Minggu, 15 Desember 2013

Hadits Dha'if



BAB I
PENDAHULUAN
   A.    Latar Belakang
               Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan menyisakan banyak problematika ditengah-tengah umat, juga merupakan bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh segenap kaum muslim, karena dewasa ini banyak kita temukan sekelompok orang yang tidak bisa dikatakan kredibel dalam bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan hadits demi hadits untuk menjustifikasi apa yang dia lihat tanpa memperhatikan aspek apa saja yang harus dilalui. Seperti halnya bagian dari pembahasan yang ada di dalam ilmu hadits ini, yaitu hadits dha’if, banyak di antara aliran kepercayaan yang tanpa “tedeng aling-aling” melontarkan pernyataan bahwa hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujjah, apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu, sangat penting untuk mempelajari hadits dha’if agar tidak mudah terjebak dengan pemahaman-pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya.

               Dibuatnya makalah ini selain untuk pemenuhan tugas, juga untuk menambah wawasan penulis karena pembuatan makalah ini sebagai media untuk muthala’ah kembali bagi penulis. Karena kesadaran penulis akan ketidak lepasan manusia dari kealpaan.
               Semoga dapat memberi manfaat bagi penulis dan pembaca dan di kemudian hari, sebagai penganut agama yang berpijak pada agama yang menjunjung tinggi rahmatan lil ‘alamin, bisa lebih berlapang dada dalam menerima perbedaan pandangan mengenai hadits dha’if pada khususnya dan masalah furu’iyah pada umumnya.

   B.     Rumusan Masalah
        Apa Definisi Hadits Dha’if?
        Apa Saja Kriteria Hadits Dha’if?
        Apa Saja Macam-macam Hadits Dha’if?
        Bagaimana Kehujjahan Hadits Dha’if?

   C.    Tujuan
·        Untuk Mengetahui Definisi Hadits Dha’if
·        Untuk mengetahui Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
·        Untuk Mengetahui Macam-macam Hadits Dha’if
·        Untuk Mengetahui Kehujjahan Hadits Dha’if






BAB II
PEMBAHASAN
   A.    Definisi
               Hadits sudah kita ketahui maknanya secara bahasa dan istilah. Sedangkan dha’if secara bahasa diambil dariالضَّعْفُ  atau  الضُّعْفُ yang mempunyai kesamaan makna dengan ضِدُّ الْقُوَّة, yaitu sebaliknya kuat (lemah). Sedangkan menurut istilah, hadits dha’if adalah hadits yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat diterimanya hadits. Dapat dikatakan pula hadits dha’if termasuk hadits yang mardud.[1]
               Menurut Imam an-Nawawi, hadits dha’if adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan. Ada pendapat lain yang lebih tegas dan jelas di dalam mendefinisikan hadits dha’if ini, yaitu menurut pendapatnya Nur ad-Din ‘Atr. Beliau berpendapat hadits dha’if adalah hadits yang hilang salah satu saja syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).[2]
   B.   Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
            Dengan memandang definisi yang telah disebutkan, maka dapat diketahui bahwa kriteria-kriteria hadits dha’if adalah sebagai berikut:
1.   Sanadnya terputus
2.   Rawinya kurang adil
3.   Rawinya kurang dhabith
4.   Adanya syadz
5.   Adanya illat atau ada penyebab samar dan tersembunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu hadits  meski secara lahir terlihat bebas dari cacat.
   C.    Macam-macam Hadits Dha’if
            Ada banyak sekali macam-macam hadits dha’if, sehingga harus diketahui pengelompokannya. Pengelompokannya adalah sebagai berikut:

1. Dilihat dari sisi sanad
a)    Hadits Mu’allaq (مُعَلَّق), adalah hadits yang perawinya digugurkan, seorang atau lebih mulai dari awal sanadnya sampai akhir sanadnya secara beruntun atau membuang sanadnya kecuali sahabat atau sahabat dan tabi’in secara bersama, seperti rawi langsung mengatakan: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَذَا [3]
b)   Hadits Munqathi’ (مُنْقَطِع), adalah hadits yang matarantai sanadnya digugurkan di satu tempat atau lebih atau pada matarantai sanadnya disebutkan nama seorang perawi yang namanya tidak dikenal atau diragukan, seperti contoh hadits riwayat Ibnu Majah dan at-Tirmidzi yang gugur sanadnya berupa perawi sebelum sahabat yang berbunyi:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ بِسْمِ اللهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ, اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِيْ وَ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ[4]
c)    Hadits Mu’dhal (مُعْضَل), adalah hadits yang dari para perawinya gugur secara berurutan, baik dua orang atau lebih, baik sahabat bersama-sama tabi’in, maupun tabi’in dan tabi’it tabi’in, atau dua orang sebelumnya, seperti hadits riwayat Imam Malik dalam kitab Muatha’nya langsung dari Abu Hurairah (sahabat), katanya Rasulullah bersabda:
....لِلْمَمْلُوْكِ طَعَامُهُ وَ كِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوْفِ وَ لاَ يُكَلِّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يَطِيْقُ....[5]
d)   Hadits mursal (مُرْسَل), adalah hadits yang sanadnya gugur setelah tabi’in. Seperti ketika tabi’in mengatakan: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَا [6]
e)    Hadits Mudallas (مُدَلَّس), dibagi menjadi dua, yaitu:
a- Tadlis al-Isnad, yaitu hadits yang diriwayatkan dari perawi yang mengaku mendengar hadits dari seseorang yang pernah ditemuinya, namun sebenarnya dia tidak pernah mendengar hadits tersebut darinya agar disangka bahwa dia pernah mendengarnya, seperti contoh hadits riwayat Abu Dawud, dari Ibnu Umar beliau berkata, Rasulullah bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِيْ مَجْلِسِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ إِلَى غَيْرِهِ
     Dalam matarantai sanad hadits Ibnu Umar ini, ditemukan seorang perawi yang mudallis, bernama Muhammad bin Ishaq dan ia telah membuat periwayatannya dengan menggunakan kode yang biasa dipakai dalam hadits ‘an’anah
b- Tadlis as-Syuyukh, yaitu perawi menyebutkan gurunya, namun tidak dengan sebutan yang terkenal untuk gurunya tersebut agar tidak dikenal, seperti perkataan Abu Bakar Muhammad bin Hasan al-Naqqasi al-Mufassiri berkata bahwa “Muhammad bin Sanad” menceritakan kepadaku. Muhammad dinisbatkan kepada kakeknya, bukan kepada ayahnya.[7]

2. Dilihat Dari Segi Perawi Hadits
a)    Hadits Matruk (مَتْرُوْك), adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang disepakati atas kelemahannya, seperti dicurigai berdusta, dicurigai kefasikannya, pelupa, banyak keragu-raguannya, atau suatu hadits hanya diriwayatkan oleh satu orang, seperti riwayat Umar bin Syamr, dari Jabir, dari Harits, dari ‘Ali RA. ‘Amr di sini terkena sifat matrukul hadits.[8]
b)   Hadits Munkar (مُنْكَر), adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya dari sisi ketsiqahannya. Perbandingannya adalah hadits ma’ruf (مَعْرُوْف) adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah yang bertentangan dengan perawi yang lemah, seperti hadits riwayat Ibnu Abi Hatim, dari jalurnya Hubaib bin Habib, dari Abi Ishaq, dari al-‘Izar bin Huraits, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah beliau bersabda:
مَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَ أَتَى الزَّكَاةَ وَ حَجَّ وَ صَامَ وَ قَرَى الضَّيْفَ, دَخَلَ الجَنَّةَ
Ibnu Abi Hatim berkata: Hadits ini munkar, karena terdapat rawi yang kredibel yaitu Abi Ishaq dan rawi yang kurang kredibel yaitu Hubaib.[9]
c)    Hadits Mudraj (مُدْرَج), adalah hadits yang menampakkan suatu tambahan, baik dari segi sanad atau matannya, karena diduga bahwa tambahan tersebut termasuk bagian dari hadits itu, seperti hadits riwayat at-Tirmidzi tentang:
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ...؟؟؟؟....
Hadits ini dapat dilihat dari dua jalur, yaitu:
1) Jalur Ibnu Mahdi, dari ats-Tsaury, dari Washil al-Ahdab, dari Manshur.
2) Jalur al-A’masy, dari Abi Wa’il, dari Amr bin Surahby, dari Ibnu Mas’ud.
  Dalam meriwayatkan hadits ini, Washil al-Ahdab tidak menyebutkan Umar bin Surahbil, tetapi dia meriwayatkan dari Abi Wa’il yang menerima langsung dari Ibnu Mas’ud. Jadi, penyebutan Umar bin Syurahbil merupakan sisipan (tadrij) pada riwayat Manshur dan al-A’masy.[10]
d)   Hadits Maqlub (مَقْلُوْب), adalah hadits yang diganti lafadznya dengan lafadz lain di dalam sanadnya atau matannya, dengan mendahulukan atau mengahirkan atau semisalnya, seperti hadits riwayat Hammad an-Nashiby, dari al-A’masy, dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah (Hadits Marfu’):
إِذَا لَقِيْتُمُ الْمُشْرِكِيْنَ فِيْ طَرِيْقٍ فَلَا تَبْدَأُوْهُمْ بِالسَّلَامِ.
Hadits ini maqlub, karena Hammad mengganti Suhail bin Abi Shalih dengan al-A’masy.[11]
e)    Hadits  Mudltharib (مُضْطَرِب), adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang berbeda-beda, akan tetapi syarat-syarat diterimanya dari beberapa rawi tersebut sama di dalam kekuatannya, sekira ada pertentangan dari segala arah, maka tidak bisa dijam’u, dinaskh, dan ditarjih, [12] seperti hadits riwayat at-Tirmidzi, dari jalur Abu Bakar, sesungguhnya ia bertanya kepada Nabi saw demikian:
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَاكَ شِبْتَ؟ قَالَ: شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَ أَخَوَاتُهَا
Menurut Daru Quthniy, hadits ini termasuk hadits mudltharib, sebab hanya diriwayatkan dari satu jalur matarantai sanad, yaitu Abu Ishaq, tetapi dari jalur ini pula banyak ditemukan kerancuan dalam matarantai sanad yang jumlahnya lebih dari sepuluh redaksi, di antaranya ada yang mengatakan bahwa:
a)  Hadits tersebut diriwayatkan secara muttashil.
b)  Hadits tersebut diriwayatkan secara mursal.
Bahkan para ulama mempertentangkan masalah yang berhubungan dengan matarantai sanad, di antaranya ada yang mengatakan bahwa:
a) Hadits tersebut bersumber dari periwayatan Abu Bakar. Dan dari jalur ini, bisa dilihat dari beberapa jalur yang berfariatif, di antaranya adalah:
  - Dari Ikrimah, dari Abu Bakar.
  - Dari al-Barra’, dari Abu Bakar.
  - Dari Abu Yasrah, dari Abu Bakar.
  - Dari ‘Alqamah, dari Abu Bakar.
  b) hadits tersebut bersumber dari musnad Sa’ad.
  c) Hadits tersebut bersumber dari musnad Aisyah dan sebagainya.
Padahal semua rawi tersebut adalah tsiqah sehingga tidak memungkinkan untuk dicarikan tarjihnya, bahkan untuk mengkompromikan saja dianggap tidak beralasan (ma’dzur).[13]
f)    Hadits Mushahhaf (مُصَحَّف), hadits yang terjadi perubahan huruf atau makna di dalamnya atau di dalam sanadnya,[14]seperti contoh hadits:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ, كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Kemudian hadits tersebut ditashhif oleh Abu Bakr ash-Shuuliyu pada lafadz سِتًّا menjadi شَيْأً.[15]
g)   Hadits Muharraf (مُحَرَّف), adalah hadits yang terjadi perubahan syakl di dalamnya atau di dalam sanadnya, maksudnya terjadi perubahan pada harakat-harakatnya atau pada sukun-sukunnya,[16] seperti pada hadits:
رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ الْإِحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ, فَكَوَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Hadits tersebut ditahrif oleh Ghundar dengan melafalkan أُبَيٌّ menjadi أَبِيْ [17]

3.    Dilihat dari Sisi Kejanggalan dan Kecacatan
a)    Hadits Syadz (شَاذ), hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dapat diterima, namun bertentangan dengan perawi lain yang lebih utama darinya, seperti hadits:
أَنَّ رَجُلاً تُوُفِّيَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ لَمْ يَدَعْ وَارِثًا إِلاَّ مَوْلَى أَعْتَقَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: هَلْ لَهُ أَحَدٌ؟ فَقَالُوْا لاَ, إِلاَّ غُلَامٌ أَعْتَقَهُ, فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِيْرَاثَهُ
       Ada dua jalur periwayatan mengenai hadits tersebut, yaitu:
a) Jalur periwayatan at-Tirmidzi yang bersanad Ibnu Uyainah, dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah, dari Ibnu Abbas. Jalur ini merupakan matarantai sanad hadits mahfudh, sebab di samping memiliki perawi-perawi yang tsiqah dan juga mempunyai muttabi’, yaitu Ibnu Juraij dan lainnya.
b) Jalur periwayatan Ashab as-Sunan, dapat dilihat dari dua periwayatan, yaitu:
a) Dari Hammad, dari ‘Amr bin Dinnar, dari ‘Ausajah adalah hadits mursal, sebab ‘Ausajah meriwayatkan hadits ini tanpa melalui sahabat Ibnu Abbas.
b) Dari Hammad bin Zaid (termasuk muhaddits tsiqqah), tetapi dalam periwayatannya berlawanan dengan periwayatan Ibnu Uyainah yang lebih utama, sebab sanadnya muttashil dan ada muttabi’nya, maka dari itu hadits at-Tirmidzi melalui jalur periwayatan Ibnu Uyainah disebut hadits mahfudh.
Dari kenyataan di atas, periwayatan at-Tirmidzi melalui sanad Ibnu Uyainah yang lebih utama, disebut hadits mahfudh, sedang yang melalui Ashab as-Sunnah disebut syadz.[18]
b)   Hadits Mu’allal (مُعَلَّل), adalah hadits yang secara lahiriyahnya tidak ada kecacatan, namun setelah dikaji lebih mendalam ternyata terdapat kecacatan di dalam sanad atau matannya atau di dalam kedua-duanya, seperti contoh:
...اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا...
Ada dua jalur periwayatan, yaitu:
a)      Jalur Ya’la bin Ubaid, dari Tsufyan ats-Tsaury, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ibnu Umar
b)      Jalur Makhlad bin Yazid, Muhammad bin Yusuf dan Abu Na’im, ketiganya dari Tsufyan ats-Tsaury, dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar
       Dari penyajian dua jalur di atas, dapat dinyatakan bahwa hadits yang dari jalur periwayatan Ya’la terdapat unsur kecacatan dan haditsnya dinamakan hadits mu’allal sebab ia menyandarkan haditsnya pada ‘Amr bin Dinar, padahal yang sebenarnya adalah Abdullah bin Dinar. Sekalipun demikian, hadits Ya’la tetap bisa dikatakan shahih pada matannya, sebab redaksinya sama dengan yang lain[19]
4.    Dilihat dari Sisi Matan
a)    Hadits Mauquf (مَوْقُوْف), adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya, baik dalam periwayatannya bersambung atau tidak. Maksudnya adalah hadits yang hanya disandarkan pada sahabat saja, seperti contoh:
يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَ إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَ خُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَ مِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Hadits riwayat Bukhari tersebut adalah hadits mauquf, sebab matannya berasal dari perkataan Ibnu ‘Umar dan tidak ada petunjuk yang mengatakan adalah Nabi SAW.[20]
b)   Hadits Maqthu’ (مَقْطُوْع), adalah perkataan, perbuatan atau taqrir yang dimauqufkan kepada tabi’in, baik sanadnya bersambung atau tidak, seperti perkataan Haram bin Jubair (seorang tabi’in besar) yaitu:
 اَلْمُؤْمِنُ إِذَا عَرَفَ رَبَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ أَحَبَّهُ وَ إِذَا أَحَبَّهُ أَقْبَلَ إِلَيْهِ[21]

   D.    Kehujjahan Hadits Dha’if
            Hadits dha’if termasuk hadits yang dihukumi mardud (ditolaknya hujjah darinya) memandang hukum aslinya.[22] Setelah dikaji lebih mendalam terjadi perbedaan pendapat di dalam menjadikan hadits ini sebagai hujjah sebagai berikut:
a.    Haram secara mutlak menurut sebagian kecil ulama, seperti al-Hafizh Ibn al-Arabi al-Maliki, Ibn Hazm, Syihab al-Khafaji, Ahmad Syakir (penulis Syarkh Nazhm Alfiyah as-Suyuthi), Nashiruddin al-Albani (Muhaddits Salafi Wahabi)dan lain-lain.
b.   Boleh secara mutlak menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Dawud dan lain-lain. Bahkan menurut kesepakatan Hanafiyah lebih memprioritaskan hadits dha’if daripada qiyas. Selain itu, Imam Malik juga memprioritaskan hadits mursal, munqathi’, mu’allaq, dan ucapan sahabat daripada qiyas.
c.    Kondisional (menurut mayoritas ulama); jika berkaitan dengan akidah dan hukum (halal dan haram), maka tidak boleh. Sedangkan bila berkaitan dengan keutamaan amal, menakut-nakuti, dan memotifasi amal, tafsir dan cerita, maka boleh.[23]




BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan

               hadits dha’if adalah hadits yang hilang salah satu saja syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).
    
              Kriteria-kriteria hadits dha’if adalah:
Ø  sanadnya terputus
Ø  rawinya kurang adil
Ø  rawinya kurang dhabit
Ø  adanya syadz
Ø  adanya illat atau penyebab samar yang tersembunyi yang mengakibatkan tercemarnya suatu hadits shahih meski secara lahir terlihat bebas dari cacat.

               macam-macam hadits dha’if ada banyak sekali dan dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a.    dipandang dari segi sanad
b.    dipandang dari segi perawi
c.    dipandang dari segi kejanggalan dan kecacatan
d.   dipandang dari segi matan.

              Hadits dha’if masuk dalam kategori hadits yang mardud (ditolak), artinya menurut hukum asal, hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujah. Namun terjadi perbedaan pandangan di dalam mengamalkannya. Perbedaan tersebut meliputi:
a.    Mutlak mengharamkan
b.    Mutlak memperbolehkan
c.    Kondisional. Bila dalam masalah fadha’ilul a’mal, targhib, tarhib, maka boleh digunakan asal masuk pada asal yang bisa diamalkan, bila berkenaan dengan hukum (halal dan haram) dan akidah, maka ulama sepakat tidak boleh menjadikannya sebagai hujah.







Daftar Pustaka

Hadi Saeful. Ulumul Hadits. Kulon Progo: Sabda Media
Hidayat Muhammad Nur. Hujjah Nahdliyah. Surabaya: Khalista. 2012
Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2010
Ma’shum Zein Muhammad. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jombang: Darul Hikmah. 2008
al-Mas’udi Hasan. Minhah al-Mughits. Surabaya: Andalas.
al-Maliki Alawi Muhammad. al-Minhal al-Lathif. Dar ar-Rahmah al-Islamiyah.
ath-Thahhan Mahmud. Taisir Musthalah al-Hadits. Surabaya: al-Hidayah


[1] Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathiif, (Dar al-Rohmah al-Islamiyah), Hal. 51
[2] Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), Hal. 156-157
[3] Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Mustalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 125
[4] M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm.128-129
[5]  M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Hlm.  131
[6]  Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Daar al-Rahmah al-Islamiyah), Hlm. 82
[7]  Hasan al-Mas’udi, Minhat al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 43
[8]  Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Daar al-Rahmah al-Islamiyah), Hlm. 114-116
[9]   Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 93-94
[10] Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Hlm. 166
[11] Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, (Surabaya: al-Hidayah), Hlm. 107-108
[12] Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 102
[13] M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 154-155.
[14] Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 53
[15] Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 93-94
[16] Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits, (Surabaya: Andalas), Hlm. 53-54
[17]  Muhammad Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 108-109
[18]  M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 161-162
[19]  M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits,  Hlm. 45
[20] M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 168-169
[21] M. Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Hlm. 169-170
[22] Saeful Hadi, Ulumul Hadits, Cet. XII, (Kulon Progo: Sabda Media), Hlm. 172
[23] Nur Hidayat Muhammad, Hujjah Nahdliyah, Cet.I (Surabaya: Khalista, 2012), Hal. 11-12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini