Jumat, 02 Mei 2014

TARJIH



KATA PENGANTAR

الّسَّلاَمُ عَلَيكُم وَرَحمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ

Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan dan melimpahkan rahmat, hidayat dan inayahnya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.

Mengingat kurangnya kemampuan dan keterbatasan penulis dalam menyelesaikan makalah ini, penulis meyakini bahwa tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak. Atas bimbingan dan bantuan tersebut tiada yang dapat penulis ucapan salain ucapan terima kasih, kepada:

1.      Allah SWT yang telah memberikan nikmat, sehat dan segala barokahnya.
2.      Dosen pembimbing, Fairuz Sabiq M. Ag

Demikian penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat bagi kita semua. Semoga makalah ini dapat kita ambil manfaatnya bersama, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.

وَالسَّلاَمُ عَلَيكُم وَرَحمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 4
A. Latar belakang........................................................................................................... 4
B. Tujuan Masalah ......................................................................................................... 4
C. Rumusan Masalah...................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 5
1. Pengertian tarjih................................................................................................................. 5
2. Hukum tarjih...................................................................................................................... 6
3. Syarat-syarat tarjih............................................................................................................. 6
4. Cara pentarjihan................................................................................................................. 7
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 8
Kesimpulan................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Apabila salah satu dari dua buah dalil yang nampaknya berlawanan itu tidak diketahui mana yang datangnya terkemudian, maka tidak akan terjadi nasikh-mansukh. Dalam menghadapi keadaan yang demikian ini seorang mujtahid hendaklah meneliti mana diantara dua dalil tersebut yang lebih kuat, yang dalam istilah Usul Fiqih usaha tersebut dikatakan mentarjih.
      Tarjih bagi mereka diartikan dengan menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan daripada yang lain. Sedang ulama Hanafiyah membuat batasan tarjih ialah menyatakan keistimewaan salah satu dari dua dalil yang sama dengan suatu sifat yang menjadikan lebih utama dilihat dari yang lain. Tarjih ini tidak akan dapat dipakai selain kepada dalil-dalil zhanniyatuts tsubut (status ketetapan dalilnya zhanni), seperti Hadits Ahad atau kepada dalil-dalil zhanniyatud dalalah (dalil yang petunjuk isinya zhanni), seperti Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir yang berdalalah zhanni atau Hadits Ahad yang dalalahnya zhanni itu. Dengan demikian tarjih itu hanya terjadi pada nash-nash Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir yang dalalahnya zhanniyah atau qath’iyah.

B.     Rumusan Masalah
1.   Apa definisi tarjih?
2.   Apa hukum tarjih?
3.   Apa saja syarat-syarat tarjih?
4.   Bagaimana cara pentarjihan?

C.    Tujuan Masalah
1.   Untuk mengetahui definisi tarjih
2.   Untuk mengetahui hukum tarjih
3.   Untuk mengetahui syarat-syarat tarjih
4.   Untuk mengetahui cara pentarjihan


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Tarjih
      Secara etimologi, tarjih berarti “menguatkan”. Konsep tarjih muncul ketika terjadinya  pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. Dalil yang dikuatkan disebut dengan tarjih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.
      Secara terminologi, ada dua definisi tarjih yang dikemukakan para ahli usul fiqih. Pertama, definisi ulama Hanafiyyah, yaitu:
إِظْهَارُ زِيَادَةٍ لِأَحَدِ الْمُتَمَاثِلَيْنِ عَلَى الآخَرِ بِمَا لاَيَسْتَقِلُّ
 Membuktikan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang bersamaan   (sederajat),yang dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri.

            Kedua, jumhur ulama mendefinisikan tarjih dengan:
تَقْوِيَةُ اِحْدَى الإِمَارَتَيْنِ الدَّلِيْلَيْنِ الظَّنِيَّيْنِ عَلَى الأُخْرَىْ لِيُعْمَلَ بِهَا
Menguatka salan satu indikator dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan atau (diterapkan).[1]
      Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila telah terjadi pentarjihan dalil, maka dalil yang rajah wajib diamalkan. Alasanya adalah kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh para sahabat dalam menguatkan suatu dalil dari dalil lainnya dalam berbagai kasus. Misalnya, dalam kasus perbuatan yang mewajibkan mandi. Para sahabat menguatkan hadis dari Aisyah tentang iltiqa’ al khitanain (bertemunya alat vital laki-laki dan alat vital wanita, H.R. Muslim dan At-Tirmidzi). Dari hadis Abu Hurairah yang mengatakan bahwa  air itu barsal dari air. Maksudnya, apabila keluar mani baru mandi wajib. Para sahabat juga menguatkan hadis tentang kebolehan seseorang berpuasa dalam keadaan berjunub. (H.R Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah dan Umi Salamah) dari hadis Abu Hurairah yang mengatakan bahwa siapa yang dalam keadaan junub pagi hari, maka puasanya tidak sah.
      Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan tarjih terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang tarjih itu wajib diamalkan.[2]
B.     Hukum tarjih
      Hukum mengamalkan dalil yang tarjih adalah wajib, sedangkan mengamalkan dalil yang marjuh di samping adanya yang rajih tidak dibenarkan. Dalil yang menunjukkan wajibnya beramal dengan yang rajah itu adalah apa yang di nukilkan dan diketahui dari ijma’ sahabat dan ulama salaf dalam kasus berbeda yang mewajibkan mendahulukan dalil rajah dari dua dalil yang dzanni. Umpamanya mendahulukan kabar dari Aisyah tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan, atas kabar Abu Hurairah yang maksudnya, mandi hanya diwajibkan bila keluar mani. Contoh lainnya adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau dalam keadaan junub waktu subuh padahal beliau sedang puasa. Di kuatkan atas hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa siapa yang junub waktu subuh dalam keadaan berpuasa tidak sah puasanya. Kekuatan kabar yang disampaikan oleh Aisyah ini adalah karena beliau lebih tahu tentang kejadian tersebut.
      Abu Bakar Al-Baqillani menjelaskan bahwa wajibnya mengamalkan dalil yang rajih itu bila usaha tarjih berlaku secara meyakinkan (qath’i) dan tidak wajib bila usaha tarjih dilakukan secara zhanni.
      Tarjih hanya mungkin berlaku diantara dalil-dalil yang zhanni. Yang demikian berlaku dalam batasan definisi dan dalam dalil-dalil syar’i. Tarjih dalam dalil syara’mungkin beralaku diantara dua dalil naqli (qiyas dan istidlal) atau antara dalil naqli dengan dalil aqli.[3]

C.    Syarat-syarat tarjih
      Adapun syarat-syarat tarjih yaitu:[4]
1.  Adanya persamaan antara dua dalil tersebut tentang ketsubutannya (status ketetapan dalilnya). Oleh karena itu terjadi ta’arudh atara Al-Qur’an (yang qathi’i Al-Tsubut) dengan Hadits Ahad (yang dzhanny Al-Tsubut)
2.  Adanya persamaan dalam kekuatannya. Jadi, jika yang satu dalil itu Hadits mutawatir dan yang lain Hadits Ahad, maka tidak ada ta’arudh. Karena dalam hal semacam ini hadits mutawatirlah yang harus didahulukan.

D.    Cara-cara pentarjihan
      Cara mentarjih hadis yang berlawan dapat ditnjau dari segi sanad hadis, matan hadis, kandungan hadis dan hal-hal di luar hadis.[5]
1.      Tarjih di tinjau dari segi sanad
a.       Memilih sanad yang banyak perowinya.
b.      Memilih yang perowinya ahli fiqh, karena mereka lebih mengetahui kandungan hadis yang di riwayatkan.
c.       Memilih perowinya yang lebih banyak hafalannya.
d.      Memilih perowinya yang ikut serta dalam suatu kejadian yang diceritakan.
e.       Memlih hadis yang dieritakan.
f.       Memilih perowi yang banyak bergaul dengan Nabi SAW.
2.      Tarjih ditinjau dari segi matan hadis
a.       Memilih matan yang bermakna hakikat dari pada majas
b.      Memilih matan yang mengandung makna khusus dari pada yang umum.
c.       Memilih yang menunjukkan maksud dua jalan dari pada satu jalan.
d.      Mendahulukan yang disertai ancaman dari pada yang tidak.
e.       Mendahulukan yang mengandung kecocokan dengan masalah dari pada yang menyalahi.
f.       Mendahulukan yang mengandung larangan daripada suruhan.
g.      Mendahulukan yang mengandung suruhan daripada kebolehan.
h.      Mendahulukan yang mengandung isyarat pada hukumdari pada yang tidak.
3.      Tarjih di tinjau dari segi kandungannya
a.       Mendahulukan kandungan yang mendekati hati-hati.
b.      Mendahulukan yang menetapkan hukum dari padayang tidak.
c.       Mendahulukan yang mengandung pembatalan khat dari pada yang menetapkannya.
d.      Mendahulukan yang menetapkan hukum asal.

BAB III
PENUTUP

1.   Kesimpulan
   Tarjih adalah mengunggulkan salah satu dalil atas dalil lain yang saling bertentangan. Hukum mengamalkan dalil yang tarjih adalah wajib, sedangkan mengamalkan dalil yang marjuh di samping adanya yang rajih tidak dibenarkan. Syarat-syarat tarjih adalah adanya persamaan antara dua dalil dan adanya persamaan dalam kekuatannya.          Adapun cara mentarjih dapat ditnjau dari segi sanad hadis, matan hadis, kandungan hadis dan hal-hal di luar hadis.





DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun, Usul Fiqih 1, Ciputat: Logos. 1996
Syarifuddin, Amir, Usul Fiqih Jilid 1, Ciputat: Logos. 1417
Yahya, Mukhtar, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif. 1986
Hadi, Saeful, Usul Fiqih, Yogyakarta: Sabda Media. 2009


[1] Nasrun Haroen, Usul Fiqih 1, Ciputat: Logos, 1996, hlm. 195

[2] Ibid, hlm. 196
[3] Amir Syarifuddin, Usul Fiqih Jilid 1, Ciputat: Logos, 1417, hlm. 259
[4] Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986, hlm. 470
[5] Saeful Hadi, Usul Fiqih, Yogyakarta: Sabda Media, 2009, hlm. 97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini