Jumat, 29 November 2013

TA'ARUDH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyak di sekeliling kita adanya suatu kasus yang mana pelaku kasus tidak mengetahui yang dilakukannya itu benar atau salah menurut tatanan syariat yang berlaku karena sudah terlanjur turun temurun dan terbiasa untuk diucapkan ataupun dilakukan secara masal yang dalam kasus ini ternyata juga disorot menurut tatanan syariat yang ada, dan hal ini masuk dalam kaidah ta’arudh dan dalil yang berkaitan dengannya.
Untuk itu dibuat makalah ini untuk menyorot problem-problem seperti yang telah disebutkan tadi menurut kaidah yang ada di dalam Ushul Fiqih agar seorang muslim dapat menjalankan tatanan kehidupan yang nyaman dan aman dengan mengetahui dan mengamalkannya dan lebih dari itu dapat menjadi jiwa yang rahmatan lil alamin.

B.     RumusanMasalah
1.      Apa pengertian ta’arudh?
2.      Bagaimana cara penyelesaian ta’arudh?
C.    TujuanMasalah
1.      Mengetahui pengertian ta’arudh
2.      Mengetahui penyelesain ta’arudh






BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian
Kata ta’arudh secara bahasa berarti bertentangan antara dua hal. Sedangkan enurut istilah seperti dikemukakan Wahbah zuhaili, bahwa satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain.[1]
Pada dasarnya, seperti ditegaskan Wahbab zuhaili, tidak ada pertentangan dalam kalam allah dan rosulnya. Oleh sebab itu, antara anggapan ta’arudh antara dua atay beberapa dalil, hanyalah dalam pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir ini, maka ta’arudh mungkin terjadi baik pada dalil-dalil yang qath’i, maupun dalil yang zhaani.
Bilamana dalam pandangan mujtahid terjadi ta’arudh antara dua dalil, maka perlu dicarikan jalan keluarnya, dan disini terdapat perbedaan pendapat antara kalangan hanafiyah dan syafi’iyah.
  1. Cara Penyelesaian ta’arudh
Cara penyelesain ta’arudh, yang dikenal mashur dikalangan para ulama’ ada dua macam. Kedua cara tersebut didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Hanifiyah dan Syafi’iyah.
1.      Menurut Hanafiyah
Para ulama’ Hanafiyah dah Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan sebagai berikut[2] :
a.      Nasakh
Nasakh adalah membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda. Seorang mujtahid harus melacak sejarah dua dalil tersebut dan kemudian mengambil dalil yang datang kemudian. Misalnya, tentang iddah wanita hamil, yakni antara surat at-Thalaq :4, yang menyatakan bahwa iddah wanita hamil sampai melahirkan, dengan surat al-Baqorah ayat 234, yang menyatakan bahwa iddah kematian suami 4 bulan 10 hari. Menurut jumhur ulama’, Ibnu Masud meriwayatkan bahwa ayat pertama datang kemudian, sehingga ditetapkan iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan.
b.      Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila dua dalil yang bertentangan sulit untuk dilacak sejarahnya, maka bisa digunakan tarjih dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendukung dalil-dalil tersebut.
c.       Al-Jam’ Wa At-Taufiq
Yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya, berdassarkan kaidah, ” mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Misalnya Firman Allah Maidah: Ayat. 3
حُرِّ مَتْ عَلْيْكُمْ اْلمَيْتَةُ وَالدَّمُ......  
”Diharamkan bagi kamu bangkai dan dara darah”
                                  ..اِلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْدَ مًا مَسْفُوْ حًا....
”..kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir..”
Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa darah yang dilarang adalah darah yang mengalir.

2.   Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah
     Cara penyelesaianya meliputi sebagai berikut.
a.  Jamu’ wa al-Taufiq
Cara pertama untuk menyelesaikan dua dalil yang bertentangan adalah dengan mengompromikan kedus dalil tersebut. Alasan mereka adalah kaidah menyatakan, “Mengamalkan dua dalil lebih baik dari pada meningalkan atau mengabaikan dalil yang lain” ada tiga cara yaitu[3] :
a). Membagi kedua hukum yang bertentangan
b). Memilih salah satu hukum. Misalnya

لاَ صَلاَ ةَ لِجَا رِالْمَسْجِدِ اِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ ﴿ رواه ا بود اود واحمد بن حنبل
Tidak (sempurna) shalat bagi tetangga mesjid kecuali di mesjid”
Kata “la” dalam hadits tersebut, menurut ulama’ ushul fiqh mempunyai banyak arti, bisa berati  tidak sah”,  tidak sempurna”, dan “tidak utama”. Seorang mujtahid boleh memilih salah satunya asalkan didukung oleh dalil-dalil lain
c). Mengambil dalil yang lebih khusus, misalnya tentang masa iddah wanita yang hamil. Yang menurut Hanafiyah menggunakan metode naskh..
b. Tarjih
Apabila cara pertama tidak bisa digunakan, maka menggunakan tarjih, yakni menguatkan salah satu dalil.
c. Naskh
Apabila cara kedua (tarjih) tidak bisa digunakan maka dapat menggunakan cara ketiga yakni membatalkan salah satu hukum yang dikandung dalam kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui dahulu, mana dalil yang pertama dan mana dalil yang datang kemudian.
d. Tatsaqut al-dalilain
Yakni meninggalkan kedua dalil tersebut dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah.keempat cara diatas harus ditempuh secara berurutan.

KESIMPULAN
Jika terdapat dua nash yang kontradiktif menurut arti lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang shahih. Dan maka harus diadakan pembahasan dan ijtihad untuk memenangkan salah satunya dengan cara memenangkan dalil-dalil.


[1] Satria efendi, M. Zain, M.A, Ushul fiqih, Cet. III, (Jakarta: Kencana, 2009), Hlm. 238-239
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul fiqih, Cet. IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Hlm. 227
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul fiqih Hlm.229-230

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini