BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Istilah
tasawuf adalah suatu makna yang mengandung arti tentang segala sesuatu untuk
berupaya membersihkan jiwa serta mendekatkan diri kepada Allah dengan mahabbah yang sedekat-dekatnya.
Tasawuf mempunyai banyak arti dan istilah yang kesemuanya itu merupakan ajaran
tentang kesehajaan, kezuhudan, keserdehanaan, jauh dari kemegahan dan selalu
merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Intinya segala perilaku dan perbuatannya
semata-mata hanya untuk Allah SWT.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Tasawuf Falsafi ?
2.
Bagaimana perkembangan Tasawuf Falsafi ?
3.
Siapakah tokoh-tokoh dalam Tasawuf Falsafi dan bagaimana ajarannya?
4.
Apa saja karakteristik Tasawuf Falsafi ?
C. Tujuan
Masalah
1.
Untuk mengetahui apa
pengertian Tasawuf Falsafi
2.
Untuk mengetahui perkembangan Tasawuf Falsafi
3.
Untuk mengetahui apa saja karakteristik Tasawuf Falsafi
4.
Untuk mengetahui siapakah tokoh-tokoh dalam Tasawuf Falsafi dan
bagaimana ajarannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi berbeda dengan tasawuf akhlaki dan irfani,
perbedaannya kalau tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang memerlukan publik
untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai pengetahuan, tetapi harus
terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia. Tasawuf akhlaki merupakan
gabungan antara ilmu tasawuf dengan ilmu akhlak. Akhlak erat hubungannya dengan
perilaku dan kegiatan manusia dalam berinteraksi sosial pada tempat tinggalnya.
Sedangkan Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Maksudnya dalam ajarannya itu
menggunakan metode yang serba mistis atau tersembunyi, bersifat rahasia-rahasia
sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengenal, mengetahui dan memahami terutama kepada penganutnya.
Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat
yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun keasliannya sebagai tasawuf tetap
tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai
filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak
pula bisa dikategorikan pada tasawuf (yang murni), karena sering diungkapkan
dengan bahasa filsafat.[1]
B.
Perkembangan Tasawuf Falsafi
Menurut At-Taftazani tasawuf falsafi mulai muncul dalam khazanah
islam sejak abad ke-6 H, meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad
kemudian. Sejak saat itu, tasawuf sejenis ini terus hidup dan berkembang,
terutama di kalangan para sufi yang juga filsuf, sampai menjelang akhir-akhir
ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi
ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf sejenis ini bercampur
dengan sejumlah ajaran filsafat di luar islam, seperti dari Yunani, Persia, India,
dan agama nasrani.[2]
C.
Tokoh dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi
1.
Ibn Arabi
a.
Biografi Ibn Arabi
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Tha’i al-Haitami.
Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dan meninggal
pada tahun 638 H gdi Damaskus. Di Sevilla (Spanyol) ia memepelajari Al-Qur’an,
Hadist sertaa fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia yakni Ibn Hazm
Az-Zuhri.[3]
b.
Ajaran-Ajaran Ibn ‘Arabi
Ajaran
pertama dari Ibn ‘Arabi adalah wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
merupakan ajaran sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal dari dirinya
tapi berasal dari Ibn Taimiyah yang merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik
ajaran sentral tersebut. Wahdat al-wujud menurut Ibn Taimiyah, wahdat
al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang-orang yang
mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya
hanya satu. Dan mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan tidak ada
perbedaan.[4]
Sedangkan
menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud
makhluk merupakan hakikat dari wujud khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya
dari segi hakikat. Menurutnya wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan
Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (khaliq)
dengan wujud yang baru (makhluk). Hal itu dinyatakan dalam Al-Qur’an : “Maha
Suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat
segala sesuatu itu”.[5]
Apabila
dilihat dari kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu
dengan wujud alam. Menurut Ibn Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Tuhan dan
tidak ada wujud selain Wujud-Nya. Berarti, apapun selain Tuhan, baik berupa
alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Dalam bentuk lain
dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan wujudnya
bergantung pada wujud Tuhan. Semua yang berwujud selain Tuhan tidak akan
mempunyai wujud seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah
sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya
mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan.
Alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan yang wujud yang hakiki. Alam tidak
mempunyai wujud sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan tempat tajalli
(penampakaan Tuhan).[6]
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa ajaran pokok dari Ibn Arabi adalah wahdat al-wujud yang
mengatakan bahwa wujud Tuhan itu hakikatnya sama dengan segala sesutu yang Dia
ciptakan, karena dinilai sebagai perwujudan Tuhan.
2.
Al-Jilli
a.
Biografi Al-Jilli
Nama
lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M.
Di Jilan –giwan, sebuah provinsi disebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun
1417M. Nama Al- Jilli diambli dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah
seorang sufi yang terkenal dari Baghdad.[7]
b.
Ajaran-Ajaran Al-Jilli
Adapun
ajaran-ajaran yang telah tasawuf falsafi menurut Al-Jilli, antara lain :
1.
Insan Kamil
Ajaran yang terpenting menurut Al-Jilli adalah insan kamil yang
berarti manusia sempurna. Al-Jilli memperkuatnya dengan hadist : “Allah
menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha Rahman. Sebagaiman diketahui, Tuhan
mempunyai sifat hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya.
Manusia Adam pun mempunyai sifat seperti itu dan dapat dipahami bahwa Adam
dilihat dari sisi penciptaanya merupakan salah seorang insan kamil
dengan segala kesempurnaanya. Sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama
ilahiyah. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu
pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian
inheren dengan esensinya. Sebab sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak
memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil.[8]
Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin.
Seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula
halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya kecuali demngan
cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat meliht dirinya, kecuali
melalui cermin insan kamil.[9]
Dan dijelaskan dalam QS.Al-Ahzab: 33) yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, maka semunya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”
Ketidaksempurnaan
manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi, termasuk bayi yang berada
dalam kandungan ibunya. Al kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh
manusia secara profesional (bi al-quwwah) dan mungkin secara aktual (bi
al-fi’il) seperti yang terdapat dalam wali-wali, dan nabi-nabi meskipun dalam
intensitas yang berbeda.[10]
Jadi
yang dimaksud dengan insan kamil oleh Al-Jilli adalah manusia dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya terdapat sifat-sifat dan nama-nama illahi. Hal ini sama
dengan Al-Arabi yang ajarannya lebih mengedepankan akal.
2.
Maqamat (Al-Martabah)
Al-Jilli sebagai
seorang sufi dengan membawa ajaran insan kamil, maka ia juga merumuskan
maqam/tingkatan yang harus dijalani oleh serang sufi pula, diantaranya:[11]
a)
Pertama : Islam, yamg didasarkan pada lima pokok atau rukun, dalam
pemahaman kaum sufi, tidak hanya melakukan kelima pokok itu secara ritual,
tetapi juga harus dipahami dan direalisasikannya.
b)
Kedua: Iman, yakni membenarkan dalam
hati denagan keyakinan yang sebenar-benarnya. Iman merupakan tangga pertama
untuk mengungkap tabir alam ghaib, dan alat yang membantu seseorang untuk
mencapai maqam yang lebih tinggi.
c)
Ketiga: ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat
ibadah yang terus-menerus kepada Allah, sehingga hal ini untuk mencapai maqam
tertinggi dihadapan Allah dengan menjalankan syari’at-syari’atnya dengan baik.
d)
Keempat : Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi
telah mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam
ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus
ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqomah dalam tobat, inabah, zuhud,
tawakal, tafwidh, ridha ataupun ikhlas.
e)
Kelima: Syahadah, yakni seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah
dengan ciri-ciri: mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara
terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang bersifat pribadi.
f)
Keenam: shiddiqiyah, yakni seorang sufi dalm tingkatan derajat shiddiq akan
menyaksikan hal-hal yang ghaib sehingga dapat mengetahui hakikat dirinya.
g)
Ketujuh: qurbah, yakni maqam ini meupakan maqam yang memungkinkan seseorang
dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama
Tuhan.
Jadi dapat disimpulkan
bahwa betapapun manusia sesempurna apapun dengan nama dan sifat Allah, akan
tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu tidak bisa menyamai sifat dan
nama-nama Tuhan.
3.
Ibn Sabi’in
a.
Biografi Ibn Sabi’in
Nama lengkap Ibn Sabi’in adalah ‘Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad
ibn Nashr, seorang sufidan juga filsuf dari Andalusia. Ia di panggil Ibn
Sabi’in dan digelari Quthbuddin dan dikenal pula dengan panggilan Abu Muhammad.
Dia berasal dari keturunan Arab dan dilahirkan tahun 614 H (1217/1218 M) di
kawasan Murcia dan lahir dari keluarga terhormat. Dia mempelajari bahasa arab
dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu
logika dan filsafat. Dia mengemukakan bahwa guru-gurunya itu adalah Ibn Dihaq,
yang dikenal dengan Ibn Mir’ah (wafat 611 H).[12]
b.
Ajaran-Ajaran Ibn Sabi’in
1)
Kesatuan Mutlak
Ibn Sabi’in pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis
yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensialnya sederhana yaitu
wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya hanyalah wujud
Yang Satu itu sendiri. Paham ini lebih dikenal dengan paham kesatuan mutlak.
Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni, atau menguasai, menurut terminologi
Ibn Sabi’in, hampir tidak mugkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri.[13]
Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat
pertama. Sebab wujud Allah menurutnya
adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Pemikiran-pemikiran
Ibn Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an
yang diinterpretasikan secara filosofis maupun khusus. Misalnya dalam
surat Al-Hadid:3 yang artinya “Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang
batin..”, dan diperkuat dengan hadist qudsi yang artinya:”Apa yang pertama-tama
diciptakan adalah akal budi, maka firman Allah kepadanya maka Terimalah! Ia pun
menerimanya...
Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut merupakan
dasar paham, khusunya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban
Allah SWT. Paham ini sama dengan paham hakikat Muhammad SAW. Pencapai kesatuan
mutlak menurut Ibn Sabi’in adalah
individu yang paling sempurna, sempurna yang dimilki seoran faqih, teolog,
filsuf ataupun sufi.[14]
2)
Penolakan terhadap Logika Aristotelian
Paham
kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian. Terbukti dalam
karyanya Budd Al-A’rif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif
sebagai pengganti logika yang berdasaarkan pada konsepsi jamak. Ibn sabi’in
menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak
termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan panalaran, tetapi termasuk tembusan
illahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun
yang pernah didengarnya.
Kesimpulan
penting Ibn Sabi’in dengan logikanya tersebut adalah realitasa-realitas logika
dalam jiwa manusia bersifat alamiah yang memberi kesan adanya wujud jamak
sekedar ilusi belaka.
D.
Ciri Umum dan Ciri Khusus Tasawuf Falsafi
Adapun yang menjadi ciri-ciri Umum Tasawuf Falsafi antara lain:
1.
Adanya latihan rohani yang didasakan pada rasa (dzauq), Intuisi,
dan introspeksi diri yang timbul darinya
2.
Hakekat yang tersingkap dari alam ghaib
3.
Peristiwa dalam alam berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan
4.
Ungkapan yang berbentuk samar
Sedangkan
yang menjadi ciri-ciri khusus dari Tasawuf Falsafi antara lain :
1.
Mengkonsepsikan ajaran-ajaran dengan menggabungkan antara rasional
dan perasaan
2.
Mendasarkan pada latihan-latihan ruhaniah (riyadah)
3.
Iluminasi atau bayangan
sebagai metode untuk mengatahui berbagai hakekat, yang menurut
penganutnya bisa dicapai dengan fana’
4.
Selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakekat
realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi
1.
Ajarannya samar-samar akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan
khusus yang hanya bisa dipahami pada tasawuf
jenis ini
2.
Metode ajarannya didasarkan pada rasa (dzauq) dan rasional dengan
berdasarkan akal.
3.
Ajaran-ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa-bahasa dan
terminologi filsafat, dan cenderung mendalam ke dalam panteisme ( teori yang
berpendapat bahwa segala sesuatu merupakan perwujudan Tuhan)
4.
Di dasarkan pada latihan-latihan ruhaniyah (riyadah), yang
dimaksudkan sebagai peningkatan moral untuk mencapai kebahagiaan
5.
Iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakekat realitas
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
materi-materi yang dijelaskan di atas mengenai pembahasan tasawuf falsafi, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Tasawuf
Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasional (filsafat) hingga menuju ketingkat
yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal
Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdat al- wujud (kesatuan wujud).
2.
Tokoh-tokoh tasawuf falsafi serta ajaran-ajarannya antara lain
yaitu:
a.
Ibn Arabi
Ajaran tasawufnya yaitu yang paling sentral adalah wahdat
al-wujud (kesatuan wujud).
b.
Al-Jilli
Ajaran tasawufnya yaitu tentang insan kamil (manusia
sempurna).
c.
Ibn Sabi’in
Ajaran
tasawufnya yaitu tentang kesatuan mutlak dan ia menolak terhadap logika
Aristotelian.
Jadi
yang menjadi karakteristik dari tasawuf falsafi adalah ajarannya lebih mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan
pemahaman yang lebih mendalam, mengedepankan akal, ajarannya memadukan antara
visi mistis dan rasional.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon
Anwar, 2010, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia
Moh.
Toriquddin, 2008, Sekularitas Tasawuf, Malang: UIN Malang Press
M. Afif Anshor, 2004, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, Yogyakarta:
Gelombang Pasang
M.
Solihin, Rosihan Anwar, 2002, Kamus Tasawuf, Bandung: Remaja Rosdakarya
[1] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Sufi dari Zaman ke Zaman
oleh Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi, hlm.187
[2] Ibid, hlm.187
[3] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari karangan At-Taftazani, hlm.201
[4] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Bathlm Al-Ishlah Ad-Diniy,
Muhammad Mahdi Al-Instanbuli, hlm.59
[5] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah,
Ibn Arabi,hlm.604
[6] Dikutip oleh Moh. Toriquddin dari buku Cakrawala Tasawuf, M. Jamil, hlm.150
[7] Moh. Toriqquddin, Sekularitas Tasawuf,cet.I (Malang:UIN Malang
Press, 2008), hlm.177
[8] Ibid, hlm.177
[9] Ibid, hlm.177
[10] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,cet.X (Bandung: Pustaka Setia,
2010) hlm.289
[11] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari Al-Jilli, juz.II, hlm.130
[12] Dikutip oleh Rosihon Anwar dari kitab Ihya ‘Ulum Ad-Din, Abu Hamid
Al-Ghazali, hlm.201-202
[14] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,cet.X (Bandung:Pustaka Setia, 2010),
hlm.300
Prediksi Togel HK Mbah Bonar 15 Januari 2020 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Ratusan Juta Rupiah !!!
BalasHapus