KATA
PENGANTAR
الّسَّلاَمُ عَلَيكُم وَرَحمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ
Alhamdulillah
segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
dan melimpahkan rahmat, hidayat dan inayahnya kepada penulis sehingga penulis
bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.
Mengingat
kurangnya kemampuan dan keterbatasan penulis dalam menyelesaikan makalah ini,
penulis meyakini bahwa tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bimbingan dan
bantuan dari
berbagai pihak. Atas bimbingan dan bantuan tersebut tiada yang
dapat penulis ucapan salain ucapan terima kasih, kepada:
1.
Allah SWT yang
telah memberikan nikmat, sehat dan segala barokahnya.
2.
Dosen
pembimbing, Fairuz Sabiq M. Ag
Demikian
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab
itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat
bagi kita semua. Semoga
makalah ini dapat kita ambil manfaatnya bersama, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi para pembaca.
وَالسَّلاَمُ عَلَيكُم وَرَحمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................... 4
A. Latar belakang........................................................................................................... 4
B. Tujuan Masalah ......................................................................................................... 4
C. Rumusan Masalah...................................................................................................... 4
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................................... 5
1. Pengertian
tarjih................................................................................................................. 5
2. Hukum tarjih...................................................................................................................... 6
3.
Syarat-syarat tarjih............................................................................................................. 6
4. Cara
pentarjihan................................................................................................................. 7
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 8
Kesimpulan................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Apabila salah satu dari dua buah dalil
yang nampaknya berlawanan itu tidak diketahui mana yang datangnya terkemudian,
maka tidak akan terjadi nasikh-mansukh. Dalam menghadapi keadaan yang demikian
ini seorang mujtahid hendaklah meneliti mana diantara dua dalil tersebut yang
lebih kuat, yang dalam istilah Usul Fiqih usaha tersebut dikatakan mentarjih.
Tarjih bagi mereka diartikan dengan
menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan daripada yang lain.
Sedang ulama Hanafiyah membuat batasan tarjih ialah menyatakan keistimewaan
salah satu dari dua dalil yang sama dengan suatu sifat yang menjadikan lebih
utama dilihat dari yang lain. Tarjih ini tidak akan dapat dipakai selain kepada
dalil-dalil zhanniyatuts tsubut (status ketetapan dalilnya zhanni), seperti
Hadits Ahad atau kepada dalil-dalil zhanniyatud dalalah (dalil yang petunjuk
isinya zhanni), seperti Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir yang berdalalah zhanni
atau Hadits Ahad yang dalalahnya zhanni itu. Dengan demikian tarjih itu hanya
terjadi pada nash-nash Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir yang dalalahnya zhanniyah
atau qath’iyah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi
tarjih?
2.
Apa hukum
tarjih?
3.
Apa saja
syarat-syarat tarjih?
4.
Bagaimana cara
pentarjihan?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui definisi tarjih
2.
Untuk
mengetahui hukum tarjih
3.
Untuk
mengetahui syarat-syarat tarjih
4.
Untuk
mengetahui cara pentarjihan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarjih
Secara etimologi, tarjih berarti
“menguatkan”. Konsep tarjih muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil
dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan
cara al-jam’u wa al-taufiq. Dalil yang dikuatkan disebut dengan tarjih,
sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.
Secara terminologi, ada dua definisi
tarjih yang dikemukakan para ahli usul fiqih. Pertama, definisi ulama
Hanafiyyah, yaitu:
إِظْهَارُ زِيَادَةٍ لِأَحَدِ الْمُتَمَاثِلَيْنِ عَلَى الآخَرِ بِمَا
لاَيَسْتَقِلُّ
Membuktikan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil
yang bersamaan (sederajat),yang dalil
tambahan itu tidak berdiri sendiri.
Kedua, jumhur ulama
mendefinisikan tarjih dengan:
تَقْوِيَةُ اِحْدَى الإِمَارَتَيْنِ الدَّلِيْلَيْنِ الظَّنِيَّيْنِ
عَلَى الأُخْرَىْ لِيُعْمَلَ بِهَا
Menguatka salan satu indikator dalil yang zhanni atas yang lainnya
untuk diamalkan atau (diterapkan).[1]
Para ulama ushul fiqh
sepakat menyatakan bahwa apabila telah terjadi pentarjihan dalil, maka dalil
yang rajah wajib diamalkan. Alasanya adalah kesepakatan dan amalan yang
telah ditempuh para sahabat dalam menguatkan suatu dalil dari dalil lainnya
dalam berbagai kasus. Misalnya, dalam kasus perbuatan yang mewajibkan mandi.
Para sahabat menguatkan hadis dari Aisyah tentang iltiqa’ al khitanain (bertemunya
alat vital laki-laki dan alat vital wanita, H.R. Muslim dan At-Tirmidzi). Dari
hadis Abu Hurairah yang mengatakan bahwa air itu barsal dari air. Maksudnya,
apabila keluar mani baru mandi wajib. Para sahabat juga menguatkan hadis
tentang kebolehan seseorang berpuasa dalam keadaan berjunub. (H.R Al-Bukhari
dan Muslim, dari Aisyah dan Umi Salamah) dari hadis Abu Hurairah yang
mengatakan bahwa siapa yang dalam keadaan junub pagi hari, maka puasanya tidak
sah.
Oleh sebab itu, para
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan tarjih
terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang tarjih
itu wajib diamalkan.[2]
B.
Hukum tarjih
Hukum mengamalkan dalil yang tarjih
adalah wajib, sedangkan mengamalkan dalil yang marjuh di samping adanya
yang rajih tidak dibenarkan. Dalil yang menunjukkan wajibnya beramal
dengan yang rajah itu adalah apa yang di nukilkan dan diketahui dari ijma’
sahabat dan ulama salaf dalam kasus berbeda yang mewajibkan mendahulukan dalil rajah
dari dua dalil yang dzanni. Umpamanya mendahulukan kabar dari Aisyah
tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan, atas kabar Abu Hurairah yang
maksudnya, mandi hanya diwajibkan bila keluar mani. Contoh lainnya adalah apa
yang diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau dalam keadaan junub waktu subuh
padahal beliau sedang puasa. Di kuatkan atas hadis yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah yang mengatakan bahwa siapa yang junub waktu subuh dalam keadaan
berpuasa tidak sah puasanya. Kekuatan kabar yang disampaikan oleh Aisyah ini
adalah karena beliau lebih tahu tentang kejadian tersebut.
Abu Bakar Al-Baqillani menjelaskan bahwa
wajibnya mengamalkan dalil yang rajih itu bila usaha tarjih
berlaku secara meyakinkan (qath’i) dan tidak wajib bila usaha tarjih dilakukan
secara zhanni.
Tarjih hanya
mungkin berlaku diantara dalil-dalil yang zhanni. Yang demikian berlaku
dalam batasan definisi dan dalam dalil-dalil syar’i. Tarjih dalam dalil
syara’mungkin beralaku diantara dua dalil naqli (qiyas dan istidlal)
atau antara dalil naqli dengan dalil aqli.[3]
C.
Syarat-syarat
tarjih
Adapun syarat-syarat tarjih yaitu:[4]
1. Adanya persamaan antara dua dalil
tersebut tentang ketsubutannya (status ketetapan dalilnya). Oleh karena itu
terjadi ta’arudh atara Al-Qur’an (yang qathi’i Al-Tsubut) dengan Hadits Ahad
(yang dzhanny Al-Tsubut)
2. Adanya persamaan dalam kekuatannya.
Jadi, jika yang satu dalil itu Hadits mutawatir dan yang lain Hadits Ahad, maka
tidak ada ta’arudh. Karena dalam hal semacam ini hadits mutawatirlah yang harus
didahulukan.
D.
Cara-cara pentarjihan
Cara mentarjih hadis yang berlawan dapat ditnjau
dari segi sanad hadis, matan hadis, kandungan hadis dan hal-hal di luar hadis.[5]
1.
Tarjih di
tinjau dari segi sanad
a.
Memilih sanad
yang banyak perowinya.
b.
Memilih yang
perowinya ahli fiqh, karena mereka lebih mengetahui kandungan hadis yang di
riwayatkan.
c.
Memilih
perowinya yang lebih banyak hafalannya.
d.
Memilih
perowinya yang ikut serta dalam suatu kejadian yang diceritakan.
e.
Memlih hadis
yang dieritakan.
f.
Memilih perowi
yang banyak bergaul dengan Nabi SAW.
2.
Tarjih ditinjau
dari segi matan hadis
a.
Memilih matan
yang bermakna hakikat dari pada majas
b.
Memilih matan
yang mengandung makna khusus dari pada yang umum.
c.
Memilih yang
menunjukkan maksud dua jalan dari pada satu jalan.
d.
Mendahulukan
yang disertai ancaman dari pada yang tidak.
e.
Mendahulukan
yang mengandung kecocokan dengan masalah dari pada yang menyalahi.
f.
Mendahulukan
yang mengandung larangan daripada suruhan.
g.
Mendahulukan
yang mengandung suruhan daripada kebolehan.
h.
Mendahulukan
yang mengandung isyarat pada hukumdari pada yang tidak.
3.
Tarjih di
tinjau dari segi kandungannya
a.
Mendahulukan
kandungan yang mendekati hati-hati.
b.
Mendahulukan
yang menetapkan hukum dari padayang tidak.
c.
Mendahulukan
yang mengandung pembatalan khat dari pada yang menetapkannya.
d.
Mendahulukan
yang menetapkan hukum asal.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Tarjih adalah mengunggulkan salah satu dalil
atas dalil lain yang saling bertentangan. Hukum mengamalkan dalil yang tarjih
adalah wajib, sedangkan mengamalkan dalil yang marjuh di samping adanya
yang rajih tidak dibenarkan. Syarat-syarat tarjih adalah adanya persamaan antara dua dalil dan
adanya persamaan dalam kekuatannya. Adapun cara mentarjih
dapat ditnjau dari segi sanad hadis, matan hadis, kandungan hadis dan hal-hal
di luar hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun, Usul Fiqih 1,
Ciputat: Logos. 1996
Syarifuddin, Amir, Usul Fiqih Jilid 1,
Ciputat: Logos. 1417
Yahya, Mukhtar, Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif. 1986
Hadi, Saeful, Usul Fiqih, Yogyakarta:
Sabda Media. 2009
[1]
Nasrun Haroen, Usul Fiqih 1, Ciputat: Logos, 1996, hlm. 195
[2]
Ibid, hlm. 196
[3]
Amir Syarifuddin, Usul Fiqih Jilid 1, Ciputat: Logos, 1417, hlm. 259
[4]
Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung:
Al-Ma’arif, 1986, hlm. 470
[5]
Saeful Hadi, Usul Fiqih, Yogyakarta: Sabda Media, 2009, hlm. 97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar anda di sini