BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mendidik adalah tugas utama seorang Guru, di dalam mendidik
terdapat kriteria-kriteria tertentu dalam menentukan apakah siswa atau siswi
yang dididik tersebut berhasil dalam mencapai kompetensi mata pelajaran yang di
pelajari . Dalam menentukan keberhasilan
tersebut guru harus bisa memberi penskoran dan penilaian yang adil dan obyektif
kepada siswa dan siswinya.
Sama halnya seperti seorang ilmuwan , jika seorang ilmuwan
melakukan berbagai eksperimen di dalam laboratorium maka guru pun melakukan hal
yang sama, hanya saja yang menjadi penelitian untuk seorang guru adalah
anak-anak bangsa yang wajib di cerdaskan secara intelektual dan moral yang
baik.
Dalam mencerdasakan anak-anak bangsa , guru harus pandai menentukan
teknik-teknik dalam sistem pemberian skor untuk menilai sejauh mana
keberhasilan siswa dan siswi dalam mengikuti pelajaran. Hasil-hasil tersebut
menjadi tolak ukur bagaimana siswa dan siswi memahami materi pelajaran yang di
ajarkan. Dalam memberikan penilaian pun seorang guru harus memahami apa saja
yang menjadi acuan dan prinsip-prinsip dalam memberikan penilaian secara
obyektif kepada siswa dan siswi .
Makalah ini dibuat sebagai bentuk untuk memahami penguasaan konsep
terhadap materi perkuliahan terkait dengan sistem pemberian skor yang harus dikuasai
oleh mahasiswa sebagai seorang calon pendidik.
Untuk mencapai kompetensi dasar , makalah ini di susun dengan
menggunakan berbagai sumber dari buku referensi yang pembahasannya dapat di
pertanggungjawabkan dan internet seperti yang terdapat dalam daftar pustaka.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
perbedaan penskoran dan penilaian ?
2.
Apa
saja jenis-jenis dalam kunci pemberian skor ?
3.
Apa
saja yang menjadi pedoman dalam penilaian ?
4.
Bagaimana
prinsip-prinsip dalam pemberian penilaian ?
5.
Apa
saja jenis prosedur penilaian ?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
perbedaan penskoran dan penilaian
2.
Mengetahui
jenis-jenis dalam kunci pemberian skor
3.
Mengetahui
teknik-teknik yang tepat untuk memberikan penskoran dan penilaian.
4.
Mampu
membandingkan teknik-teknik yang ada dan menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi
perkembangan dunia pendidikan.
5.
Dapat
mengidentifikasi pedoman atau acuan dalam penilaian
6.
Dapat
menguraikan prinsip-prinsip penilaian
7.
Mampu
mengklasifikasikan jenis prosedur penilaian
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penskoran dan
Penilaian
Penskoran merupakan langkah pertama dalam proses pengolahan hasil
tes pekerjaan siswa. Penskoran adalah suatu proses pengubahan jawaban-jawaban
tes menjadi angka-angka (mengadakan kuantifikasi).
Angka-angka hasil penskoran tersebut kemudian diubah menjadi
nilai-nilai melalui suatu proses pengolahan tertentu. Penggunaan simbol untuk
menyatakan nilai-nilai itu ada yang dengan angka, seperti angka dengan
rentangan 0-10, 0-100, atau 0-4, dan ada pula yang dengan huruf A, B, C, D, dan
E. Yang terjadi selama ini, banyak diantara para guru yang masih
mencampuradukkan antara 2 pengertian yaitu skor dan nilai.
Skor: hasil pekerjaan menskor (=memberikan angka) yang diperoleh
dengan jalan menjumlahkan angka-angka pada setiap butir item yang oleh testee
dijawab dengan betul. Contohnya adalah tes Hasil belajar bahasa inggris
menyajikan 5 butir soal tes uraian dimana disetiap butir soal yang dijawab
dengan betul diberi bobot 10.siswa yang bernama Fatimah, untuk kelima butir
soal tes uraian tersebut memberikan jawaban sebagai berikut:
-
Untuk
butir soal nomer 1 dapat dijawab dengan sempurna, sehingga kepadanya diberikan
skor 10
-
Untuk
butir soal nomer 2 hanya jawab betul separohnya, sehingga skor yang diberikan
kepada siswa tersebut adalah 5
-
Untuk
butir soal nomer 3,hanya sekitar seperempat bagian saja yang dapat dengan
betul, sehingga diberikan skor 2,5
-
Untuk
butir soal nomer 4 dijawab dengnabetul sekitar separuhnya sehingga diberi nilai
5
-
Untuk
butir soal nomer 5 dijawab dengan betul tiga perempatnya, sehingga diberikan
skor 7,5
Dengan demikian untuk kelima butir soal tes uraian tersebut,siswa
Fatimah tersebut mendapatkan skor sebesar = 10 + 5+ 2,5 + 5 + 7,5= 30. Angka 30
disini belum dapat disebut nilai , sebab 30 itu masih merupakan skor mentah
(raw score), yang untuk dapat disebut nilai masih memerlukan pengolahan atau
perubahan (=konversi).
Nilai: angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau
seberapa kemampuan yang telah ditunjukan oleh testee terhadap materi atau bahan
yang diteskan.
Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal,
misalnya sesudah memperoleh skor ulangan harian atau untuk skor gabungan dari
beberapa ulangan dalam rangka memperoleh nilai akhir untuk rapor.
Secara rinci skor dapat dibedakan atas tiga macam,yaitu skor yang
diperoleh, skor sebenarnya, dan skor kesalahan. Kelemahan butir tes, situasi
yang tidak mendukung, kecemasan, dan lain-lain faktor dapat berakibat terhadap
skor yang diperoleh.
Skor sebenarnya sering juga disebut dengan skor univers – skor
alam, adalah nilai hipotesis yang sangat tergantung dari perbedaan individu
berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki secara tetap.
Perbedaan skor yang diperoleh dan skor yang sebenarnya, disebut
dengan istilah kesalahan dalam pengukuran atau kesalahan skor. Hubungan antara
ketiga macam skor tersebut adalah sebagai berikut :
Skor yang diperoleh = skor sebenarnya + skor kesalahan
Cara menskor hasil tes biasanya disesuaikan dengan bentuk soal-soal
tes yang yang dipergunakan, apakah tes objektif atau tes essay. Untuk soal-soal
objektif biasanya setiap jawaban benar di beri skor 1 (satu) dan setiap jawaban
yang salah diberi skor 0 (nol); total skor diperoleh dengan menjumlahkan skor
yang diperoleh dari semua soal. Untuk soal-soal essay dalam penskorannya
biasanya digunakan cara member bobot kepada setiap soal menurut tingkat
kesukarannya atau banyak-sedikitnya unsure yang harus terdapat dalam jawaban
yang dianggap paling baik. Misalnya: untuk soal nomor 1 diberi skor maksimum 4,
untuk soal nomor 3 diberi skor maksimum 6, untuk soal nomor 5 skor maksimum 10,
dan seterusnya.
Dilembaga-lembaga pendidikan kita, masih banyak pengajaran yang
melakukan penskoran soal-soal essay, tanpa pembobotan; setiap soal diberi skor
yang sama meskipun sebenarnya tingkat kesukaran soal-soal dalam tes yang
disusunnya itu tidak sama.
Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, terutama dalam penilaian
soal-soal essay, proses penskoran dan penilaian biasanya tidak dibedakan satu
sama lain; pekerjaan siswa langsung diberi nilai, jadi bukan di skor terlebih
dahulu. Oleh karena itu, hal ini sering kali menimbulkan terjadinya halo effect, yang berarti dalam penilaiannya
itu diikutsertakan pula unsure-unsur yang irelevan seperti kerapian dan
ketidakrapian tulisan, gaya bahasa, atau panjang-pendeknya jawaban sehingga
cenderung menghasilkan penilaian yang kurang andal. Hasil penilaian jadi kurang
objektif. Jika tes yang berbentuk soal-soal essay tersebut dinilai oleh lebih
dari satu orang, sering kali terjadi perbedaan-perbedaan di antara penilai,
bukan juga hasil penilaian seorang penilai sering kali berbeda terhadap
jawaban-jawaban yang sama dari soal tertentu. Kesalahan seperti ini tidak akan
selalu terjadi jika dalam pelaksanaannya diadakan pemisahan antara proses penskoran
dan penilaian.
B. Jenis-Jenis Kunci
Pemberian Skor
Disamping penyusunan dan pelaksanaan tes, menskor dan menilai
merupakan pekerjaan yang menuntut ketekunan yang luar biasa dari penilai,
ditambah dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu. Nama lain dari menskor
adalah memberi angka.
Dalam hal menskor atau menentukan angka, dapat digunakan tiga macam
alat bantu, yaitu :
1) Pembantu menentukan
jawaban yang benar, disebut kunci jawaban
2) Pembantu menyeleksi
jawaban yang benar dan yang salah, disebut kunci skoring
3) Pembantu menentukan
angka, disebut pedoman penilaian
Keterangan dan penggunaannya dalam berbagai bentuk tes.
a. Kunci jawaban dan kunci
pemberian skor untuk tes bentuk pilihan ganda (Multiple Choice)
Dengan bentuk tes seperti ini, testee diminta untuk melingkari atau
tanda silang salah satu pilihan jawaban. Dalam hal menentukan kunci jawaban
untuk bentuk ini langkahnya sama seperti soal bentuk betul salah. Hanya untuk
soal yang jumlahnya melebihi 30 buah, sebaiknya menggunakan lembar jawaban dan
nomor-nomor urutannya dibuat sedemikian rupa sehingga tidak memakan tempat.
Dalam menentukan angka untuk tes bentuk pilihan ganda, dikenal 2
macam cara pula yaitu dengan denda atau rumus tanpa denda. Untuk penskoran
soal-soal objektif jika yang dipergunakan rumus correction for guessing, atau
dapat juga disebut system denda. Rumus perhitungan skor dengan denda adalah :
S= (R – W) : (n – 1)
Untuk multiple choice (obyektif)
Contoh :
- Banyanknya soal = 10 buah
- Yang betul = 8 buah
- Yang salah = 2 buah
- Banyaknya
pilihan = 3 buah
Maka skornya adalah = (10 –
8) - ( 3 – 1 )
= 8 –
1 = 7
Adapun rumus perhitungan skor tanpa denda adalah :
S = R
Keterangan :
S = Skor yang sedang di cari
R = Right (Jumlah Jawaban betul )
Contoh :
Dalam tes hasil belajar bidang study usul fiqh yang diikuti oleh 40
orang siswa madrasah aliyah diajukan 20 butir item tes obyektif, 20 butir
diantaranya adalah obyektif bentuk true - false dengan ketentuan bahwa untuk
setiap butir item yang dijawab betul diberikan bobot 1 dan untuk setiap butir
item yang dijawab salah diberikan bobot 0.
Dalam tes tesebut seorang siswa bernama Basirudin dapat menjawab
dengan betul sebanyak 15 butir item (R=15):berarti jawaban yang salah = 20 -15
= 5 (w=5) sedangkan option = 2 (0=2).
Apabila terhadap jawaban salah itu dikenai sanksi berupa denda,
maka skor akhir yang diberikan kepada basirun adalah : S = (R –W ) : (0 -1 )
= (15 – 5)
: (2 -1)
= 10
Sedangkan apabila terhadap jawaban salah itu tidak dikenai sanksi
berupa denda, maka skor yang diberikan kepada basyirun adalah : S =
R = 15
Untuk tes obyektif bentuk matching, fill in dancompletion
, perhitungan skor akhir pada umumnya tidak memperhitungkan sanksi berupa
denda, sehingga rumus yang digunakan adalah : S = R
Dengan kata lain , skor yang diberikan kepada tesstee adalah sama
dengan jumlah jawaban betulnya.
Contoh :
Tes hasil belajar bidang studi al-Qur’an al-Hadist menyajikan 20
butir item bentuk matching, 20 item
butir bentuk fill in dan 20 butir item bentuk completion. Untuk butir
butir soal bentuk matching siswa bernama ridwan mejawab betul 8 butir, bentuk
fill in di jawab betul 10 butir, sedangkan bentuk completion dijawab betul
sebanyak 4 butir.
Dengan demikian skor yang diberikan kepada siswa bernama
Ridwanadalah sebagai berikut :
·
Untuk
item bentuk matching : S = R = 8
·
Untuk
item bentuk fiil In : S = R = 10
·
Untuk
item bentuk completion : S = R = 4
Adapun untuk tes obyektif bentuk multiple choice items dapat
digunakan salah satu dari dua buah rumus, yaitu rumus dengan denda atau rumus
tanpa denda.
Rumus perhitungan skor dengan denda :
S = R-(W : ( 0-1 ))
Adapun rumus perhitungan skor tanpa denda :
S = R
Dimana:
S = Skor yang sedang di cari
R = Right (jumlah jawaban betul)
W = Wrong (jumlah jawaban salah)
0 = Banyaknya option yang dipasang pada item
1 = Bilangan konstan
Contoh :
Tes hasil belajar bidang studi Aqidah Akhlaq menyajikan 40 butir
item bentuk multiple choice item, yang masing-masing itemnya dilengkapi
dengan 5 buah option. Siswa bernama Dardiri dapat menjawab dengan betul 32
butir item (R = 32), sehingga jawaban salahnya adalah = 40 – 32 = 8 ( W = 8 ).
Dengan demikian apabila dalam pemberian skor akhir diperhitungkan
sanksi berupa denda, maka skor yang diberikan kepada siswa bernama Dardiri itu
adalah :
S = R – (W : (
0-1))
= 32 -
(8 : ( 5-1 ))
= 32 – 2
= 30
Jika tidak dikenai sanksi berupa denda, maka skor yang diberikan
pada siswa bernama Dardiri itu adalah : S = R = 32
Suatu hal yang perlu dicatat ialah, bahwa karena tes obyektif
bentuk multiple choice item terdiri dari berbagai model yang masing-masing
memiliki derajat kesukaran yang berbeda, maka bobot jawaban betul yang
diberikan belum tentu 1, melainkan bisa saja diberikan bobot 1 ½ , 2, 2 ½ ,
3,4, atau 5 misalnya. Dalam hubungan ini, orang yang paling tahu berapa bobot
yang seharusnya diberikan terhadap jawaban betul itu adalah si pembuat soal itu
sendiri, yaitutester , karena dialah orang yang paling tahu mengenai derajat
kesukaran yang dimiliki oleh masing-masing butir item yang dikeluarkan dalam
tes hasil belajar. Sehubungan dengan itu, maka apabila dalam pemberian skor itu
ditentukan bobot (weight) yang berbeda-beda, maka kedua rumus yang telah
disebutkan di atas perlu dimodifikasi menjadi sebagai berikut :
S=R-( W : ( 0-1) Wt
Rumus tanpa denda :
S = R X Wt
Contoh :
Tes hasil belajar bidang studi bahasa arab menyajikan 50 butir item
tes obyektif bentuk multiple choice dengan rincian sebagai berikut :
Nomor urut item
|
Model multiple choice item
|
Jumlah butir item
|
Bobot jawaban betul
|
01-10
|
MCI
Model melengkapi 5 pilihan
|
10
|
1
|
11-20
|
MCI
Model asosiasi dengan 5 pilihan
|
10
|
1 ½
|
21-30
|
MCI
Model melengkapi berganda
|
10
|
1 ½
|
31-40
|
MCI
Model analisis hubungan antar hal
|
10
|
2
|
41-50
|
MCI
model analisis kasus
|
10
|
4
|
Total
|
50
|
-
|
Misalkan dalam tes hasil belajar
tersebut siswa bernama Erlina dari 50 butir utem tes tersebut dapat menjawab
betul sebagai berikut :
Model
multiple choice item
|
Jumlah jawaban betul
|
Melengkapi 5 pilihan
|
8
|
Asosiasi dengan 5 pilihan
|
6
|
Melengkapi berganda
|
4
|
Analisis hubungan antar hal
|
7
|
Analisis kasus
|
3
|
Apabila dalam pemberian skor itu
digunakan sanksi berupa denda, maka skor yang diberikan kepada siswa bernama
Erlina adalah sebagai berikut :
Butir item Nomor
|
Model MCI
|
Option (0)
|
Jawaban Betul (R)
|
Jawaban salah (W)
|
Bobot (Wt)
|
Skor yang diberikan
S=R(W : (0-1))Wt
|
01-10
|
Melengkapi
5 pilihan
|
5
|
8
|
2
|
1
|
8(2:(5-1))1 =7,50
|
11-20
|
Asosiasi
dengan 5 pilihan
|
5
|
6
|
4
|
1 ½
|
6(4 : (5-1))1,5=4,50
|
21-30
|
Melengkapi
berganda
|
5
|
4
|
6
|
1 ½
|
4(6: (5-1))1,5 =1,75
|
31-40
|
Analisis
hubungan antar hal
|
5
|
7
|
3
|
2
|
7(3(5-1))2 =5,50
|
41-50
|
Analisis
kasus
|
5
|
3
|
7
|
4
|
3(7: (5-1))4 =-4,00
|
Total
|
15,25
|
Adapun apabila dalam pemberian skor dilakukan tanpa memperhitungkan
denda, maka dengan menggunakan rumus : S = R x Wt, skor yang diberikan kepada
Erlina adalah sebagai berikut :
Butir item Nomor
|
Skor
|
01-10
|
8 x 1 = 8
|
11-20
|
6 x 1 ½ = 9
|
21-30
|
4 x 1 ½ = 6
|
31-40
|
7 x 2 = 14
|
41-50
|
3 x 4 = 12
|
Total
|
49
|
Kalau saja dalam tes hasil
belajar tersebut seoraeng siswa dapat menjawab dengan betul keseluruhan item
(50 butir item), maka skor yang diberikan kepada siswa tersebut ialah :
Butir item Nomor
|
Skor
|
01-10
|
10 x 1 =10
|
11-20
|
10 x 1 ½ = 15
|
21-30
|
10 x 1 ½ = 15
|
31-40
|
10 x 2 = 20
|
41-50
|
10 x 4 = 40
|
Total
|
100
|
Di samping pendapat yang menganggap perlu digunakannya correction
for guessing dalam penskoran, ada pula pendapat yang menganggap bahwa
penggunaan rumus correction for guessing itu tidak ada gunanya dan
bahkan tidak mengenai sasarannya. Adapun alasan dari pendapat yang terakhir ini
dikemukakan sebagai berikut:
1) Dalam praktik sulit sekali diketahui mana jawaban yang benar dan
atau salah yang diperoleh sebagai hasil terkaan saja, dan mana yang bukan hasil
terkaan.
2)Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan kepada keadaan
kita harus menarik kesimpulan tanpa memiliki data informasi yang lengkap
sehingga kemampuan menggunakan pengetahuan yang tidak lengkap menjadi suatu
tujuan mata ajaran tertentu. Misalnya, sulit bagi kita untuk membedakan secara
halus antara nilai 5 ½, 5 ¾, 5 7/8 dan sebagainya. Persoalan ini akan lebih dipersulit
lagi dengan adanya kebiasan yang salah dari para penilai atau pengajar yang
hanya memakai rentangan angka 5-8, ada yang memakai 5-7, dan semacamnya
sehingga kualitas yang sama tidak dilukiskan dengan nilai yang sama. Atau
dengan kata lain, untuk kualitas kemampuan atau penguasaan yang sama
terlukiskan dalam angka berbeda-beda bagi setiap penilai.
b. Kunci jawaban dan
kunci pemberian skor untuk tes bentuk betul-salah
Untuk tes bentuk betul-salah (true-false) yang dimaksud dengan
kunci jawaban adalah deretan jawaban yang kita persiapkan untuk pertanyaan atau
soal-soal yang kita susun, sedangkan kunci skoring adalah alat yang kita
gunakan untuk mempercepat pekerjaan skoring.
Oleh karena itu dalam hal ini testee (tercoba) hanya diminta untuk
melingkari huruf B atau S, maka kunci jawaban yang disediakan hanya berbentuk
urutan nomor serta huruf dimana kita menghendaki untuk melingkari atau dapat
juga diberi tanda X pada jawabannya.
Misalnya :
1. B 6. S
2. S 7. B
3. S 8. S
4. B 9. S
5. B 10. B
Ada baiknya kunci jawaban ini ditentukan terlebih dahulu sebelum
menyusun soalnya, agar :
- Dapat diketahui
imbangan antara jawab B dan S
- Dapat diketahui letak
atau pola jawaban B dan S
Bentuk tes betul-salah sebaiknya disusun sedemikian rupa sehingga
jumlah jawaban B hampir sama banyaknya dengan jawaban S, dan tidak dapat
ditebak karena tidak diketahui pola jawabannya. Kunci jawaban untuk tes bentuk
ini dapat diganti kunci skoring yang pembuatannya melalui langkah-langkah
sebagai berikut :
Langkah 1 :
Menentukan letak jawaban yang betul.
Misalnya :
1. B - S 3. B - S 5. B - S
2. B - S
4. B - S
Langkah 2 :
Melubangi
tempat-tempat lingkaran sedemikian rupa sehingga lingkaran yang dibuat oleh
testee dapat dilihat.
1. B - S 3. B - S 5. B - S
2. B - S 4. B - S
Catatan :
Dengan pengalaman ini dapat kita ketahui bahwa lubang yang terlalu
kecil berakibat tertutupnya jawaban testee, sedangkan lubang yang terlalu besar
akan saling memotong. Oleh karena itu, cara menjawab dengan member tanda silang
akan lebih baik daripada melingkari. Dengan demikian maka tanda yang dibuat
akan tampak jelas.
Dalam menentukan angka (skor) untuk tes bentuk B-S ini kitadapat
menggunakan 2 cara seperti telah disinggung didepan, yaitu :
- Tanpa hukuman atau tanpa denda
- Dengan hukuman atau
dengan denda
Tanpa hukuman adalah apabila banyaknya angka yang diperoleh siswa
sebanyak jawaban yang cocok dengan kunci. Sedangkan dengan hukuman (karena
diragukan adanya unsur tebakan), digunakan 2 macam rumus, tetapi hasilnya sama.
Pertama, dengan rumus :
S = R - W
Singkatan dari :
S = Score
R = Right
W = Wrong
Skor yang diperoleh siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi
dengan jumlah soal yang salah.
Contoh :
- Banyaknya soal =
10 buah
- Yang betul = 8 buah
- Yang salah = 2 buah
Angkanya adalah : 8 - 2 = 6
Kedua, dengan rumus :
S = T – 2W
T singkatan dari Total, artinya jumlah soal dalam tes.
Contoh diatas dihitung :
- Banyaknya soal = 10 buah
- Yang salah = 2 buah
- Angkanya adalah = 10
– (2 x 2) = 10 – 4 = 6
c. Kunci jawaban dan kunci
pemberian skor untuk tes bentuk jawaban singkat (Short answer test)
Tes berbentuk jawaban singkat adalah bentuk tes yang menghendaki
jawaban berbentuk kata atau kalimat pendek.Bentuk tes ini dapat digolongkan
kedalam bentuk tes obyektif.Tes bentuk isian ini, dianggap setaraf dengan tes
jawaban singkat ini.
Dengan mengingat jawaban yang hanya satu pengertian saja, maka angka
bagi tiap nomor soal mudah ditebak.Usaha yang dikeluarkan oleh siswa sedikit,
tetapi lebih sulit daripada tes bentuk betul-salah atau bentuk pilihan
ganda.Sebaiknya tiap soal diberi angka 2.Dapat juga angka itu kita samakan
dengan angka pada bentuk betul-salah atau pilihan ganda jika memang jawaban
yang diharapkannya ringan atau mudah. Tetapi sebaliknya apabila jawabannya
bervariasi misalnya lengkap sekali, lengkap dan kurang lengkap, maka angkanya
dapat dibuat bervariasi pula misalnya 2; 1,5; dan 1.
d. Kunci jawaban dan kunci
pemberian skor untuk tes bentuk menjodohkan (Matching)
Pada dasarnya tes ini adalah bentuk tes pilihan ganda, dimana
jawabannya dijadikan satu, demikian pula pertanyaan-pertanyaannya. Satu
kesulitan lagi adalah bahwa jawaban yang dipilih dibuat sedemikian rupa
sehingga jawaban yang satu tidak diperlukan bagi pertanyaan lain.
Kunci jawaban tes bentuk ini dapat berbentuk deretan jawaban yang
dikehendaki atau deretan nomor yang diikuti oleh huruf-huruf yang terdapat
didepan alternative jawaban.
Telah dijelaskan bahwa tes bentuk menjodohkan ini adalah tes bentuk
pilihan ganda yang lebih kompleks.Maka angka yang diberikan sebagai imbalan
juga harus lebih banyak.Sebagai ancar-ancar dapat ditentukan bahwa angka untuk
tiap nomor adalah 2.
e. Kunci jawaban dan kunci
pemberian skor untuk tes bentuk uraian (Essay test)
Sebelum menyusun sebuah tes uraian sebaiknya kita tentukan terlebih
dahulu pokok-pokok jawaban yang kita kehendaki. Dengan demikian, akan
mempermudah kita dalam mengoreksinya.
Ada sebuah saran, langkah-langkah apa yang harus kita lakukan pada
waktu kita mengoreksi dan memberi angka tes bentuk uraian. Saran tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Membaca
soal pertama dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban. Dengan membaca
seluruh jawaban, kita dapat memperoleh gambaran lengkap tidaknya jawaban yang
diberikan siswa secara keseluruhan.
2.
Menentukan
angka untuk soal pertama tersebut. misalnya jika jawaban itu lengkap diberi
angka 5, kurang sedikit diberi angka 4, demikian seterusnya.
3.
Memberi
angka bagi soal pertama
4.
Membaca
soal kedua dari seluruh jawaban siswa untuk mengetahui situasi jawaban,
dilanjutkan dengan pemberian angka untuk soal kedua
5.
Mengulangi
langkah-langkah tersebut bagi soal tes ketiga dan seterusnya hingga seluruh
soal diberi angka
6.
Menjumlahkan
angka-angka yang diperoleh oleh masing-masing siswa untuk tes bentuk uraian
Dengan membaca terlebih dahulu seluruh jawaban yang diberikan oleh
ssiswa, kita menjadi tahu bahwa mungkin tidak ada seorang pun dari siswa yang
menjawab dengan betul untuk sesuatu nomor soal. Menghadapi situasi seperti ini,
kita gunakan cara pemberian angka yang relatif. Misalnya untuk sesuatu nomor
soal jawaban yang paling lengkap mengandung 3 unsur, padahal kita menghendaki 5
unsur, maka pada jawaban yang paling lengkap itulah kita berikan angka 5,
sedangkan jika menjawab hanya 2 atau 1 unsur, kita berikan angka lebih sedikit.
Ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau mendasarkan pada norma
kelompok. Apabila memberikan angka berdasarkan pada standar mutlak, maka
langkah-langkahnya akan lain, yaitu :
1.
Membaca
setiap jawaban yang diberikan siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban yang
telah kita susun
2.
Membubuhkan skor disebelah kiri setiap jawaba.
Ini dilakukan per nomor
3.
Menjumlahkan
skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal, dan terdapatlah skor untuk
bagian soal yang berbentuk uraian
Dengan cara kedua ini maka skor siswa tidak dibandingkan dengan
jawaban yang paling lengkap yang diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan
dengan jawaban yang sudah ditentukan oleh guru.
Adakalanya kita dituntut untuk memberikan nilai terhadap prestasi
belajar siswa tanpa memberikan skor terlebih dahulu.Misalnya pada ujian
lisan.Apabila nilai ujian diberikan terhadap setiap butir pertanyaan, cukuplah
memadai.Bahaya yang mengancam kita dalah masuknya unsur subjektivitas dalam
diri kita sehingga kita seringkali melakukan hal-hal diluar keadilan.Untuk
menguragi masuknya unsure subjektivitas dalam penilaian, kita dapat menentukan
sendiri aspek-aspek yang menjadi bagian dari penilaian. Misalnya untuk
penilaian ujian skripsi :
a. Mutu skripsi yang
tersusun, meliputi unsur metodologi dan pembahasan teoritik
b. Cara dan kemampuan
mempertahankan kebenaran pendapatnya
c. Luasnya materi
pendukung yang digunakan untuk menjawab
d. (untuk pembimbing)
kemandirian dan kelancaran dalam konsultasi
Untuk masing-masing aspek dapat ditentukan berapa nilainya,
kemudian dijumlah dan ditentukan nilai akhir.
Dalam menentukan nilai terhadap tiap-tiap aspek ini pun kita
dituntut untuk memberikan pertimbangan yang didasari oleh kebijaksanaan.
Sebenarnya kita dapat mengambil salah satu dari 2 cara dibawah ini, yaitu :
a.
Bertitik
tolak dari batas bawah, yaitu berfikir dari pekerjaan yang paling jelek diberi
nilai berapa, kemudian membandingkan
hasil pekerjaan yang kita hadapi dengan nilai batas bawah tersebut. dari
batas bawah ini kita memberikan tambahan nilai sebanyak jarak antara nilai
batas bawah dengan pekerjaan mahasiswa. Jadi kita berangkat dari bawah, lalu
nik. Menurut pengalaman, pemberian nilai dengan cara ini cenderung menghasilkan
nilai yang rendah.
b.
Bertitik
tolak dari plafon/batas atas. Dengan cari ini kita berfikir mengenai
kesempurnaan pekerjaan tetapi diukur menurut ukuran mahasiswa, bukan diukur
dengan kemampuan dosen atau ahli-ahli yang kita kagumi. Selanjutnya berangkat
dari nilai batas atas tersebut kita kurangkan sedikit-sedikit sejauh
kesenjangan antara nilai batas dengan pekerjaan mahasiswa yang kita hadapi.
Jadi berangkat dari atas kemudian turun. Menurut pengalaman, pemberian nilai
dengan cara ini cenderung menghasilkan nilai yang tinggi.
Cara ini juga bisa diterapkan untuk menilai tugas atau yang
bersifat relatif, yang berupa unjuk kerja atau penampilan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah
tepatnya waktu penyerahan nilai.
f. Kunci jawaban dan
kunci pemberian skor untuk tugas
Kunci jawaban untuk memeriksa tugas merupakan pokok-pokok yang
harus termuat didalam pekerjaan siswa.Hal ini menyangkut criteria teentaang isi
tugass.Namun sebagaai kelengkapan dalam pemberian skor, digunakan suatu tolok
ukur tertentu.
Tolok ukur yang disarankan dalam buku ini sebagai ukuran
keberhasilan tugas adalah :
·
Ketepatan
waktu menyerahkan tugas
·
Bentuk
fisik pengerjaan tugas yang menandakan keseriusan siswa/mahasiswa dalam
mengerjakan tugas
·
Sistematika
yang menunjukkan alur keruntutan pikiran
·
Kelengkapan
isi menyangkut ketuntasan penyelesaian dan kepadatan isi
·
Mutu
hasil tugas, yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan
oleh guru/dosen
Dalam mempertimbangkan nilai akhir perlu difikirkan peranan
masing-masing aspek kriteria tersebut, misalnya :
A1 - ketepatan waktu, diberi bobot 2
A2 - bentuk fisik, diberi bobot 1
A3 - sistematika, diberi bobot 3
A4 - kelengkapan isis, diberi bobot 3
A5 - mutu hasil, diberi bobot 3
Maka nilai hasil akhir tugas tersebut diberikan dengan rumus :
NAT = 2 x A1 + A2 + 3 x A3 + 3 x A4 + 3 x A5
12
NAT adalah Nilai Akhir Tugas.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa di satu pihak kita lihat adanya peranan penting
yang diberikan kepada nilai-nilai sebagai simbol prestasi akademis siswa,
tetapi di lain pihak kita melihat pula adanya kekurangan cara pemberiannya.
C. Pedoman Penilaian
Di dalam setiap kegiatan belajar-mengajar selalu dilakukan
penilaian.Hasil penilaian disajikan dalam bentuk nilai angka atau huruf.Dalam
hal ini, ada lembaga pendidikan yang menggunakan nilai angka dengan skala 0
sampai 100, dan ada pula yang menggunakan nilai angka itu dengan skala 0 sampai
10.Di perguruan tinggi umumnya digunakan nilai huruf, yaitu A, B, C, D, atau E
atauTL. Jika nilai-nilai huruf itu akan digunakan untuk menentukan indeks
prestasi mahasiswa pada akhir semester atau pada akhir suatu program
pendidikan, nilai-nilai huruf itu di transfer ke dalam nilai angka dengan bobot
masing-masing sebagai berikut A=4, B=3, C=2, D=1, dan F(TL)=0
Nilai angka ataupun huruf itu umumnya merupakan hasil tes atau
ujian yang diberikan oleh guru atau dosen kepada para siswa atau mahasiswanya
setelah mereka mengikuti pelajaran selama jangka waktu tertentu.Nilai-nilai
tersebut dimasukkan ke dalam buku laporan pendidikan atau daftar nilai lainnya.
Nilai-nilai yang dimasukkan ke dalam buku rapor dan lain-lain itu merupakan
hasil pengolahan dan skor mentah yang diperoleh dari pekerjaan siswa dalam tes;
atau mungkin juga merupakan hasil pengolahan dari nilai-nilai subsumatif, nilai
tugas penyususnan makalah, dan nilai ujian akhir semester.
Pengolahan nilai-nilai menjadi nilai akhir seorang siswa dapat
dilakukan dengan mengacu pada kriteria atau patokan tertentu. Dalam hal ini
dikenal dengan adanya dua patokan yang umum dipakai dalam penilaian itu, yaitu
“penilaian acuan patokan” dan “penilaian acuan norma”
1.
Penilaian
Acuan Patok (PAP)
Suatu penilaian disebut PAP jika dalam melakukan penilaian itu kita
mengacu pada suatu kriteria pencapain
tujuan (instruksional) yang telah dirumuskan sebelumnya. Nilai-nilai yang
diperoleh siswa dihubungkan dengan tingkat pencapaian penguasaan siswa tentang
materi pengajaran sesuai dengan tujuan (instruksional) yang telah ditetapkan.
Sebagai contoh , misalkan untuk dapat diterima sebagai calon
penerbang di sebuah lembaga penerbangan, setiap calon harus memenuhi syarat
antara lain tinggi badan sekurang-kurangnya165 cm dan memiliki tingkat
kecerdasan (IQ)serendah-rendahnya130 berdasarkan hasil tes yang diadakan oleh
lembaga yang bersangkutan. Berdasarkan criteria atau patokan itu , siapa pun
calon yang tidak memnuhi syarat-syarat tersebut dinyatakan gagal dalam tes atau
tidak akan diterima sebagai siswa calon penerbang.
Perlu kiranya dijelaskan di sini bahwa criteria atau patokan yang
digunakan dalam PAP bersifat mutlak.Artinya, kriteria itu bersifat
tetap-setidak-tidaknya untuk beberapa tahun atau jangka waktu tertentu-dan
berlaku bagi semua siswa yang mengikuti tes di lembaga yang bersangkutan.
2.
Penilaian
Acuan Norma (PAN)
Secara singkat dapat dirumuskan bahwa penilaian acuan norma adalah penilaian yang dilakukan dengan
mengacu pada norma kelompok; nilai-nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan
dengan nilai-nilai siswa yang lain yang termasuk di dalam kelompok itu. Yang
dimaksud dengan “norma” dalam hal ini adalah kapasitas atau prestasi kelompok,
sedangkan yang dimaksud dengan “kelompok” disini adalah semua siswa yang
mengikuti tes tersebut.Jadi, pengertian “kelompok” yang dimaksud dapat berarti
sejumlah siswa dalam suatu kelas, sekolah, rayon, provinsi atau wilayah.
Sebagai contoh kongkret hasil UAN untuk siswa SMP dan SMA/K
merupakan hasil penilaian dengan cara PAP. Akan tetapi, setelah ternyata bahwa
nilai-nalai UN itu pada umunya sangat rendah sehingga tidak memnuhi syarat
untuk dinyatakan lulus, kemudian nilai UN itu diolah ke dalam PAN dengan
menggunakan rumus tertentu dengan maksud agar nilai-nilai tersebut dapat
diperbesar.
Rumus yang digunakan adalah :
P+q+nR(2+n)
Keterangan :
P = nilai rapor semester lima
q = nilai rata-rata subsumatif semester enam
R= Nilai UN murni
n = koefisien dari R
Dengan ketentuan bahwa rentangan harga atau koefisien R bergeral
dari 2 sampai 0,5. Adanya rentangan harga n ini dimaksudkan agar masing-masing
provinsi dapat menggunakan nilai UN disesuaikan dengan kondisi wilayahnya.
Pengolahan nilai dengan cara PAN dapat pula dilakukan dengan
statistik. Dalam hubungan ini, penentuan norma kelompok besarnya prestasi
kelompok yang merupakan acuan penilaian (lihat kembali perumusan tentang PAN)
menggunakan angka rata-rata (mean) atau median. Jika hasil tes dari suatu
kelompok menunjukkan kurva yang mendekati normal, untuk menyatakan normal
kelompok sebaiknya digunakan mean; dan jika hasil tes itu ternyata menunjukkan
kurva yang miring positif atau negatif, lebih dapat menggunakan median sebagai
norma atau prestasi kelompok. Untuk menentukan lebar jarak skala nilai digunakan
rentangan tertentu yang dihitung berdasarkan besarnya devisa standar-bagi
penilaian yang menggunakan mean sebagai norma kelompok atau menggunakan
rentangan persentilk-bagi penilaian yang menggunakan median sebagai norma
kelompok.
Pengolahan nilai secara PAN dapat pula dilakukan dengan statistic.
Dalam hubungan ini, penentuan norma kelompok besarnya prestasi kelompok yang
merupakan acuan penilaian menggunakan angka rata-rata atau median. Jika hasil
tes suatu kelompok menunjukkan kurva yang mendekati normal, untuk menyatakan
norma kelompok sebaiknya digunakan mean; dan jika ternyata hasil tes tersebut
menunjukkan kurva yang miring positif atau negative, lebih dapat menggunakan
median sebagai norma atau prestasi kelompok. Untuk menentukan lebar jarak
skala nilai digunakan rentangan tertentu yang dihitung berdasarkan
besarnya deviasi standar-bagi penilaian yang menggunakan mean sebagai norma
kelompok atau menggunakan rentangan presentik- bagi penilaian yang menggunakan
median sebagai norma kelompok.
Seperti yang sudah disinggung sedikit tentang penggunaan PAN dan
PAP. Didalam PAP, siswa digantungkan dengan sebuah standar tertentu, yang dalam
uraian sebelum ini, dibandingkan dengan standar mutlak, yaitu standar 100.
Penggunaan standar mutlak ini terutama dipertahankan dalam penerapan prinsip
tuntas.
Dalam penggunaan PAN, prestasi belajar seorang siswaa dibandingkan
dengan siswa lain dalam kelompoknya. Kualitas seseorang sangat dipengaruhi oleh
kualitas kelompoknya.
Dasar pikiran dari penggunaan standar ini adalah adanya asumsi
bahwa di setiap populasi yang heterogen, tentu terdapat :
1) Kelompok baik
2) Kelompok sedang
3) Kelompok kurang
Dimulai dengan bakat yang dibawa sejak lahir yang dalam hal ini
tampak sebagai indeks kecerdasan atau IQ, maka seluruh populasi tergambar
sebagai sebuah kurva normal. Apabila anak-anak itu belajar, maka prestasi atau
hasil belajar yang diakibatkan itu pun akan tergambar sebagai kurva normal.
kurva normal
kurva normal
Intelligence
Quotient
prestasi belajar
Penggunaan penilaian dengan norma kelompok atau noma relatif ini
untuk pertama kali dikemukakan pada tahun 1908 (Cureton 1971), dengan landaan
dasara bahwa tingkat pencapaian belajar siswa akan tersebar kurva normal.
Dengan demikian maka penilaian berdasarkan kurva normal merupakan hal yang
tidak dapat dibantah lagi. Apabila standar relatif dan standar mutlak ini
dihubungkan dengan pengubahan skor menjadi nilai, akan terlihat demikian :
a.
Dengan
standar mutlak
1)
Pengmbangan
skor terhadap siswa, didasarkan atas pencapaian siswa terhadap tujuan yang
ditentukan
2)
Nilai
diperoleh dengan mencari skor rata-rata langsung dari skor asal (skor mentah)
Contoh :
- Dari ulangan ke-1,
memperoleh skor 60 (mencapai 60% tujuan)
- Dari ulangan ke-2,
memperoleh skor 80 (mencapai 80% tujuan)
- Dari ulangan ke-3,
memperoleh skor 50 (mencapai 50% tujuan)
Maka nilai siswa tersebut : 60+80+ 50 :3 =63,3 dibulatkan menjadi 63
b.
Dengan
standar relatif
1)
Pemberian
skor terhadap siswa juga didasarkan atas pencapaian siswa terhadap tujuan yang
ditentukan
2)
Nilai
diperoleh dengan 2 cara :
a. Mengubah skor dari
tiap-tiap ulangan lalu diambil rata-ratanya
b. Menjumlahkan skor
tiap-tiap ulangan, baru diubah ke nilai
Persamaan dan Perbedaan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian
Acuan Patokan (PAP)
Penilaian Acuan Norma dan Penilaian Acuan Patokan mempunyai
beberapa persamaan sebagai berikut:
1. Penilaian acuan norma
dan acuan patokan memerlukan adanya tujuan evaluasi spesifik sebagai penentuan
fokus item yang diperlukan. Tujuan tersebut termasuk tujuan intruksional umum
dan tujuan intruksional khusus
2. Kedua pengukuran
memerlukan sample yang relevan, digunakan sebagai subjek yang hendak dijadikan
sasaran evaluasi. Sample yang diukur mempresentasikan populasi siwa yang hendak
menjadi target akhir pengambilan keputusan.
3. Untuk mandapatkan
informasi yang diinginkan tenyang siswa, kedua pengukuran sama-sama nenerlukan
item-item yang disusun dalam satu tes dengan menggunakan aturan dasar penulisan
instrument.
4. Keduanya
mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang akan diukur.
5. Keduanya menggunakan
macam tes yang sama seperti tes subjektif, tes karangan, tes penampilan atau
keterampilan.
6. Keduanya dinilai
kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya.
7. Keduanya digunakan ke
dalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.
Perbedaan kedua penilaian adalah sebagai berikut:
1. Penilaian acuan norma biasanya mengukur
sejumlah besar perilaku khusus dengan sedikit butir tes untuk setiap perilaku.
Penilaian acuan patokan biasanya mengukur perilaku khusus dalam jumlah yang
terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap perilaku.
2. Penilaian acuan norma menekankan perbedaan di
antara peserta tes dari segi tingkat pencapaian belajar secara relatif.
Penilaian acuan patokan menekankan penjelasan tentang apa perilaku yang dapat
dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap peserta tes.
3. Penilaian acuan norma
lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat kesulitan sedang dan
biasanya membuang tes yang terlalu mudah dan terlalu sulit. Penilaian acuan
patokan mementingkan butir-butir tes yang relevan dengan perilaku yang akan
diukur tanpa perduli dengan tingkat kesulitannya.
4. Penilaian acuan norma
digunakan terutama untuk survey. Penilaian acuan patokan digunakan terutama
untuk penguasaan.
D. Prinsip-Prinsip
Penilaian
Kira-kira dua-tiga decade yang lalu, atau mungkin bahkan hingga kini, masih banyak orang
berpendapat bahwa “siapa yang menguasai materi, dengan sendirinya bisa
mengajarkannya; dan (implicit di dalamnya) siapa yang bisa mengajar, dengan
sendirinya dapat pula melakukan penilaian”. Akan tetapi, parallel dengan
berkembangnya teknologi pendidikan, termasuk di dalamnya teknologi pengukuran
dan penilaian prestasi belajar siswa, dalil tersebut sudah mulai luntur, kini
banyak orang- khususnya para guru atau pengajar – mulai menyadari bahwa masalah
pengukuran dan penilaian prestasi belajar siswa bukanlah pekerjaan yang mudah,
yang dapat dilakukan secara intuitif atau secara trial and error saja. Untuk
dapat melakukan pengukuran dan penilaian secara efektif diperlukan latihan dan
penguasaan teori-teori yang relevan dengan tujuan dari proses-belajar-mengajar
sebagai bagian yang tidak terlepas dari kegiatan pendidikan sebagai suatu
sistem.
Sehubungan dengan itu, dalam uraian berikut ini akan dibicarakan
beberapa prinsip penilaian yang perlu diperhatikan sebagai dasar dalam
pelaksanaan penilaian; sesudah itu akan dibicarakan pula tentang prosedur
pemberian nilai.
Adapun beberapa prinsip penilaian itu ialah sebagai berikut:
1. Penilaian hendaknya
didasarkan atas hasil pengukuran yang komperhensif. Ini berarti bahwa penilaian
didasarkan atas sampel prestasi yang cukup banyak, baik macamnya maupun
jenisnya.Untuk itu dituntut pelaksanaan penilaian secara sinambung dan
penggunaan bermacam-macam teknik pengukuran.Dengan macam dan jumlah ujian yang
lebih banyak, prestasi siswa dapat diungkapkan secara lebih mantap meskipun
harus pula dicatat bahwa banyaknya macam dan jumlah ujian harus dibarengi
dengan kualitas soal-soalnya, yang sesuai dengan fungsinya sebagai alat ukur.
2. Harus dibedakan
antara penskoran dengan penilaian. Hal ini harus dibicarakan dalam uraian
terdahulu. Penskoran berarti proses pengubahan prestasi menjadi angka-angka,
sedangkan dalam penilaian kita memproses angka-angka hasil kuantifikasi
prestasi itu dalam hubungannya dengan “kedudukan” personal siswa yang
memperoleh angka-angka tersebut didalam skala tertentu, misalnya skala tentang
baik-buruk, bisa diterima-tidak bisa diterima, dinyatakan lulus-tidak lulus.
Dalam penskoran, perhatian terutama ditujukan kepada kecermatan dan kemantapan;
sedangkan dalam penilaian, perhatiannya terutama ditujukan kepada validitas dan
kegunaan.
3. Dalam proses
pemberian nilai hendaknya diperhatikan adanya dua macam orientasi, yaitu
penilaian yang norms-referenced dan yang criterion-referenced. Norms-referenced
adalah penilaian yang diorientasikan kepada suatu kelompok tertentu; jadi,
hasil evaluasi perseorangan siswa dibandingkan dengan kelompoknya.Prestasi
kelompoknya itulah yang dijadikan patokan atau norm dalam menialai siswa secara
perseorangan.Penilaian norms-referenced selalu bersifat kompetitif
intrakelompok.Criterion-referenced ialah penilaian yang dioreientasikan kepada
suatu standar absolute, tanpa dihubungkan dengan suatu kelompok tertentu.
Misalnya, oenilaian prestasi siswa yang didasarkan atas suatu kriteria
pencapaian tujuan instruksional dari suatu mata pelajaran atau bagian dari mata pelajaran yang
diharapkan dikuasai oleh siswa setelah melalui sejumlah pengalaman belajar
tertentu. Penilaian criterion-referenced sangat relevan bagi lembaga pendidikan
yang telah menggunakan kurikulum yang berdasarkan kompetensi.
4. Kegiatan pemberian
nilai hendaknya merupakan bagian integral
dari proses belajar-mengajar. Ini berarti bahwa tujuan penilaian,
disamping untuk mengetahui status siswa dan menaksir kemampuan belajar serta
penguasaannya terhadap bahan pelajaran, juga digunakan sebagai feedback, baik
kepada siswa sendiri maupun bagi guru atau pengajar. Dari hasil tes, pengajar dapat menetahui kelebihan dan
kelemahan siswa tertentu sehingga selanjutnya ia dapat melakukan koreksi
terhadap kesalahan yang dibuatnya dan atau member reinforcemence bagi
prestasinya yang baik. Bagi guru –meskipun umumnya jarang dilakukan- seharusnya
hasil penilaian para siswanya itu dipergunakan untuk “mawas diri” sehingga ia
dapat mengetahui dimana letak kelemahan atau kekurangannya. Mungkin metode
mengajar yang dipergunakannya kurang tepat, atau baha pelajaran terlalu sukar
dan tidak sistematis cara penyajiannya, atau sikap pengajar yang tidak selalu
memburu-buru setiap tugas yang diberikan, atau mungkin juga alat evaluasinya
yang tidak memenuhi syarat-syarat penyusunan soal dan tidak atau kurang relevan
dengan materi pelajaran yang telah diberikan.
Ini semua akan dapat dilakukan dengan baik jika guru benar-benar ikhlas
dan beritikad baik untuk meningkatkan kualitas profesinya. Ia menyadari bahwa
kegagalan siswa tidak automatis selalu
merupakan tanggung jawab siswa, setidak-tidaknya menyadari bahwa kegiatan
belajar-mengajar itu pada hakikatnya adalah suatu proses komunikasi dua arah,
bahwa di dalam proses belajar-mengajar, baik siswa maupun pengajar sama-sama
belajar.
5. Penilaian harus
bersifat komparabel. Artinya, setelah tahap pengukuran yang menghasilkan
angka-angka itu dilaksanakan, prestasi-prestasi yang menduduki skor yang sama
harus memperoleh nilai yang sama pula. Atau, jika dilihat dari segi lain,
penilaian harus dilakukan secara adil, jangan sampai terjadi penganakemasan
atau penganaktirian.Penilaian yang tidak adil mudah menimbulkan frustasi pada
siswa, yang selanjutnya dapat merusak perkembangan psikis siswa dan mahasiswa
sehingga pembentukan afektif dirusak karenanya.
6. System penilaian yang
dipergunakan hendaknya jelas bagi siswa dan bagi pengajar sendiri. Sumber
ketidakberesan dalam penilaian terutama adalah tidak jelasnya system penilaian
itu sendiri bagi para guru; apa yang dinilai serta macam skala pe nilaian yang
dipergunakan dan makna masing-masing skala itu. Apa pun skala yang dipakai
dalam penilaian, hendaknya dipahami benar-benar apa isi dan maknanya.
Meskipun untuk masing-masing sekolah dan lembaga pendidikan tinggi
umumnya telah ditentukan criteria bagi tiap skala penilaian yang
dipergunakannya, kriteria yang hanya dinyatakan secara umum, seperti baik
sekali-baik-cukup-sedang-kurang-kurang sekali, belum dapat memberikan kejelasan
yang memadai bagi keperluan penilaian yang lebih baik.Dalam usaha merumuskan
karakteristik siswa beserta prestasinya yang secara ideal menggambarkan tingkat
nilai pada tiap anak, skala penilaian demi pengembangan sistem penilaian
kiranya perlu dipertimbankan.
E. Prosedur Pemberian
Nilai
Untuk dapat melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa dengan
baik, perlu kita kaji beberapa prosedur penilaian dari yang sangat sederhana
dan mengandung banyak kelemahan sampai kepada yang lebih rumit dan
sophisticated.Dengan pengkajian ini diharapkan kita dapat memahami
kelemahaan-kelemaha maupun kebaikan yang terkandung di dalam setiap prosedur
penilaian.
1. Prosedur penilaian yang paling sederhana atau mungkin juga dapat
dikatakan paling tua dan banyak dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan kita,
ialah prosedur yang tidak membedakan dengan jelas adanya dua fase yaitu fase
pengukuran dan penilaian. Prosedur ini mengandung lebih banyak kelemahan dari
pada kebaikan. Dalam pelaksanaanya sering dikacaukan antara penskoran dan
penilaian, atau yang lebih lazim lagi angka atau skor yang sebenarnya merupakan
“biji”, langsung dianggap sebagai nilai, yang kemudian dipergunakan sebagai
alat untuk menentukan vonnis kepada siswa atau mahasiswa yang memperoleh “biji”
tersebut.
Seorang pengajar yang memberikan angka 6 pada pekerjan seorang
siswa sudah implicit di dalam benaknya mengatakan bahwa siswa tersebut “lulus”.
Jadi, sambil memberi skor sekaligus pengajar itu menilai, dan nilainya itulah angka
yang diperoleh dari penskoran. Cara demikian segera dapat kita lihat
kelemahnnya, yakni bahwa angka 6 yang kemudian dikenakan sebagai nilai itu
belum tentu mempunyai harkat yang sama dengan angka 6 yang dibuat oleh guru
lain. Apalagi jika diingat bahwa rentangan nilai yang d ipergunakan guru-guru
dalam angka 0-10 masih berbeda-beda.
2. Prosedur ini dan
berikutnya adalah prosedur yang telah memisahkan fase pengukuran dan
fase penilaian dengan berbagai variaso, mulai dari yang relative sederhana
sampai dengan yang lebih rumit dan sophiscated. Yang pertama ialah prosedur
penilaian dengan membuat peringkat skor-skor dalam bentuk table-tabel
distribusi dengan membuat rentangan skor teoritis .jika kemudian skor-skor yang
diperoleh siswa dimasukkan ke dalam rentangan skor teoritis itu , maka
rentangan dan distribusi skor-skor actual itu dapat diperiksa secara visual
bagaimana bentuk distribusi frekuensinya sehingga sekaligus kita dapat melihat
apakah tes itu terlalu mudah , terlalu sukar, atau sedang bagi kelompok siswa
yang bersangkutan. Dari pemeriksaan secara visual demikian itulah penilai dapat
menetapkan batas-batas penilaian sesuai dengan distribusi kelompok skor yang
terlukis di dalam table. Dalam hal ini , peran guru atau penilai dituntut
tanggung jawab profesionalnya dalam menentukan batas persyaratan penguasaan
minimal dari hasil tes yang telah ditabulasikan itu.
Hal ini yang perlu diperhatikan , dengan
penggunaan prosdur “distribusi peringkat ini guru atau penilai sekaligus
menerapkan kedua orientasi penilaian, yaitu penilaian norm-oriented dalam
bentuk kompetisi intrakelompok dan penila criterion oriented yaitu dari segi
penguasaan minimal yang diharapkan
sesuai dengan kapasitas (prestasi actual) kelompok atau kelas masing-masing.
3. Prosedur penilaian dengan menggunakan persentase (%) banyak
digunakan karena dianggap lebih sederhana dan praktis. Penilaian dengan
persentase ini umumnya dikaitkan dengan skala penilaian 0-10 atau 0-100, dengan
langsung mentransformasikan persentase yang dimaksud menjadi nilai. Misalnya
50% benar sama dengan nilai 5 (dalam skala penilaian 0-10).
Prosedur ini
didasarkan atas anggapan bahwa proses pengukuran yang dipergunakan sebagai
dasar untuk menghitung persentase itu telah mempergunakan alat-alat yang
memadai dan dianggap baik.noleh karena itu , keandalan hasil penilaian dengan
persentase ini sangat bergantung pada apakah “meteran” yang dipakai sebagai
dasar perhitungan persentase itu benar atau tidak.
4. Prosedur yang menggunakan teknik statistikk yang lebih kompleks,
yaitu yang dinamakan prosedur perstandardisasian dan penormalisasian. Dikatakan
penstandardisasian karena dalam mentransprmasikan skor-skor hasil pengukuran
suatu kelompok siswa menggunakan rentangan yang disebut deviasi standar yaitu
penyimpangan rata-rata yang di sebut mean. Proses penstandardisasian ini
kemudian diteruskan dengan penormalisasian yaitu distribusi skor-skor itu
dikonfrontasikan dengan distribusi kurva normal. Hal inilah yang menunjukan
salah satu kelemahan dari prosedur penstandardisasian dan penormalisasian itu.
Kelemahan lain ialah : prosedur ini hanya dapat memberikan informasi kepada
kita mengenai posisi atau kedudukan prestasi perseorangan di dalam kelompoknya,
sebereapa jauh seorang siswa menyimpang dari prestasi rata-rata kelompoknya,
tetapi sama sekali tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
persyaratan penguasaan minimal yang dikehendaki atau dengan penilaian yang
bersifat criterion-oriented.
Prosedur penilaian yang menggunakan teknik statistik seperti
diuraikan di atas cocok dan baik digunakan jika:
1) Pancaran skor-skor
actual yang diperoleh mendekati pencaran kurva normal;
2) Jumlah kasus(siswa
yang dites) cukup besar:minimal 50,atau lebih baik lagi jika 100 ke atas.
Oleh karena itu, untuk penilaian terhadap hasil-hasil ujian akhir
sekolah yang biasanya dilaksanakan secara rayonisasi,atau ujian masuk perguruan
tinggi yang biasanya diikuti oleh sejumlah besar siswa, prosedur penilaian terakhir
ini lebih dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Hal ini yang perlu juga disinggung dalam uraian tentang prosedur
penilaian di sini ialah penilaian akhir yang didasarkan atas hasil
penilaian-penilaian sebelumnya.Misalnya penilaian terhadap prestasi seorang
mahasiswa yang telah mengikuti beberapa ujian dan mengerjakan berbagai tugas di
laboratorium, membuat makalah, dan sebagainya dalam suatu mata kuliah selama
satu semester. Pada prinsipnya, semua informasi hasil penilaian terlebih dulu
harus dikuantifikasikan, yaitu dinyatakan dalam bentuk angka-angka.Untuk tes
dengan soal-soal objektif hal ini dengan mudah dapat dilaksanakan, tetapi untuk
soal-soal subjektif dan yang tidak berbentuk tes(karya tulis atau makalah,
praktek di laboratorium, dan sebagainya) pengangkaannya dapat dilakukan dengan
mengadakan “pembobotan” (weighting). Menurut pelaksanaannya, nilai akhir
seorang mahasiswa diperoleh dengan mengalikan skor-skor dari tes dan
tugas-tugas dengan bobot-bobot itu.Prinsip pembobotan ini sejalan dengan
prosedur perhitungan Indeks Prestasi (PI) seperti yang biasa dikenakan terhadap
mahasiswa pada akhir program studinya dilembaga yang bersangkutan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian
singkat yang telah di tulis, maka dapat si simpulkan sebagai berikut:
1. Menskor
adalah suatu tindakan pengukuran yaitu pemberian angka kepada suatu atribut
atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu
menurut aturan atau formulasi yang jelas. Penilaian adalah suatu proses untuk
mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui
pengukuran (score) hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun non tes.
2.
Dalam
menentukan pemberian skor terdapat jenis-jenis kunci yang berbeda tergantung
dari setiap jenis tes yang diberikan apakah
tes bentuk pilihan ganda (Multiple Choice) , tes bentuk betul-salah, tes
bentuk jawaban singkat (Short answer test), tes bentuk menjodohkan (Matching),
tes bentuk uraian (Essay test) dan tes bentuk tugas.
3.
Untuk menginterpretasikan suatu skor menjadi
nilai atau mengolah skor menjadi nilai diperlukan suatu acuan atau pedoman.
Terdapat dua acuan guna menafsirkan skor menjadi nilai. Kedua pendekatan ini
memiliki tujuan, proses, standard an juga akan menghasilkan nilai yang berbeda.
Karena itulah pemilihan dengan tepat pendekatan yang akan digunakan menjadi
penting. Kedua pendekatan tersebut adalah criterion-referenced atau Pendekatan
Acuan Patokan (PAP) dan norms-referenced atau Pendekatan Acuan Norma (PAN)
4.
Prinsip penilaian yang perlu diperhatikan
sebagai dasar dalam pelaksanaan penilaian diantaranya adalah Penilaian hendaknya didasarkan atas hasil
pengukuran yang komperhensif, Harus dibedakan antara penskoran dengan penilaian
,Dalam proses pemberian nilai hendaknya diperhatikan adanya dua macam orientasi
yaitu penilaian yang norms-referenced dan yang criterion-referenced . Kegiatan
pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integral dari proses belajar-mengajar, Penilaian harus
bersifat komparabel dan System penilaian yang dipergunakan hendaknya jelas bagi
siswa dan bagi pengajar sendiri.
5.
Jenis-jenis
prosedur dalam penilaian diantaranya adalah
prosedur yang tidak membedakan dengan jelas adanya dua fase yaitu fase
pengukuran dan penilaian, prosedur penilaian dengan membuat peringkat skor-skor
dalam bentuk table-tabel distribusi, Prosedur penilaian dengan menggunakan
persentase dan Prosedur yang menggunakan teknik statistik
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,Suharsimi. 2007.
Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan .Jakarta : Bina Aksara
Purwanto, Ngalim. 1997. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi
Pengajaran .Bandung : Remaja Rosdakarya
Sudijono, Anas. 2007. Pengantar Evaluasi Pendidikan .Jakarta : Raja
Grafindo Persada
http://blogwirabuana.wordpress.com/2011/03/16/penilaian-acuan-norma-pan-dan-penilaian-acuan-patokan-pap/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar anda di sini