Senin, 12 Mei 2014

IJMA'




BAB I
PENDAHULUAN

  A.    Latar Belakang Masalah

Ijma’ merupakan kebulatan fuqaha mujtahidin pada sesuatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa rasulullah SAW dan merupakan sumber yang kuat dalam menetapkan hukum-hukum Islam dan menduduki tingkatan ke tiga dalam uruan sumber hukum Islam dan yang keempat Qiyas dan yang kelima ijtihad. Ijma’ sebagai sumber hukum di tujukan oleh beberapa ayat Qur;an dan Hadits Nabi yang mengatakan bahwa kebulatan ahli ilmu dan fikiran menjadi pegangan, dan menyuruh memperkokoh kesatuan dan melarang pemisahan diri.
Harus dikemukakan sejak awal bahwa ijma’ itu tidak terlepas dari penyandaran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, . Sebagai doktrin dan dalil syari’ah, ijma’ pada dasarnya ijma’ merupakan dalil rasional. Teori ijma’ juga jelas bahwa ia merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak konsensus mutlak dan universal sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun konsensus mutlak mengenai
materi ijma’ yang bersifat rasional sering kali sulit terjadi. Adalah wajar dan masuk akal untuk hanya menerima ijma’ sebagai realitas dan konsep yang falid dalam pengertian relative, tetapi bukti factual tidak cukup untuk menentukan universalitas ijma’. Definisi klasik dan syarat esensial ijma’ sebagai mana ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat jelas bahwa tak kurang dari konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat dianggap sebagai ijma’ yang meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada sedikitpun ruang bagi ketidak sepakatan, atau ikhtilaf, mengenai konsep ijma’. Teori ijma’ juga tidak mau menerima gagasan relatifitas atau meluasnya ketidaksepakatan dalam dirinya

  B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian dari Ijma’?
2.      Apa Syarat-syarat Ijma’?
3.      Apa Macam-macam Ijma’?
4.      Bagaimana Kehujjahan Ijma’?

  C.    Tujuan Penelitian.

1.      Untuk Mengetahui Pengertian Ijma’
2.      Untuk Mengetahui Syarat-syarat Ijma’
3.      Untuk Mengetahui Macam-macam Ijma’
4.      Untuk Mengetahui Kehujjahan Ijma’



                                                                                      



BAB II
PEMBAHASAN

  A.    PENGERTIAN IJMA’

1.      Menurut Bahasa

Definisi ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti :
a.    Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat
71 :

عَلَيهِمْ نَبَاَنُوحٍ إِذْقَالَ لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِيْ وَتَذْكِريْ بِايتِ اللّهِ فَعَلَي اللّهِ تَوَكَّلْتُ فَاَجْمِعُوْآ اَمْرَكُمْ ؤَشُرَكَاءَ وَتْلُو
ثُمَّ لاَ يَكُنْ اَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوْآ اِلَيَّ وَلاَ تُنْضِرُوْنِ. (يونس : 71)
            Artinya :
“Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah-lah bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanya). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu member tangguh kepadaku.”
Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temanya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh. Dan hadist Rasulullah SAW. Yang artinya : “Barang siapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
b.      Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah ber-ijma’ bila mereka bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat yusuf ayat 15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara yusuf a.s

فَلَمَّا ذَهّبُوْا بِهِ وَاَجْمَعُوآ اَنْ يَجْعَلُوْهُ فِيْ غَيبَتِ الحُبِّ. وَاَوْحَيْنَآ اِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِاَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لاَيَشَعُرُوْنَ. (يوسوف : 15)

Artinya :

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkanya ke dasar sumur (lalu merek memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) kmi wahyukan kepada yusuf, “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan merek ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (QS. Yusuf : 15).

Yakni mereka bersepakat terhadap rencana tersebut. Yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.[1]



2.      Ijma’ Menurut Istilah Ulama’ Ushul

Para Ulama’ ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah diantaranya :

a)      Pengarang kitab ushul Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hokum syara’.

b)      Pengarang kitab tahrir, Al-kamal bin Hamam berperndapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’. (Al-Ghifari)[2]

  B.     SYARAT-SYARAT IJMA’

Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi criteria-kriteria di bawah ini.

1.      Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid

Para ulama’ berselih faham tentang istilah mujtahid, secara umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama’ yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hokum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab jam’ul jawami disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang-orang yang faqih. Dalam Sulam Ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama’ ijma’, sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazin dalam Hikam.

Selain pendapat di atas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat Al-Wadih dalam kita isbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlu Al-halli wal aqdi.

Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu mengistinbath hokum dari sumbernya.

Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh)  atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu pula penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hokum-hukum syara’.

Maka, apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, tidak akan terjadi ijma’. Meskipun ada, tetapi hanya satu orang, itupun tidak bisa dikatakan ijma’, karena tidak mungkin orang bersepakat dengan dirinya. Dengan demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma’ bila dilakukan oleh tiga orang atau lebih. Adapun kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama’ berbeda pendapat, ada yang menyatakan bahwa hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, akan tetapi menurut jumhur ulam’ hal itu termasuk ijma’, karena mewakili kesepakatan eluruh mujtahid yang ada pada masa itu.[3]

2.      Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid

Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainya tidak, meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.

Sebagian ulama’ berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan para ijma’. Termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hkum keseluruhan.

Sebagian ulama’ yang lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu telah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma’. Karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil sahih yang mereka jadikan landasan penetapan hokum. Dan jarang terjadi, kelompok kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok besar.[4]

3.      Para Mujtahid Harus Umat Nabi Muhammad SAW.

Para ulama’ berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad SAW. Adalah orang-orang muallaf dari golongan Ahl-halli wa Al-aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf adalah muslim, berakal, dan telah baligh.

Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama’ selain ummat Muhammad SAW. Tidak bisa dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat Nabi lain yang ber-ijma’. Adapun ijma’ ummat Nabi Muhammad SAW. Tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.[5]

4.      Dilakukan Setelah wafatnya Nabi

Ijma’ itu terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantisa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.[6]

5.      Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at.

Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitanya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram, dan lain-lain.

Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-ghazali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-juwaini yang dalam kitab Al-warakat, syaifudin dalam Qawaidul Ushul, Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir. Dan lan-lain.

Adapun mengenai masa atau zaman, para ulama’ ada yang memasukkanya sebagai syarat ijma’. Sedang Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jam’ul Jawami’ mengartikan zaman dalam definisi ijma’ di atas dengan zaman mana saja.[7]

  C.    MACAM-MACAM IJMA’

Macam-macam ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :

1.      Ijma’ Sharih

Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing, kemudian menyepakati salah satunya.

Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul di suatu tempat kemudian masing-masing, kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut.

Selain itu, bisa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian, kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian itu. Mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid pertama. Dan mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah difatwakan tersebut, begitu seterusnya sehingga semua mujtahid menyepakati pendapat tersebut.

2.      Ijma’ Sukuti

Adalah pendapat sebagian ulama’ tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainya, tapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila memenuhi beberapa criteria di bawah ini :

a.       Diamnya para mujtahid itu betul-betl tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan.
b.      Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahanya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
c.       Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzanni.[8]

  D.    KEHUJJAHAN IJMA’

Ijma’ itu menjadi hujjah (pegangan) dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni al-Qur’an dan al-Hadist. Dan tidak menjadi ijma’, kecuali telah disepakati oleh semua ulama islam dan selama tidak menyalahi nash yang qath’I (kitabullah dan hadis mutawattir).

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai kehujjahan ijma’ ialah dhanni, bukan qath’i. oleh karena nilai ijma’ itu dhanni, maka ijma’ itu dapat dijadikan hujjah (dipegangi) dalam urusan amal, bukan dalam urusan I’tiqad itu mesti dengan dalil yang qath’i.

Kehujjahan ijma’ itu berdasarkan al-Qur’an dan hadis sebagai berikut :

Menurut al-Qur’an :

يَا اَيُّهَاالَّذِيْنَ آ مَنُوْا أَطِيْعُوْاللّهَ وَاَطِيْعُوْاالرَّسُوْلُ وَأُوْلِى الأَمْرِ مِنْكُمْ. (النساء_59)

“Wahai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah, patuhilah Rasul, dan patuhilah orang-orang yang memerintah diantara kamu.”

Yang dimaksud ulil amri ialah penguasa (pemerintah) dan para ulama.

Menurut hadis :

لاَ تَجْمَعُ أُمَّتِى عَلَى الضَّلآ لَةِ.

“Umatku tidak bersepakat atas kesehatan”.[9] 




BAB III
PENUTUP

  A.    KESIMPULAN

1.        Ijma’ menurut bahasa ialah sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan jika menurut istilah ialah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Muhammad, sesudah wafat pada suatu masa, tentang suatu perkara (hokum).
2.        Ijma’ bisa terjadi jika mempunyai criteria di bawah ini :
v  Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
v  Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
v  Para Mujtahid Harus Umat Nabi Muhammad SAW.
v  Dilakukan Setelah wafatnya Nabi
v  Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at.
3.        Ijma’ terbagi menjadi dua macam yaitu :
v  Ijma’ Sharih
v  Ijma’ Sukuti
4.        Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai kehujjahan ijma’ ialah dhanni, bukan qath’i. oleh karena nilai ijma’ itu dhanni, maka ijma’ itu dapat dijadikan hujjah (dipegangi) dalam urusan amal, bukan dalam urusan I’tiqad itu mesti dengan dalil yang qath’i.

  B.     SARAN

Demikian makalah ini yang dapat ditulis dari penulis, apabila ada kekurangan dalam penulisan makalah ini, penulis mohon kritik dan saranya, gguna untuk memperbaiki kesalahan yang ada.


BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

·         Rachmat Syafe’i, 2010, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung:Pustaka Setia
·         Moh. Rifa’i, 1973, Ushul Fiqih, Bandung:Al-Ma’arif
  



[1] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka setia, 2010, hal 68-69, Cet. IV
[2] Ibid, hlm 69
[3] Ibid, hlm 70
[4] Ibid, hlm 70-71
[5] Ibid, hlm 71
[6] Ibid, hlm 71
[7] Ibid, hlm 71-72
[8] Ibid, hlm 72-73
[9] Moh. Rifa’I, Ushul Fiqih, Bandung, Al-Ma’arif, hlm 129-130, Cet. 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini