BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ushul fiqih adalah suatu ilmu yang mengungkap tentang berbagi
metode yang dipergunakan oleh para mujtahid dalam menggali dan menapak suatu
hukum syari’at dari sumbernya yang telah dinashkan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi pada seorang muslim
pasti ada hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan
apabila tidak ada nashnya, dicari dari permasalahannya diatas jalan yang benar
dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah Qiyas.
Qiyas ialah mempersamakan hukum suatu kasus yang tidak
dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena persamaan illat hukum.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa pengertian Qiyas?
2.
Bagaimana kehujjahan Qiyas?
3.
Apa rukun Qiyas?
4.
Apa syarat-syarat Qiyas?
5.
Bagaimana pembagian Qiyas?
6.
Apa macam-macam Qiyas?
7. Apa contoh Qiyas dalam konteks kontemporer?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Qiyas
2. Untuk mengetahui Bagaimana kehujjahan Qiyas
3. Untuk mengetahui rukun Qiyas
4. Untuk mengetahui syarat-syarat Qiyas
5. Untuk mengetahui pembagian Qiyas
6. Untuk mengetahui macam-macam Qiyas
7. Untuk mengetahui contoh Qiyas dalam konteks kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa berarti taqdir (membandingkan) dan musawah (penyamaan). Ada juga yang mengartikan
Qiyas adalah menggabungkan atau
menyamakan. Dalam arti menetapkan suatu
hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun
memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan
perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Qiyas secara istilah adalah
“Penyamaan suatu cabang dengan pokok dalam suatu hukum karena adanya illah (sebab) yang menyatukan
(mengumpulkan) keduanya.”
Qiyas adalah salah satu dalil
yang menjadi dasar tetapnya hukum-hukum syar’i.
Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata
belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.
B. Kehujjahan Qiyas
Terhadap kehujjahan Qiyas dalam
menetapkan hukum syara’, terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Jumhur
Ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau
sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’.
Berbeda dengan Jumhur, para Ulama
Mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu:
1)
‘illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun
melalui isyarat.
2)
Hukum far’u harus lebih utama dari pada hukum ashl.
Menurut Ulama Zhahiriyyah,
termasuk imam syaukani berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang boleh,
tetapi tidak ada satu nashpun dalam ayat Al-Qur’an yang menyatakan wajib
melaksanakannya. Argumentasi ini mereka kemukakan dalam menolak pendapat Jumhur
Ulama yang mewajibkan pengamalan qiyas.
Ulama syi’ah Imamiyah dan
Al-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum
dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamlkan qiyas adalah sesuatu
yang bersifat mustahil menurut akal.
Wahbah al-Zuhaili, menyimpulkan
bahwa pendapat itu bisa dipilah kedalam dua kelompok, yaitu kelompok yang
menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas Ulama Ushul fiqih; dan
kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum, yaitu Ulam-ulama syi’ah,
Al-Nazzam, Zhahiriyyah dan Ulama Mu’tazilah dari Irak.
Alasan mereka yang menolak qiyas sebagai dalil dalam
menetapkan hukum syara’, yaitu karena qiyas bersifat Zhann (persangkaan).
Dalil yang menerima qiyas sebagai
dalil dalam menetapkan hukum syara’:
1.
Dalil dari Al-Qur’an:
a)
“Allah-lah yang menurunkan
Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan).” (QS. Asy-Syura: 17)
b)
“Sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 104)
c)
“Dan Allah-lah yang mengirimkan
angin, lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu ke suatu
negeri yang mati, lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu.
Demikianlah kebangkitan itu.” (QS. Fathir[35]: 9)
2.
Dalil dari As-Sunnah:
Sabda Rasulullah SAW kepada
seorang wanita yang bertanya kepada beliau tentang puasa untuk ibunya setelah
ibunya meninggal,
“Bagaimana
pendapatmu jika ibumu itu mempunyai hutang, lalu kamu melunasinya, bukankah
pelunasan yang kamu lakukan itu telah membayarkan hutangnya?” Wanita itu
nenjawab, “Ya. “Beliau bersabda, “Kalau begitu, berpuasalah untuk ibumu.”
3.
Dalil dari ucapan-ucapan sahabat:
Dalam surat Amirul-Mukminin ‘Umar
bin al-Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari tentang penetapan hukum, disebutkan: “Kemudian
pemahaman dan pemahaman tentang yang dittunjukkan oleh dalil yang ada padamu
yang tidak terdapat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, kemudian qiyaskan
perkara-perkara itu menurutmu dan ketahuilah permisalan-permisalannya, kemudian
sandarkan hal itu kepada yang kamu anggap paling dicintai oleh Allah dan lebih
mirip kepada kebenaran.”
Ibnul-Qayyim
berkata, “ini adalah surat yang sangat agung yang diterima para ulama dengan
sepenuh hati.”
Al-Muzani
menceritakan nahwa para fuqaha pada zaman sahabat sampai zamannya telah
bersepakat (ijma’) bahwa sesuatu yang sepadan dengan kebenaran adalah kebenaran
dan sesuatu yang sepadan dengan kebatilan adalah kebatilan, dan mereka
menggunakan qiyas dalam bidang fiqih pada seluruh hukum.
C. Rukun Qiyas
Rukun Qiyas ada empat;
1.
Ashl (pokok), yaitu yang menjadi penggabung atau penyama
2.
Far'u (cabang), yaitu yang gabung atau disamakan
3.
Illat, yaitu sebab yang
menggabungkan pokok dengan cabangnya atau makna yang menyebabkan adanya hukum
ashl (pokok)
4.
Al-Hukm, yaitu sesuatu yang
ditunjukkan oleh dalil syar’i.
D. Syarat-syarat
Qiyas
Qiyas mempunyai beberapa syarat, antara lain:
1. Tidak bertabrakan
dengan dalilyang lebih kuat. Qiyas itu tidak dianggap atau (tidak diterima)
jika bertabrakan dengan dalil nash atau ijma’ atau pendapat para sahabat. Qiyas
yang bertabrakan (bertentangan) dengan nash dinamakan fasidul-i’tibar.
2. Hukum perkara yang
ashl (pokok) ditetapakan berdasarkan pada nash atau ijma’. Jika hal itu
ditetapkan berdasarkan qiyas, tidak sah dijdikan sebagai sandaran qiyas. Yang
dapat dijadikan sandaran qiyas hanya pokok yang pertama karena kembali
kepadanya lebih utama.
3. Hukum pokok tersebut
mempunyai illah (alasan, sebab) yang diketahui supaya dapat digabungkan
antara yang pokok dan yang cabang dalam hal illah tersebut. Jika hukum
pokok tersebut bersifat ta’abbudi mahdh (ibadah murni), maka tidak dapat
dijadikansandaran qiyas.
4. Illah tersebut mengandung makna yang sesuai
dengan hukum yng diketahui dari kaidah-kaidah syara’.
5. ‘Illah di atas terdapat pada cabang sebagaimana
terdapat pada pokok.
E.
Pembagian Qiyas
Qiyas
dibagi menjadi jaliy (jelas) dan khafi (tersembunyi).
1. Qiyas jaliy adalah qiyas yang
‘illahnya ditetapkan berdasarkan nash, ijma’ atau sesuatu yang dapat dipastikan
karena tidak adanya pembeda (pemisah) antara yang pokok dan cabang.
2. Qiyas khafi adalah qiyas yang ‘illahnya
dietapkan dengan cara istimbath dan tidak dapat dipastikan dengan tidak adanya
perbedaan antara yang pokok dan yang cabang.
F.
Macam-macam Qiyas
1.
Qiyas
Syabah
Di antara macam qiyas ada yang dinamakan qiyas syabah,
yaitu sebuah cabang berada diantara dua pokok yang berbeda hukumnya, tetapi
padanya ada keserupaan dengan masinng-masing di antara dua asal tersebut.
Kemudian cabang tersebut diikutkan kepada pokok yang lebih banyak memiliki
keserupaan dengannya.
Contohnya adalah budak. Apakah budak itu dapat memiliki
karena diqiyaskan kepada orang yang mereka atau tidak dapat memiliki karena
diqiyaskan kepada hewan.
Jika
kita lihat dua asal (pokok) ini: orang merdeka dan hewan,kita dapati bahwa
budak berada diantara dua posisi ini.
2. Qiyas
‘Aks (Kebalikan)
Qiyas
‘aks yaitu menetapkan kebalikan hukum pokok kepada cabang, karena padanya ada
kebalikan ‘illah dari hukum pokok.
Contohnya, yaitu
melakukan jima’ secara halal, kebalikan dari hukum yang pokok, yaitu melakukan
jima’ secara haram.
G. Contoh Qiyas dalam Konteks Kontemporer
Contoh Kasus:
1.
Pembiayaan Mudharabah
dengan menggunakan uang kertas
a) Ashl : pembiayaan
mudharabah dengan naqd (uang emas/perak)
b)
Far’un : Pembiayaan mudharabah dengan uang kertas
c)
Hukum ashl ; Boleh
d)
Illat :
-
Telah dilegalisai sebagai alat transaksi dalam perekonomian suatu Negara
-
Merupakan sesuatu yang bernilai
2.
Bunga Bank dengan Riba
a) Ashl : Riba
b) Far’un : Bunga Bank
c) Hukum Ashl : Haram
d) Illat : Ada tambahan
nilai pokok yang tidak jelas asal muasalnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan, Penyamaan
suatu cabang dengan pokok dalam suatu hukum karena adanya illah (sebab) yang menyatukan (mengumpulkan) keduanya.
Kehujjahan Qiyas dalam menetapkan
hukum syara’, terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. , yaitu kelompok
yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas Ulama Ushul
fiqih; dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum, yaitu Ulam-ulama
syi’ah, Al-Nazzam, Zhahiriyyah dan Ulama Mu’tazilah dari Irak. Alasan mereka yang menolak qiyas sebagai dalil dalam
menetapkan hukum syara’, yaitu karena qiyas bersifat Zhann (persangkaan).
Rukun qiyas ada empat, yaitu Ashl
(pokok), Far'u (cabang), Illat dan Al-Hukm. Syarat-syarat qiyas ada
lima, yaitu tidak bertabrakan dengan
dalil yang
lebih kuat, hukum perkara yang ashl (pokok) ditetapakan berdasarkan
pada nash atau ijma’, hukum pokok tersebut mempunyai illah
(alasan, sebab), ‘Illah tersebut mengandung makna yang sesuai dengan
hukum yang diketahui dari
kaidah-kaidah syara’ dan ‘Illah di atas terdapat pada cabang sebagaimana
terdapat pada pokok. Macam qiyas ada dua
yaitu qiyas syabah dan qiyas ‘aks. Contoh qiyas kontemporer Pembiayaan Mudharabah
dengan menggunakan uang kertas
dan Bunga Bank dengan Riba.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsmaini, Ushul
Fiqih, Darul Aqidah, kairo, 2003
Djaluli, Nurol Aen, Ushul Fiqih
Metodologi Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2000
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1,Logos
Publishing House, Ciputat, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar anda di sini