PEMBAHASAN
- Perkembangan ushul fiqih pada
masa Nabi.
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu
Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya
wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka
Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian
dikenal dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara
lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
.Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah
bagi Umat Islam. Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi,
menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi.
Dalam pengutusan ini Nabi bersabda
كيف
تقض ادا عر ض لك قضا ء ؟ قال ا قض بكتا ب الله قال فا ن لم تجد ف كتا ب الله؟ قال
فبسنة ر سو ل الله قال فان لم تجد في سنة ر سو ل الله قال اجتهد راى ولا لو فضرب
رسو ل الله على صدره وقال ا ا لحمد ا ا لذي و فق رسو ل اللهكما ير ض ر سسو ل الله
“Bagaimana engkau
(mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang
diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum
berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab
Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan
berdasarkan sunnah Raulullah. Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam
sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu
Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan
rasulnya.”
Hadits ini secara tersurat tidak
menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara
tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk
menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan
masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para
sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk
mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda :
ا نتم ا علم با مو ر د
نيا كم
“Kamu lebih mengetahui
tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu
tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh
seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam
mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan
ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat
terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas
sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut :
جات ا مر ا ة خثيمية
فقا لت يا ر سو ل ا لله ان ابى اد ر كته ف رضه احغ و لم يحج و هو لا يتمسك على الر
حا لة لمر ضه افا حج عنه ؟ فقا ل ر سو ل الله عليه و سلم ار ايت لو كا ن على ا بيك
دين اقتضيته عنه قا لت نعم قال فدين ا لله ا حق ان يقض
“Seorang
wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah
saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan
karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah
dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau
harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar.
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang
dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang
menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang
mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan
pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang
otoritas tunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat
berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang
ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan
Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat
penting. Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum
Islam bidang muamalah.
Berbeda dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih
banyak bersifat garis besar, sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya
diserahkan kepada manusia. Manusia dengan akal yang dianugerahkan kepadanya
diberi peranan lebih banyak. Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut
mendukung terhadap pertumbuhan ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas
ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan
Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium
istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu
berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak
apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan
puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita
bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya,
yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena
mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.
- Perkembangan
ushul fiqih pada masa sahabat dan tabi’in
- Pada masa sahabat
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul
persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para
sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW
sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak
lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat
ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat,
yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada
seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi
Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum
dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah. Ali
menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh
suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara'
ditetapkan hak mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ
فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ
قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Artinya
:
"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian)
kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian
itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah
: 236).
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah
SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang
digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah
(aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena
pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan
adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW
dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada
waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu
Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian
itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum
baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan
adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab
turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud)
Al- Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan
dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri
(Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka
miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
- Pada masa tabi’in
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para
imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam
telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula
situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang
bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah
itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di
kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak
persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai
daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum
yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang
yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga
mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin
banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil
ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan
tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi
juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu
daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah syari'ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan
dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah
kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama
Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya
penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan,
kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan.
Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan
kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong para
ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami
nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau
datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah
dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah
terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama
kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu
Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf,
bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan
disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H)
dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab
dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu
terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
- Pembukuan
ushul fiqih
Salah satu yang mendorong diperlukannya
pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas,
sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum
diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan
kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali
dan menetapkan hukum.
Sebenarnya,jauh sebelum dibukukannya ushul
fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh
para pengikutnya masing-masing. tak heran jika pengikut para ulama tersebut
mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.
Golongan Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa
yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah Abu Hanifah, Abu Yusuf Dan Ibnu
Ali-Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama
menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar-Ra'yu. Dan Abu Yusuf Abu
Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh dalam madzhab hanafi,
demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun ushul fiqh sebelum
As-Syafi'ie, bahkan As-Syafi'i berguru kepadanya.
Golongan As-Syafiiyah juga mengklaim bahwa
Imam As-Syafi'i lah orang yang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini
di ungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd Ar-Rohman Ibnu Hasan Al-Asnawi.
Menurutnya, "tidak diperselisihkan lagi "Imam Syafi'i adalah tokoh
besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak
asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah2
Kalau dikembalikan pada sejarah, yang
pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat
dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun yang diperselisihkan
adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqih sebagai suatu disiplin
ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita
perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih.
Secara garis besar ada dua teori penulisan yang dikenal yakni.
Pertama,
merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan
menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah
tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang
merintisnya.
Kedua, merumuskan
kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahit dan meng-istinbat hukum dari
sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu
pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang
ditempuh Al-Qur'an-syafi’i dalam kitabnya ar-risalah, suatu kitab yang tersusun
secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab seperti ini belum
ada sebelumya, menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah (sulaiman:64).
- Tahapan
perkembangan ushul fiqih
secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di
bagi dalam tiga tahapan yaitu:
- Tahap awal (abad 3H)
pada abad 3 H di bawah pemerintahan
Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur.khalifah-khalifah yang
berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma'mun(w.218H), Al-Mu'tashim(w.227H), Al
Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu
kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid.
salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika
itu adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk
disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh
yang pertama-tama tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah
Ar-Risalah karangan As-Syafi'i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab
yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata "kedudukan As-Syafi'i dalam ushul
fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan
Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud".
Ulama sebelum As-Syafi'i berbicara tentang
masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum
memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil
syari'at dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi'i
menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan
rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar'I, kalaupun ada
orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetap
bergantung pada Asy-Syafi'i karena Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk
pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah
tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M)
menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra'yu. Ibrahim Ibnu
Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab
ushul-fiqh yang ada pada abad 3 h ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran
ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu
sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah
yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang
telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab fiqh, dan inilah salah satu
penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai
perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan Malikiyah misalnya
mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqh dikarenakan Imam
Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al
Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang
berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya
dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam
satu hadits saja
- Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad
permulaan kelemahan Dinasty abaSsiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah
terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang
sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat
keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah
itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada
masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri'
Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad
ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan
sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas,
terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin
mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal
ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan
melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam
terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang
ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh
para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:
- Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka
mereka disebut ulama takhrij
- Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam
segi riwayat dan dirayah.
- Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah.
Mereka menyusu kitab al-khilaf
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa
pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya dalam perkembangan
fiqh Islam adalah sebagai berikut:
- Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang
telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau
memahami dan meringkasnya.
- Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian
yang sungkat
- Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah
permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di
bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk
meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru
memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh.
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh
dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang
merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara kitab yan terekenal adalah:
- Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu
Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
- Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu
Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
- Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din
Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas
dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4h yaitu munculnya kitab-kitab ushul
fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti
yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya
kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat
pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan
dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih
sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi
hal ini merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu
ushul fiqh pada awal abad 4h., juga tampak pula pada abad ini pengaruh
pemikiranyang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq
dalam ilmu ushul fiqih.
- Tahap penyempurnaan ( 5-6 H )
kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai
dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan
peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi
juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu
disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa
daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang
ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus
untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd.
Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain,
Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah
pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian
hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul
fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman ,
itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa
menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi
sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih
pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang
diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian
ilmu ushul fiqih slanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada
zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing
madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah
yang dikenal dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin
BAB
III
KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelsan di atas dapat
disimpulkan
- Apa yang
dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat,
tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan.
Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan
yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin
ilmu tersendiri
- Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya.
Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang
sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan
hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
- Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu
upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan
social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga
hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad
kelima dan awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan
ilmu ushul fiqh Karena banyak ulama yang mmusatkan perhatianya pada bidang
ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan
rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar anda di sini