BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat
rumit dan menyisakan banyak problematika ditengah-tengah umat, juga merupakan
bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh segenap kaum muslim,
karena dewasa ini banyak kita temukan sekelompok orang yang tidak bisa
dikatakan kredibel dalam bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan hadits
demi hadits untuk menjustifikasi apa yang dia lihat tanpa memperhatikan aspek
apa saja yang harus dilalui. Seperti halnya bagian dari pembahasan yang ada di
dalam ilmu hadits ini, yaitu hadits dha’if, banyak di antara aliran
kepercayaan yang tanpa “tedeng aling-aling” melontarkan pernyataan bahwa
hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujjah, apapun bentuknya dan
apapun kasusnya. Maka dari itu, sangat penting untuk mempelajari hadits dha’if
agar tidak mudah terjebak dengan pemahaman-pemahaman yang penuh dengan
pertentangan menurut disiplinnya.
Dibuatnya makalah ini selain untuk
pemenuhan tugas, juga untuk menambah wawasan penulis karena pembuatan makalah
ini sebagai media untuk muthala’ah kembali bagi penulis. Karena
kesadaran penulis akan ketidak lepasan manusia dari kealpaan.
Semoga dapat memberi manfaat bagi
penulis dan pembaca dan di kemudian hari, sebagai penganut agama yang berpijak
pada agama yang menjunjung tinggi rahmatan lil ‘alamin, bisa lebih
berlapang dada dalam menerima perbedaan pandangan mengenai hadits dha’if
pada khususnya dan masalah furu’iyah pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
•
Apa Definisi Hadits Dha’if?
•
Apa Saja Kriteria Hadits Dha’if?
•
Apa Saja Macam-macam Hadits Dha’if?
•
Bagaimana Kehujjahan Hadits Dha’if?
C. Tujuan
·
Untuk Mengetahui Definisi Hadits Dha’if
·
Untuk mengetahui Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
·
Untuk Mengetahui Macam-macam Hadits Dha’if
·
Untuk Mengetahui Kehujjahan Hadits Dha’if
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Hadits sudah kita ketahui maknanya secara bahasa dan istilah.
Sedangkan dha’if secara bahasa diambil dariالضَّعْفُ atau الضُّعْفُ yang mempunyai kesamaan makna dengan ضِدُّ الْقُوَّة, yaitu sebaliknya kuat (lemah). Sedangkan
menurut istilah, hadits dha’if adalah hadits yang tidak terkumpul di
dalamnya sifat-sifat diterimanya hadits. Dapat dikatakan pula hadits
dha’if termasuk hadits yang mardud.[1]
Menurut Imam an-Nawawi, hadits dha’if adalah hadits yang di
dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat
hadits hasan. Ada pendapat lain yang lebih tegas dan jelas di dalam
mendefinisikan hadits dha’if ini, yaitu menurut pendapatnya Nur ad-Din
‘Atr. Beliau berpendapat hadits dha’if adalah hadits yang hilang salah
satu saja syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih
atau hadits yang hasan).[2]
B. Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
Dengan memandang definisi yang telah
disebutkan, maka dapat diketahui bahwa kriteria-kriteria hadits dha’if
adalah sebagai berikut:
1. Sanadnya terputus
2. Rawinya kurang adil
3. Rawinya kurang dhabith
4. Adanya syadz
5. Adanya illat atau ada penyebab samar dan tersembunyi yang
menyebabkan tercemarnya suatu hadits
meski secara lahir terlihat bebas dari cacat.
C. Macam-macam Hadits Dha’if
Ada banyak sekali macam-macam hadits dha’if,
sehingga harus diketahui pengelompokannya. Pengelompokannya adalah sebagai
berikut:
1. Dilihat dari sisi sanad
a) Hadits Mu’allaq (مُعَلَّق), adalah hadits yang
perawinya digugurkan, seorang atau lebih mulai dari awal sanadnya sampai akhir
sanadnya secara beruntun atau membuang sanadnya kecuali sahabat atau sahabat
dan tabi’in secara bersama, seperti rawi langsung mengatakan: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
كَذَا [3]
b) Hadits Munqathi’ (مُنْقَطِع), adalah hadits yang
matarantai sanadnya digugurkan di satu tempat atau lebih atau pada matarantai
sanadnya disebutkan nama seorang perawi yang namanya tidak dikenal atau
diragukan, seperti contoh hadits riwayat Ibnu Majah dan at-Tirmidzi yang gugur
sanadnya berupa perawi sebelum sahabat yang berbunyi:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا
دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ بِسْمِ اللهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ
اللهِ, اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِيْ وَ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ[4]
c) Hadits Mu’dhal (مُعْضَل), adalah hadits yang
dari para perawinya gugur secara berurutan, baik dua orang atau lebih, baik sahabat
bersama-sama tabi’in, maupun tabi’in dan tabi’it tabi’in,
atau dua orang sebelumnya, seperti hadits riwayat Imam Malik dalam kitab
Muatha’nya langsung dari Abu Hurairah (sahabat), katanya Rasulullah bersabda:
....لِلْمَمْلُوْكِ طَعَامُهُ وَ كِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوْفِ وَ
لاَ يُكَلِّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يَطِيْقُ....[5]
d) Hadits mursal (مُرْسَل), adalah hadits yang
sanadnya gugur setelah tabi’in. Seperti ketika tabi’in mengatakan:
قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَا [6]
e) Hadits Mudallas (مُدَلَّس), dibagi menjadi dua,
yaitu:
a- Tadlis al-Isnad, yaitu hadits yang diriwayatkan dari perawi yang mengaku mendengar hadits
dari seseorang yang pernah ditemuinya, namun sebenarnya dia tidak pernah
mendengar hadits tersebut darinya agar disangka bahwa dia pernah mendengarnya,
seperti contoh hadits riwayat Abu Dawud, dari Ibnu Umar beliau berkata, Rasulullah
bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِيْ
مَجْلِسِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ إِلَى غَيْرِهِ
Dalam matarantai sanad
hadits Ibnu Umar ini, ditemukan seorang perawi yang mudallis, bernama Muhammad
bin Ishaq dan ia telah membuat periwayatannya dengan menggunakan kode yang
biasa dipakai dalam hadits ‘an’anah
b- Tadlis as-Syuyukh, yaitu perawi menyebutkan gurunya, namun tidak dengan
sebutan yang terkenal untuk gurunya tersebut agar tidak dikenal, seperti
perkataan Abu Bakar Muhammad bin Hasan al-Naqqasi al-Mufassiri berkata bahwa
“Muhammad bin Sanad” menceritakan kepadaku. Muhammad dinisbatkan kepada
kakeknya, bukan kepada ayahnya.[7]
2. Dilihat Dari Segi Perawi Hadits
a) Hadits Matruk (مَتْرُوْك), adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang rawi yang disepakati atas kelemahannya, seperti
dicurigai berdusta, dicurigai kefasikannya, pelupa, banyak
keragu-raguannya, atau suatu hadits hanya diriwayatkan oleh satu orang, seperti
riwayat Umar bin Syamr, dari Jabir, dari Harits, dari ‘Ali RA. ‘Amr di sini
terkena sifat matrukul hadits.[8]
b) Hadits Munkar (مُنْكَر), adalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan rawi yang lebih
kuat darinya dari sisi ketsiqahannya. Perbandingannya adalah hadits ma’ruf
(مَعْرُوْف) adalah hadits yang diriwayatkan
oleh perawi tsiqah yang bertentangan dengan perawi yang lemah, seperti
hadits riwayat Ibnu Abi Hatim, dari jalurnya Hubaib bin Habib, dari Abi Ishaq,
dari al-‘Izar bin Huraits, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah beliau bersabda:
مَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَ أَتَى الزَّكَاةَ وَ حَجَّ وَ
صَامَ وَ قَرَى الضَّيْفَ, دَخَلَ الجَنَّةَ
Ibnu Abi Hatim berkata: Hadits ini munkar,
karena terdapat rawi yang kredibel yaitu Abi Ishaq dan rawi yang kurang
kredibel yaitu Hubaib.[9]
c) Hadits Mudraj (مُدْرَج), adalah hadits yang
menampakkan suatu tambahan, baik dari segi sanad atau matannya, karena diduga
bahwa tambahan tersebut termasuk bagian dari hadits itu, seperti hadits riwayat
at-Tirmidzi tentang:
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَيُّ الذَّنْبِ
أَعْظَمُ...؟؟؟؟....
Hadits ini dapat dilihat dari dua jalur,
yaitu:
1) Jalur Ibnu Mahdi, dari ats-Tsaury, dari
Washil al-Ahdab, dari Manshur.
2) Jalur al-A’masy, dari Abi Wa’il, dari Amr
bin Surahby, dari Ibnu Mas’ud.
Dalam meriwayatkan hadits ini, Washil al-Ahdab
tidak menyebutkan Umar bin Surahbil, tetapi dia meriwayatkan dari Abi Wa’il
yang menerima langsung dari Ibnu Mas’ud. Jadi, penyebutan Umar bin Syurahbil
merupakan sisipan (tadrij) pada riwayat Manshur dan al-A’masy.[10]
d) Hadits Maqlub (مَقْلُوْب), adalah hadits yang
diganti lafadznya dengan lafadz lain di dalam sanadnya atau matannya, dengan
mendahulukan atau mengahirkan atau semisalnya, seperti hadits riwayat Hammad
an-Nashiby, dari al-A’masy, dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah (Hadits Marfu’):
إِذَا لَقِيْتُمُ الْمُشْرِكِيْنَ فِيْ طَرِيْقٍ فَلَا
تَبْدَأُوْهُمْ بِالسَّلَامِ.
Hadits ini maqlub, karena Hammad
mengganti Suhail bin Abi Shalih dengan al-A’masy.[11]
e) Hadits Mudltharib (مُضْطَرِب), adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang berbeda-beda, akan tetapi syarat-syarat
diterimanya dari beberapa rawi tersebut sama di dalam kekuatannya, sekira ada
pertentangan dari segala arah, maka tidak bisa dijam’u, dinaskh,
dan ditarjih, [12]
seperti hadits riwayat at-Tirmidzi, dari jalur Abu Bakar, sesungguhnya ia
bertanya kepada Nabi saw demikian:
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَاكَ شِبْتَ؟ قَالَ: شَيَّبَتْنِيْ
هُوْدٌ وَ أَخَوَاتُهَا
Menurut Daru Quthniy, hadits ini termasuk
hadits mudltharib, sebab hanya diriwayatkan dari satu jalur matarantai sanad,
yaitu Abu Ishaq, tetapi dari jalur ini pula banyak ditemukan kerancuan dalam
matarantai sanad yang jumlahnya lebih dari sepuluh redaksi, di antaranya ada
yang mengatakan bahwa:
a) Hadits tersebut diriwayatkan secara muttashil.
b) Hadits tersebut diriwayatkan secara mursal.
Bahkan para ulama mempertentangkan masalah yang berhubungan dengan
matarantai sanad, di antaranya ada yang mengatakan bahwa:
a) Hadits tersebut bersumber dari periwayatan Abu Bakar. Dan dari
jalur ini, bisa dilihat dari beberapa jalur yang berfariatif, di antaranya
adalah:
- Dari Ikrimah, dari Abu
Bakar.
- Dari al-Barra’, dari Abu
Bakar.
- Dari Abu Yasrah, dari Abu
Bakar.
- Dari ‘Alqamah, dari Abu
Bakar.
b) hadits tersebut bersumber
dari musnad Sa’ad.
c) Hadits tersebut bersumber
dari musnad Aisyah dan sebagainya.
Padahal semua rawi tersebut adalah tsiqah sehingga tidak
memungkinkan untuk dicarikan tarjihnya, bahkan untuk mengkompromikan
saja dianggap tidak beralasan (ma’dzur).[13]
f) Hadits Mushahhaf (مُصَحَّف), hadits yang terjadi
perubahan huruf atau makna di dalamnya atau di dalam sanadnya,[14]seperti
contoh hadits:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ,
كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Kemudian hadits tersebut ditashhif oleh
Abu Bakr ash-Shuuliyu pada lafadz سِتًّا menjadi شَيْأً.[15]
g) Hadits Muharraf (مُحَرَّف), adalah hadits yang
terjadi perubahan syakl di dalamnya atau di dalam sanadnya, maksudnya
terjadi perubahan pada harakat-harakatnya atau pada sukun-sukunnya,[16] seperti
pada hadits:
رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ الْإِحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ,
فَكَوَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
3. Dilihat dari Sisi Kejanggalan dan Kecacatan
a) Hadits Syadz (شَاذ), hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang dapat diterima, namun bertentangan dengan perawi
lain yang lebih utama darinya, seperti hadits:
أَنَّ رَجُلاً تُوُفِّيَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ لَمْ يَدَعْ وَارِثًا إِلاَّ مَوْلَى
أَعْتَقَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: هَلْ لَهُ
أَحَدٌ؟ فَقَالُوْا لاَ, إِلاَّ غُلَامٌ أَعْتَقَهُ, فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِيْرَاثَهُ
Ada
dua jalur periwayatan mengenai hadits tersebut, yaitu:
a) Jalur periwayatan at-Tirmidzi yang bersanad
Ibnu Uyainah, dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah, dari Ibnu Abbas. Jalur ini
merupakan matarantai sanad hadits mahfudh, sebab di samping memiliki
perawi-perawi yang tsiqah dan juga mempunyai muttabi’, yaitu Ibnu
Juraij dan lainnya.
b) Jalur periwayatan Ashab as-Sunan, dapat
dilihat dari dua periwayatan, yaitu:
a) Dari Hammad, dari ‘Amr bin Dinnar, dari
‘Ausajah adalah hadits mursal, sebab ‘Ausajah meriwayatkan hadits ini
tanpa melalui sahabat Ibnu Abbas.
b)
Dari Hammad bin Zaid (termasuk muhaddits tsiqqah), tetapi dalam periwayatannya
berlawanan dengan periwayatan Ibnu Uyainah yang lebih utama, sebab sanadnya muttashil
dan ada muttabi’nya, maka dari itu hadits at-Tirmidzi melalui jalur
periwayatan Ibnu Uyainah disebut hadits mahfudh.
Dari
kenyataan di atas, periwayatan at-Tirmidzi melalui sanad Ibnu Uyainah yang
lebih utama, disebut hadits mahfudh, sedang yang melalui Ashab as-Sunnah
disebut syadz.[18]
b) Hadits Mu’allal (مُعَلَّل), adalah hadits yang
secara lahiriyahnya tidak ada kecacatan, namun setelah dikaji lebih mendalam
ternyata terdapat kecacatan di dalam sanad atau matannya atau di dalam
kedua-duanya, seperti contoh:
...اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا...
Ada dua jalur periwayatan, yaitu:
a) Jalur Ya’la bin Ubaid, dari Tsufyan ats-Tsaury, dari ‘Amr bin Dinar, dari
Ibnu Umar
b) Jalur Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Yusuf dan Abu Na’im, ketiganya dari
Tsufyan ats-Tsaury, dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar
Dari penyajian dua
jalur di atas, dapat dinyatakan bahwa hadits yang dari jalur periwayatan Ya’la
terdapat unsur kecacatan dan haditsnya dinamakan hadits mu’allal sebab
ia menyandarkan haditsnya pada ‘Amr bin Dinar, padahal yang sebenarnya adalah
Abdullah bin Dinar. Sekalipun demikian, hadits Ya’la tetap bisa dikatakan shahih
pada matannya, sebab redaksinya sama dengan yang lain[19]
4. Dilihat dari Sisi Matan
a) Hadits Mauquf (مَوْقُوْف), adalah hadits yang
diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya,
baik dalam periwayatannya bersambung atau tidak. Maksudnya adalah hadits yang
hanya disandarkan pada sahabat saja, seperti contoh:
يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَ
إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَ خُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ
وَ مِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Hadits riwayat Bukhari tersebut adalah hadits mauquf, sebab
matannya berasal dari perkataan Ibnu ‘Umar dan tidak ada petunjuk yang
mengatakan adalah Nabi SAW.[20]
b) Hadits Maqthu’ (مَقْطُوْع), adalah perkataan,
perbuatan atau taqrir yang dimauqufkan kepada tabi’in,
baik sanadnya bersambung atau tidak, seperti perkataan Haram bin Jubair
(seorang tabi’in besar) yaitu:
اَلْمُؤْمِنُ إِذَا عَرَفَ
رَبَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ أَحَبَّهُ وَ إِذَا أَحَبَّهُ أَقْبَلَ إِلَيْهِ[21]
D. Kehujjahan Hadits Dha’if
Hadits dha’if termasuk hadits yang
dihukumi mardud (ditolaknya hujjah darinya) memandang hukum
aslinya.[22]
Setelah dikaji lebih mendalam terjadi perbedaan pendapat di dalam menjadikan
hadits ini sebagai hujjah sebagai berikut:
a. Haram secara mutlak menurut sebagian kecil ulama, seperti al-Hafizh Ibn
al-Arabi al-Maliki, Ibn Hazm, Syihab al-Khafaji, Ahmad Syakir (penulis Syarkh
Nazhm Alfiyah as-Suyuthi), Nashiruddin al-Albani (Muhaddits Salafi Wahabi)dan
lain-lain.
b. Boleh secara mutlak menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Dawud dan
lain-lain. Bahkan menurut kesepakatan Hanafiyah lebih memprioritaskan hadits dha’if
daripada qiyas. Selain itu, Imam Malik juga memprioritaskan hadits mursal,
munqathi’, mu’allaq, dan ucapan sahabat daripada qiyas.
c. Kondisional (menurut mayoritas ulama); jika berkaitan dengan akidah dan
hukum (halal dan haram), maka tidak boleh. Sedangkan bila berkaitan dengan
keutamaan amal, menakut-nakuti, dan memotifasi amal, tafsir dan cerita, maka
boleh.[23]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
hadits dha’if adalah hadits yang hilang
salah satu saja syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih
atau hadits yang hasan).
Kriteria-kriteria
hadits dha’if adalah:
Ø sanadnya terputus
Ø rawinya kurang adil
Ø rawinya kurang dhabit
Ø adanya syadz
Ø adanya illat atau penyebab samar yang tersembunyi yang mengakibatkan
tercemarnya suatu hadits shahih meski secara lahir terlihat bebas dari
cacat.
macam-macam hadits dha’if ada
banyak sekali dan dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a. dipandang dari segi sanad
b. dipandang dari segi perawi
c. dipandang dari segi kejanggalan dan kecacatan
d. dipandang dari segi matan.
Hadits
dha’if masuk dalam kategori hadits yang mardud (ditolak), artinya
menurut hukum asal, hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujah.
Namun terjadi perbedaan pandangan di dalam mengamalkannya. Perbedaan tersebut
meliputi:
a. Mutlak mengharamkan
b. Mutlak memperbolehkan
c. Kondisional. Bila dalam masalah fadha’ilul a’mal, targhib, tarhib,
maka boleh digunakan asal masuk pada asal yang bisa diamalkan, bila berkenaan
dengan hukum (halal dan haram) dan akidah, maka ulama sepakat tidak boleh menjadikannya
sebagai hujah.
Daftar Pustaka
Hadi Saeful. Ulumul Hadits. Kulon Progo: Sabda Media
Hidayat Muhammad Nur. Hujjah Nahdliyah. Surabaya: Khalista.
2012
Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2010
Ma’shum Zein Muhammad. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jombang:
Darul Hikmah. 2008
al-Mas’udi Hasan. Minhah al-Mughits. Surabaya: Andalas.
al-Maliki Alawi Muhammad. al-Minhal al-Lathif. Dar ar-Rahmah
al-Islamiyah.
ath-Thahhan Mahmud. Taisir Musthalah al-Hadits. Surabaya:
al-Hidayah
[1] Muhammad Alawi
al-Maliki, al-Minhal al-Lathiif, (Dar al-Rohmah al-Islamiyah), Hal. 51
[2] Mudasir, Ilmu
Hadis, Cet. V, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), Hal. 156-157
[3] Muhammad
Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Mustalah Hadits, Cet. I, (Jombang:
Darul Hikmah, 2008), Hlm. 125
[4] M. Ma’shum
Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul
Hikmah, 2008), Hlm.128-129
[5] M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah
Hadits, Hlm. 131
[6] Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal
al-Lathif, (Daar al-Rahmah al-Islamiyah), Hlm. 82
[7] Hasan al-Mas’udi, Minhat al-Mughits,
(Surabaya: Andalas), Hlm. 43
[8] Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal
al-Lathif, (Daar al-Rahmah al-Islamiyah), Hlm. 114-116
[9] Muhammad
‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 93-94
[10] Mudasir,
Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Hlm. 166
[11] Mahmud
ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, (Surabaya:
al-Hidayah), Hlm. 107-108
[12] Muhammad ‘Alawi
al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 102
[13] M. Ma’shum
Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul
Hikmah, 2008), Hlm. 154-155.
[14] Hasan
al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 53
[16] Hasan
al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 53-54
[18] M. Ma’shum Zein,
Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah,
2008), Hlm. 161-162
[19] M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits &
Musthalah Hadits, Hlm. 45
[20] M. Ma’shum
Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul
Hikmah, 2008), Hlm. 168-169
[21] M. Ma’shum
Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Hlm. 169-170
[22] Saeful Hadi, Ulumul
Hadits, Cet. XII, (Kulon Progo: Sabda Media), Hlm. 172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar anda di sini