Selasa, 29 April 2014

Tasawuf di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Kajian Tasawuf Nusantara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini nuansa tasawuf masih terlihat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan keagamaan sebagian kaum muslim Indonesia, terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini dan juga melalui gerakan tarekat muktabarah yang masih berpengaruh di masyarakat.[1]

Selanjutnya, kajian sejarah dan perkembangan tasawuf di Indonesia akan kami bahas dalam bab selanjutnya.
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah sejarah penyebaran Islam di Indonesia?
2.    Bagaimana lahirnya tasawuf di Indonesia?
3.    Siapa sajakah tokoh yang berperan pada penyebaran tasawuf di Indonesia dan bagaimana ajarannya?
C.       Tujuan Masalah
1.    Mengetahui sejarah penyebaran Islam di Indonesia
2.    Mengenal sejarah lahirnya tasawuf di Indonesia
3.    Mengetahuai tokoh yang berperan pada penyebaran tasawuf di Indonesia dan ajarannya






BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sejarah Penyebaran Islam di Indonesia
Awal datangnya Islam dapat dikategorikan kedalam dua perspektif. Pertama, pandangan yang mengasumsikan awal datangnya Islam pada abad ke-7 H/13 M. Kedua, pandangan yang menganut abad I H.[2]
Beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Islam masuk di Indonesia pada abad ke-7 H adalah:[3]
1.      Laporan Marcopolo yang berkunjung ke Indonesia pada abad ke-13 M sebagai utusan Imperium China dan menegaskan adanya kesultanan Islam Samudra Pasai yang memiliki sebuah pelabuhan dagang kecil yang terletak di Pantai Utara Sumatra sebagai penganut Islam pertama di Melayu.
2.      Islam masuk ke Indonesia setelah jatuhnya Baghdad 656 H ketika banyak ulama berhijrah ke Timur sebagai pelarian dari ancaman pembantaian Mongol. Penduduk wilayah Pantai Utara mengenal Islam berkat kedatangan mereka dan para pedagang Muslim yang datang mencari stabilitas dan keamanan.
3.      Masyarakat Islam sudah ada di Indonesia setelah kedatangan tasawuf pada abad ke-7 H. Bukti terdekat mengenai kenyataan ini adalah perjalanan Ibnu ‘Arabi dan al- Jiliy, demikian pula perjalanan kaum sufi di Jawa seperti Hamzah Fansuri dan ‘Abdur Rauf Sinkel ke Malaka untuk menyiarkan Islam.
Sementara itu, perspektif  kedua yang mengansumsikan datangnya Islam ke Indonesia pada abad I H, didasarkan pada pendapat yang lebih kuat, yaitu:[4]
1.    Catatan-catatan resmi China pada periode dinasti Tang pada 618 M secara tersirat menegaskan bahwa Islam sudah masuk wilayah Timur Jauh, yakni China dan sekitarnya (termasuk Indonesia) melalui laut dari bagian Barat Islam (Semenanjung Arab).
2.    Laporan China yang menegaskan bahwa bangsa Arab mengirim utusan kepada kerajaan Jawa Indonesia. Dalam laporan tersebut terdapat isyarat kerajaan Ho Long (Ho Ling/ Keling) yang berdiri di salah satu pulau di Laut China Selatan yang terkenal dengan kemajuan dan kesejahteraan rakyat serta keadilan pemerintahnya. Kerajaan tersebut mengirim utusan pada tahun 640 M, 666 M, dan 674 M. Diisyaratkan pula, pada masa yang sama, dikenal sebuah kerajaan yang oleh orang-orang China disebut “Tasheh” sebagai nama yang mereka kenal untuk kerajaan Arab.
3.    Peninggalan sejarah Islam di Indonesia. Penemuan makam bertuliskan huruf  Arab yang oleh para peneliti dinilai sebagai peninggalan Islam terkuno yang ditemukan hingga kini. Dibagian atas makam tertulis tahun 431 H/ 1039 M yang menyatakan bukti nyata adanya Islam di Jawa sejak itu.

B.   Sejarah Lahirnya Tasawuf di Indonesia
Penyebaran Islam di negara-negara Asia Tenggara tidak lepas dari peran dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang.
Jika Islam pada hakikatnya adalah agama terbuka dan tidak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis maka tasawuf Islam telah membuka wawasan lebih luas bagi keterbukaan yang meliputi agama-agama lain.[5]
Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peniliti, orientalis dan cendekiawan Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas.[6]
Berikut beberapa pandangan yang berpendapat bahwa tasawuf adalah faktor terpenting tersebarnya Islam secara luas:[7]
1.    Hasil-hasil muktamar tasawuf yang diadakan di Pekalongan 1960 yang dihadiri sejumlah Ulama dan pejabat yang menegaskan bahwa tarekat masuk ke Indonesia untuk pertama kali pada abad ke-1H /7 M.
2.    Orientalis Snouck Hurgronje menyatakan bahwa meski tasawuf berperan nyata dalam proses Islamisasi di Indonesia, ajaran-ajaranya tidak lebih dari sekadar bid’ah dan dongeng-dongeng yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan syari’at. Tasawuf menurutnya dihormati umat Islam di Indonesia karena kepercayaan sisa-sisa Hinduisme masih melekat sehingga menjadi faktor penentu bagi keberhasilan kaum sufi dalam proses Islamisasi di Indonesia.
3.    Menurut penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani serta pemikir-pemikir Indonesia pada abad ke-7 M. Metodologi kaum sufi dalam proses Islamisasi Indonesia, yang menggabungkan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan yang sudah ada sebelum datangnya Islam. Masuknya Islam di Indonesia tidak luput dari peran tasawuf yang di bawa oleh para sufi karena seperti halnya ajaran-ajaran agama terdahulu yang menggunakan simbol-simbol.







C.   Tokoh Tasawuf di Indonesia dan Ajarannya
Perkembangan tasawuf di Indonesia tidak terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf dan ajaran-ajaran mereka, di antara tokoh-tokoh tasawuf itu adalah:
1.    Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri berasal dari Barus yaitu kota kecil di Pantai Barat Sumatera Utara, yang terletak diantara Sibolga dan Singkel. Ia dikenal pada masa kekuasaan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah di Aceh pada abad XVI (1588-1604). Ia adalah ahli tasawuf yang suka mengembara, dalam pengembaraannya itulah Hamzah Fansuri mempelajari dan mengajarkan paham-paham tasawufnya. Hamzah Fansuri juga seorang ahli bahasa, bahasa yang dikuasainya meliputi bahasa Arab, Persi dan bahasa Melayu.[8]
Dalam sejarah kaum ahli sufi Indonesia, Fansuri dipandang sebagai ahli sufi pertama di Indonesia yang menuliskan buku-buku tentang tasawuf Islam. Dia juga pemimpin yang membawa kita mengenal tasawuf falsafi di Indonesia.[9]
Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut keyakinannya. Ada riwayat yang mengatakan bahwa ia pernah sampai ke seluruh semenanjung dan mengembangkan tasawuf di Perlak, Perlis, Kelantan, dan lain-lain.[10] Dari keterangan-keterangan yang ada mangisyaratkan ia wafat tahun 1607 M.[11]
Ajaran tasawuf Hamzah Fansuri sebagai berikut:
a.       Wujud, menurutnya wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu itu, ada yang merupakan kulit (kenyataan lahir) ada yang berupa isi (kenyataan batin). Wujud yang hakiki itulah yang disebut Allah.
b.      Allah, menurutnya Allah adalah dzat yang mutlak dan qodim, sebab Allah yang pertama dan yang menciptakan alam semesta.
c.       Penciptaan, menurutnya hakikat dari dzat Allah itu adalah mutlak dan la ta’ayyun. Dzat yang mutlak itu mencipta dengan cara menyatakan diri-Nya dalam suatu proses penjelmaan.
d.      Manusia, walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, akan tetapi manusia adalah tingkat yang paling penting dan merupakan penjelmaan yang paling sempurna, ia adalah pancaran langsung dari dzat yang mutlak, hal ini menunjukkan adanya semacam kesatuan antara Allah dan manusia.
e.       Kelepasan, manusia sebagai makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil, namun karena lalainya maka pandangannya kabur dan tidak sadar bahwa seluruh alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.[12]
Adapun karya-karya Hamzah Fansuri yang dapat kita temui diantaranya: kitab Asrarul ‘Arifin, Syarabul ‘Asyiqin, dan Al-Muntaha. Semua bukunya berbicara tentang tauhid, ma’rifat, dan suluk. Unsur-unsur penting dalam buku Fansuri adalah pendapatnya yang diambil dari perkataan kaum sufi klasik yang bersih dari penyimpangan, tidak ditambah-tambah, atau dihilangkan agar sesuai dengan lingkungan dan tempat pada masa itu.[13]
2.    Nuruddin al-Raniri
Nama lengkap beliau ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasan bin Hamid al-Raniri al-Quraisyi al-Syafi’i. Beliau lahir di Ranir yang terletak tidak jauh dari Gujarat, India yang dimana di tempat itu ia mulai belajar ilmu agama.[14] Setelah itu beliau melanjutkan belajar di kota Tarim, Hadhramaut. Sepulang dari Hadhramaut, 1621 M, beliau singgah di Al- Haramain untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. Beliau adalah salah satu dari murid Sayyid ‘Abd al-Qadir al-Idrus. Dan beliau wafat di Ranir pada 21 September 1658 M.

Ajaran tasawuf Nuruddin al- Raniri diantaranya adalah:[15]
a.       Tuhan, dalam masalah ketuhanan beliau berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibnu ‘Arabi. Beliau berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan Alam Esa” berarti alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin yaitu Allah SWT., sebagaimana yang dimaksud Ibnu ‘Arabi. Akan tetapi ungkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa alam ini tidak ada, yang ada hanyalah wujud Allah yang Esa.
b.      Alam, al-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah malalui (tajalli).
c.       Manusia, menurut al-Raniri manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Kerena manusia merupakan kholifah di bumi.
d.      Wujudiyyah, inti ajaran menurut al-Raniri berpusat pada wahdad al-wujud. Beliau bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhannya.
e.       Hubungan Syariat dan Hakikat, menurut al-Raniri pemisahan antara hakikat dan syariat merupakan sesuatu yang tidak benar. Ia berpedoman pada pendapat Syekh Abdullah al-Aidarusi yang mengatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang Islam.
Adapun karya-karya dari al-Raniri diantaranya adalah Al- Shirath Al- mustaqim, Durrah Al- Faraidh fi Syarh Al- Aqa’id, hidayah Al- habib fi A- targhib wa Al- Tarhibfi Al- hadits, Syifa’ Al-Quluub, Latha’if Al- Asrar, dan Hill Al- Dzill yang berisi tasawuf dan hadits.[16]

3.   Abdul Rauf as-Sinkili
Nama lengkap beliau adalah Abdur Rauf ‘Ali al-Fansuri. Hingga saat ini tidak ada data pasti mengenai tanggal dan tahun kelahirannya.
Beliau adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil di wilayah pantai barat Laut Aceh.[17] Pendidikannya dimulai dari ayahnya di Simpang Kanan (Sinkil). Kepada ayahnya ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa arab, mantiq, filsafat, sastra arab, dan bahasa persia. Kemudian pendidikannya dilanjutkan ke Samudra Pasai dan belajar di Dayah Tinggi pada Syekh Syamsudin as-Sumatrani. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan ke Arabiyah.[18] Di tanah Arab, selama 19 tahun Abdurrauf  belajar agama kepada kurang lebih 15 guru, 27 ulama terkenal dan 15 tokoh mistik terkenal di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al-Faqih, dan tempat-tempat lain.[19]
Ajaran Abdurrauf As-Sinkili antara lain:
a.       Ajarannya sama dengan ajaran Syamsuddin dan Nuruddin yang menganut paham satu-satunya wujud hakiki yaitu Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan merupakan wujud hakiki melainkan bayangan dari yang hakiki.
b.      Dzikir, alam pandangan as-Sinkili merupakan usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Tujuan dzikir adalah mencapai fana (tidak ada wujud selain wujud Allah).
c.       Martabat perwujudan Tuhan, menurutnya ada tiga perwujudan Tuhan. Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal yaitu sudah tercipta hakikat muhammad yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun Tsani, disebut juga dengan ‘ayan tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta.[20]

Adapun karya-karyanya adalah Mir’at Ath-Thullab (fiqh Syafi’I di bidang muamalah), Hidayat Al-Balighah (fiqh tentang sumpah, kesaksian, peradilan, pembuktian, dan lain-lain), ‘Umdat Al-Muhtajin (tasawuf), Syam Al-Ma’rifah (tasawuf ma’rifat), dan Kifarat Al-Muhtajin (tasawuf).[21]

4.      Yusuf al-Makasary
Lahir di Sulawesi pada tanggal 8 Syawal 1036 H/ 3 Juli 2629 M. Beliau sejak kecil telah menampakkan kecitaannya terhadap pengetahuan Islam. Iapun belajar berbagai ilmu termasuk ilmu tasawuf.
Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Disana dia belajar tarekat Naqsabandiyah dari Syekh Abi Abdillah Muhammad Baqi Billah. Dan kemudian beliau mempelajari tarekat ketika berada di Madinah kepada Syakh Ibrahim al-Qurani. Beliau meninggal di Tanjung Harapan Afrika Selatan pada tanggal 22 Dzulqo’dah 1111 H/ 22 Mei 1699 M, di kubur di Faure di perbukitan pasir Falsebay. Salah satu murid beliau adalah Abd al-Basyir al-Dhorir al-Rapani. Pengetahuan tarekat yang di pelajarinya cukup banyak, bahkan sukar ditemukan ulama yang mempelajari demikian banyak beserta mengamalkanya hingga kini. Secara ringkas, tarekat-tarekat yang telah di pelajarinya di cantumkan sebagai berikut:
a.    Tarekat Qodiriyah diterima dari Syeh Nuruddin al-Raniri di Aceh.
b.    Tarekat Naqsyabandiyah di terima dari Syeh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah.
c.     Tarekat as-sadah al-balawiyah dari Syayid Ali di Zubaid atau Yaman.
d.   Tarekat Syathariyah dari Ibrahim al-Quroni di Madinah.
e.    Tarekat Khalwatiyah dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub al-Khalwati al-Quroisiy di Damaskus. Syekh ini adalah imam di masjid Muhyidin Ibnu ‘Arabi.
Ajaran-ajaran Yusuf al-Makasari:
a.       Trensedensi tuhan yang mirip dengan wahdatul wujud dalam filsafat mistik Ibnu ‘Arabi yaitu, Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu.
b.       Menurut beliau insan kamil dibagi dalam tiga tingkatan: pertama, tingkatan akhyar (orang-orang terbaik). Kedua, cara mujahadat asyaqa’ (orang-orang yang berjuang mekawan kesulitan).
Ketiga, cara ahl adz-dzikr yaitu jalan bagi orang yang telah kasaf untuk berhubungan dengan tuhan.[22]
Adapun karya-karya beliau antara lain: Safinah al-Najah, Bidayat al-Mubtadi, dan Sirr al-Asrar.[23]



















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Masuknya tasawuf di Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia, karena sejarah Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran tasawuf yang digunakan oleh para penyebarnya. Kefleksibelan tasawuf yang mewarnai penyebaran tersebut menjadikan Islam berhasil masuk dan kemudian mengakar dalam diri masyarakat Indonesia, hampir tanpa catatan sejarah pertumpahan darah.
Tokoh sufi yang mempengaruhi perkembangan tasawuf di Indonesia diantaranya adalah; Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf al-sinkili, dan Yusuf al-Makasari.
Diantara tokoh-tokoh sufi tersebut terdapat pemikiran-pemikiran tasawuf yang beragam, seperti pemikiran al-Fansuri tentang tasawuf yang banyak dipengaruhi Ibnu ‘Arabi dalam paham wahdad al wujud-nya. Sedangkan al-Raniri dalam masalah ke-Tuhan-an pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibnu ‘Arabi.









DAFTAR PUSTAKA

Alwi Shihab. 2009. Akar Tasawuf di Indonesia. Depok: Pustaka Iman
Hamka. 1983. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas
Rosihon Anwar. 2010. Akhlaq Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Sri Mulyati. 2006. Tasawuf Nusantara. Jakarta: Kencana












[1] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, (Jakarta: Kencana, cet. I, 2006) hlm.1
[2] Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka Iiman, cet. I, 2009) hlm. 7
[3] Ibid, hlm. 7
[4] Ibid, hlm. 9-12
[5] Ibid, hlm. 21
[6] Ibid, hlm. 22
[7] Ibid, hlm. 22-24
[8] Sri Mulyati,  op.cit,. hlm. 73
[9] Alwi Shihab, op.cit,. hlm. 143
[10] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, cet. II, 2010) hlm. 342
[11] Alwi Shihab, op.cit,. hlm. 148
[12] Sri Mulyati, op.cit,. hlm. 74-75
[13] Ibid, hlm. 77
[14] Rosihon Anwar, op.cit,. hlm. 344
[15] Ibid, hlm. 345-346
[16] Rosihon Anwar, op.cit,.  hlm. 344-345
[17] Sri Mulyati, op.cit,.  hlm. 99-100
[18] Rosihon Anwar, op.cit,. hlm. 347
[19] Sri Mulyati, op.cit,.  hlm. 101
[20] Rosihon Anwar, op.cit,. hlm. 348-349
[21] ibid, hlm. 347
[22] Rosihon Anwar, op.cit,. hlm. 352
[23] Sri Mulyati, op.cit,.  hlm. 142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini