Selasa, 17 Juni 2014

QIYAS



BAB I
PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang
Ushul fiqih adalah suatu ilmu yang mengungkap tentang berbagi metode yang dipergunakan oleh para mujtahid dalam menggali dan menapak suatu hukum syari’at dari sumbernya yang telah dinashkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan apabila tidak ada nashnya, dicari dari permasalahannya diatas jalan yang benar dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah Qiyas.
Qiyas ialah mempersamakan hukum suatu kasus yang tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena persamaan illat hukum.


    B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian Qiyas?
2.      Bagaimana kehujjahan Qiyas?
3.      Apa rukun Qiyas?
4.      Apa syarat-syarat Qiyas?
5.      Bagaimana pembagian Qiyas?
6.      Apa macam-macam Qiyas?
7.      Apa contoh Qiyas dalam konteks kontemporer?

C.     Tujuan penulisan
          1.      Untuk mengetahui pengertian Qiyas
          2.      Untuk mengetahui Bagaimana kehujjahan Qiyas
          3.      Untuk mengetahui rukun Qiyas
          4.      Untuk mengetahui syarat-syarat Qiyas
          5.      Untuk mengetahui pembagian Qiyas
          6.      Untuk mengetahui macam-macam Qiyas
          7.      Untuk mengetahui contoh Qiyas dalam konteks kontemporer



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa berarti taqdir (membandingkan) dan musawah (penyamaan). Ada juga yang mengartikan Qiyas adalah  menggabungkan atau menyamakan. Dalam  arti menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Qiyas secara istilah adalah “Penyamaan suatu cabang dengan pokok dalam suatu hukum karena adanya illah (sebab) yang menyatukan (mengumpulkan) keduanya.”
Qiyas adalah salah satu dalil yang menjadi dasar tetapnya hukum-hukum syar’i.  Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.

B.     Kehujjahan Qiyas
Terhadap kehujjahan Qiyas dalam menetapkan hukum syara’, terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Jumhur Ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’.
Berbeda dengan Jumhur, para Ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu:
1)      ‘illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isyarat.
2)      Hukum far’u harus lebih utama dari pada hukum ashl.
Menurut Ulama Zhahiriyyah, termasuk imam syaukani berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang boleh, tetapi tidak ada satu nashpun dalam ayat Al-Qur’an yang menyatakan wajib melaksanakannya. Argumentasi ini mereka kemukakan dalam menolak pendapat Jumhur Ulama yang mewajibkan pengamalan qiyas.
Ulama syi’ah Imamiyah dan Al-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamlkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
Wahbah al-Zuhaili, menyimpulkan bahwa pendapat itu bisa dipilah kedalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas Ulama Ushul fiqih; dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum, yaitu Ulam-ulama syi’ah, Al-Nazzam, Zhahiriyyah dan Ulama Mu’tazilah dari Irak.
Alasan  mereka yang menolak qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’, yaitu karena qiyas bersifat Zhann (persangkaan).
Dalil yang menerima qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’:
1.      Dalil dari Al-Qur’an:
a)      “Allah-lah yang menurunkan Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan).” (QS. Asy-Syura: 17)
b)      “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 104)
c)      “Dan Allah-lah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu ke suatu negeri yang mati, lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu.” (QS. Fathir[35]: 9)
2.      Dalil dari As-Sunnah:
Sabda Rasulullah SAW kepada seorang wanita yang bertanya kepada beliau tentang puasa untuk ibunya setelah ibunya meninggal,
“Bagaimana pendapatmu jika ibumu itu mempunyai hutang, lalu kamu melunasinya, bukankah pelunasan yang kamu lakukan itu telah membayarkan hutangnya?” Wanita itu nenjawab, “Ya. “Beliau bersabda, “Kalau begitu, berpuasalah untuk ibumu.”
3.      Dalil dari ucapan-ucapan sahabat:
Dalam surat Amirul-Mukminin ‘Umar bin al-Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari tentang penetapan hukum, disebutkan: “Kemudian pemahaman dan pemahaman tentang yang dittunjukkan oleh dalil yang ada padamu yang tidak terdapat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, kemudian qiyaskan perkara-perkara itu menurutmu dan ketahuilah permisalan-permisalannya, kemudian sandarkan hal itu kepada yang kamu anggap paling dicintai oleh Allah dan lebih mirip kepada kebenaran.”
Ibnul-Qayyim berkata, “ini adalah surat yang sangat agung yang diterima para ulama dengan sepenuh hati.”
Al-Muzani menceritakan nahwa para fuqaha pada zaman sahabat sampai zamannya telah bersepakat (ijma’) bahwa sesuatu yang sepadan dengan kebenaran adalah kebenaran dan sesuatu yang sepadan dengan kebatilan adalah kebatilan, dan mereka menggunakan qiyas dalam bidang fiqih pada seluruh hukum.
  
C.    Rukun Qiyas
Rukun Qiyas ada empat;
1.      Ashl (pokok), yaitu yang menjadi penggabung atau penyama
2.      Far'u (cabang), yaitu yang gabung atau disamakan
3.      Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabangnya atau makna yang menyebabkan adanya hukum ashl (pokok)
4.      Al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil syar’i.

D.    Syarat-syarat Qiyas
Qiyas mempunyai beberapa syarat, antara lain:
1.      Tidak bertabrakan dengan dalilyang lebih kuat. Qiyas itu tidak dianggap atau (tidak diterima) jika bertabrakan dengan dalil nash atau ijma’ atau pendapat para sahabat. Qiyas yang bertabrakan (bertentangan) dengan nash dinamakan fasidul-i’tibar.
2.      Hukum perkara yang ashl (pokok) ditetapakan berdasarkan pada nash atau ijma’. Jika hal itu ditetapkan berdasarkan qiyas, tidak sah dijdikan sebagai sandaran qiyas. Yang dapat dijadikan sandaran qiyas hanya pokok yang pertama karena kembali kepadanya lebih utama.
3.      Hukum pokok tersebut mempunyai illah (alasan, sebab) yang diketahui supaya dapat digabungkan antara yang pokok dan yang cabang dalam hal illah tersebut. Jika hukum pokok tersebut bersifat ta’abbudi mahdh (ibadah murni), maka tidak dapat dijadikansandaran qiyas.
4.      Illah tersebut mengandung makna yang sesuai dengan hukum yng diketahui dari kaidah-kaidah syara’.
5.      ‘Illah di atas terdapat pada cabang sebagaimana terdapat pada pokok.

E.     Pembagian Qiyas

Qiyas dibagi menjadi jaliy (jelas) dan khafi (tersembunyi).

1.      Qiyas jaliy adalah qiyas yang ‘illahnya ditetapkan berdasarkan nash, ijma’ atau sesuatu yang dapat dipastikan karena tidak adanya pembeda (pemisah) antara yang pokok dan cabang.

2.      Qiyas khafi adalah qiyas yang ‘illahnya dietapkan dengan cara istimbath dan tidak dapat dipastikan dengan tidak adanya perbedaan antara yang pokok dan yang cabang.

F.     Macam-macam Qiyas

1.      Qiyas Syabah

Di antara macam qiyas ada yang dinamakan qiyas syabah, yaitu sebuah cabang berada diantara dua pokok yang berbeda hukumnya, tetapi padanya ada keserupaan dengan masinng-masing di antara dua asal tersebut. Kemudian cabang tersebut diikutkan kepada pokok yang lebih banyak memiliki keserupaan dengannya.

Contohnya adalah budak. Apakah budak itu dapat memiliki karena diqiyaskan kepada orang yang mereka atau tidak dapat memiliki karena diqiyaskan kepada hewan.

Jika kita lihat dua asal (pokok) ini: orang merdeka dan hewan,kita dapati bahwa budak berada diantara dua posisi ini.

2.      Qiyas ‘Aks (Kebalikan)

Qiyas ‘aks yaitu menetapkan kebalikan hukum pokok kepada cabang, karena padanya ada kebalikan ‘illah dari hukum pokok.

Contohnya, yaitu melakukan jima’ secara halal, kebalikan dari hukum yang pokok, yaitu melakukan jima’ secara haram.

G.    Contoh Qiyas dalam Konteks Kontemporer
Contoh Kasus:
1.      Pembiayaan Mudharabah dengan menggunakan uang kertas
a)      Ashl : pembiayaan mudharabah dengan naqd (uang emas/perak)
b)      Far’un : Pembiayaan mudharabah dengan uang kertas
c)      Hukum ashl ; Boleh
d)     Illat :
-          Telah dilegalisai sebagai alat transaksi dalam perekonomian suatu Negara
-          Merupakan sesuatu yang bernilai
2.      Bunga Bank dengan Riba
a)    Ashl : Riba
b)   Far’un : Bunga Bank
c)    Hukum Ashl : Haram
d)   Illat : Ada tambahan nilai pokok yang tidak jelas asal muasalnya.






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Qiyas adalah  menggabungkan atau menyamakan, Penyamaan suatu cabang dengan pokok dalam suatu hukum karena adanya illah (sebab) yang menyatukan (mengumpulkan) keduanya.
Kehujjahan Qiyas dalam menetapkan hukum syara’, terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. , yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas Ulama Ushul fiqih; dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum, yaitu Ulam-ulama syi’ah, Al-Nazzam, Zhahiriyyah dan Ulama Mu’tazilah dari Irak. Alasan  mereka yang menolak qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’, yaitu karena qiyas bersifat Zhann (persangkaan).
Rukun qiyas ada empat, yaitu Ashl (pokok), Far'u (cabang), Illat dan Al-Hukm. Syarat-syarat qiyas ada lima, yaitu tidak bertabrakan dengan dalil yang lebih kuat, hukum perkara yang ashl (pokok) ditetapakan berdasarkan pada nash atau ijma’, hukum pokok tersebut mempunyai illah (alasan, sebab), ‘Illah tersebut mengandung makna yang sesuai dengan hukum yang diketahui dari kaidah-kaidah syara’ dan ‘Illah di atas terdapat pada cabang sebagaimana terdapat  pada pokok. Macam qiyas ada dua yaitu qiyas syabah dan qiyas ‘aks. Contoh qiyas kontemporer Pembiayaan Mudharabah dengan menggunakan uang kertas dan Bunga Bank dengan Riba.



DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsmaini, Ushul Fiqih, Darul Aqidah, kairo, 2003
Djaluli, Nurol Aen, Ushul Fiqih Metodologi Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2000
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1,Logos Publishing House, Ciputat, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini