wakil filsuf hermeneutika Romantik) dan Gadamer.
Hans-Georg Gadamer (1900-1998).
Gadamer menegaskan bahwa
pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap hermeneutika sebagai
metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada
tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan
melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat
diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis. Gadamer melontarkan konsep
“pengalaman” historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan merupakan bias
persepsi semata tetapi merupakan kejadian, peristiwa, perjumpaanGadamer
menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari
wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman
individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca.
Filsafat
hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis,
dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala
bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan
logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami
secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan
pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu
karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup
kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita
sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan
yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu
ada.3
Dia
umpamakan pemahaman manusia sebagai interpretasi-teks. Dalam proses memahami
teks selalu didahului oleh pra-pemahaman sang pembaca dan kepentingannya untuk
berpatisipasi dalam makna teks. Kita mendekati teks selalu dengan seperangkat
pertanyaan atau dengan potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon
ekspektasi inilah kita memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh
realitas sejarah. Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi
teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut
dengan effective historical consciousness yang struktur utamanya
adalah bahasa.
Menurut
Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki manusia,
namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga adalah tidak
terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha keluar dari
lingkaran tersebut. Menurut Gadamer, ketika kita berusaha memahami sebuah teks
kita akan berhadapan dengan koherensi relatif dari ruang lingkup makna. Jadi,
sebenarnya ada dua metode yang perlu dihindari ketika memahami sesuatu.
Pertama, sikap reduktif ketika dengan seenaknya
memasukkan konsep kita sendiri dengan berlebih-lebihan ke dalam ruang
lingkup budaya, sehingga menafikan kekhususan maknanya; kedua, sikap self-effacement
ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri dengan berusaha masuk ke dalam
kacamata orang lain. Kedua metode tersebut tidak menyelesaikan persoalan ilmu
yang objektif karena masih terjerat dengan dikotomisasi antara subjek atau
objek, padahal kondisi primordial kita melampaui hubungan antara subjek dan
objek.4
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak
pada empat kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap “situasi
hermeneutik”. Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan
melihat seseorang dalam membaca teks. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian
membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca
dalam mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam
membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar
pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus
menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya
harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa
diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki
horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang
akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh
Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. Keempat, langkah selanjutnya adalah
menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak
pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka
setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja
ketika hendak membaca sebuah teks.5
Kesimpulan
:
Dari uraian diatas bisa dipahami bahwa pada
awalnya hermeneutika sebagai teori memahami tekstulis atau kitab suci, kemudian
mendapat perluasan objek, yaitu ‘teks’ kehidupan sosial. Hal ini mereka
maksudkan untuk melakukan terobosan metodologi baru dalam ilmu – ilmu sosial
atas hegemoni paradigmapositivisme.
Hermenetika berasal dari katayunani :hermeneuein artinya
“tafsiran”. Dalam tradisi Yunani kuna kata hermeneuein dipakai dalam
tiga makna, yaitu mengatakan ( to say), menjelaskan ( to explain ), dan
menerjemahkan ( to translate ).
Dalam
perkembangannya, hermeneutika terdapat beberapa pembahasan salah satunya
sebagai pendekatan dalam ilmu-lmu sosial. Dengan demikian pembahasan
hermeneutika pada umumnya merupakan problem filsafat ilmu bukan problem metafisika yang mempersoalkan realitas. Melainkan cara pandang
untuk memahami realitas, terutama realitas sosial, seperti ‘teks’ sejarah dan
tradisi.
Sebuah
dikotomi yang berupa metodeerklarendan metode verstehen.. Metode erklaren
adalah metode khas positivistik yang
dituntut menjelaskan objeknya yang berupa ‘perilaku’ alam menurut hukum sebab –
akibat, sedangkan metode verstehen yaitu pemahaman subjektif atas makna
tindakan – tindakan sosial, dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa dunia
kehidupan sosial.
Salah
satu Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas
hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia
menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger
dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya.
Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami
teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri.
Gadamer
merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci
heremeneutis: Pertama,
kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Kedua,
situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca
yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Ketiga, setelah itu pembaca harus
menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. ”. Keempat, langkah selanjutnya adalah
menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks.
Referensi :
1.
Armas,Adnin
dari Alan How, The Habermas-Gadamer, lihat Adnin
Armas, Filsafat
Hermeneutika, h. 5.
2. Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat
Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com.
5. Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar,2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar anda di sini