Senin, 12 Mei 2014

Hakim, Mahkum Bih dan Mahkum 'Alaih




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hakim termasuk persoalan yang cukup yang penting dalam ushul fiqih, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’,yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum bih, karena didalam perbuatan atau peristiwa ada hukum, baik hukum yang wajib maupun yang hukum haram. Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf. Makalah ini juga membahas mengenai dan ahliyyah, yang memiliki arti bahwa adalah sifat  yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat  dinilai oleh syara’.

B.       RumusanMasalah
1.    Apa yang di maksud dengan pembuat Hukum (Hakim)?
2.    Apa yang di maksud dengan Objek Hukum (MahkumBih)?
3.    Apa Macam-Macam MahkumBih?
4.    Ada Berapakah Syarat-Syarat MahkumBih?
5.    Apa yang di maksud dengan Subjek Hukum (MahkumAlaih)?
6.    Bagaimana Syarat perbuatan Objek Hukum?
7.    Bagaimana perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang pembuat Hukum (Hakim)?

C.       Tujuan Masalah
1.    Supaya mengetahui pengertian pembuat hukum (Hakim)
2.    Mengetahui Objek Hukum (MahkumBih)
3.    Mengetahui Syarat-Syarat (MahkumBih)
4.    Dapat Mengetahui Macam-Macam (MahkumBih)
5.    Mengetahui Subjek Hukum (MahkumAlaih)
6.    Mengetahui Syarat-Syarat pembuat Objek Hukum
7.    Mengetahui perbedaan pendapat  di kalangan ulama tentang pembuat Hukum (Hakim)

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pembuat Hukum (Hakim)

1.    PengertianPembuatHukum(Hakim)
Dari definisi, dapat di pahami bahwa ”pembuat Hukum (Syari’) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia yang telah menciptakan manusia di atas bumi ini dan ia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan dunia maupun kepentingan hidup di akhirat. Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa pembuat Hukum (Syari’) satu-satunya bagi umat islam adalah Allah. Hal ini merupakan manifestasi dari Allah sebagaimana di tegaskan firman Allah dalam surat Al-An’am (6):57; Yusuf (12):40 dan 67 yang artinya ‘’Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah”. Tentang kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan islam maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat islam. Masalah-masalahnya bahwa Allah sebagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda dengan manusia yang menjalankan hukum itu.[1]

Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu :[2]
a.    Pendapat mayoritas ulama Ahlussunah mengatakan bahwa satu-satunya yang mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang di turunkan Allah kepadanya.
b.    Kalangan Ulama kalammu’tazilah yang berpendapat bahwa memang Rasulullah adalah manusia satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Seandainya Rasul itu belum  datang mengenalkan hukum Allah itu kepada manusia, namun melalui akal yang di berikan Allah kepada manusia, ia mempunyai kemampuan mengenai hukum Allah.
Kedua pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasul sebagai pembawa hukum Allah dan Rasul sebagai orang yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Perbedaan pendapat I kalangan dua kelompok terletak pada adanya taklif sebelum datangnya Rasul. Sedangkan ulama mu’tazilah berpendapat adanya taklif sebelum datangnya Rasul karena akal manusia bisa menilai baik dan buruknya suatu perbuatan. [3]

B.       ObjekHukum(MahkumBih)

1.    Pengertian Objek Hukum (mahkumbih)
Sesuatu yang di kehendaki oleh pembuat Hukum untuk dilakukan atau di tinggalkan oleh manusia, atau di biyarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulam’ushul fiqih, yang disebut MahkumBih atau objek hukum ”sesuatu yang berlaku pada hukum syara’. Objek hukum adalah “perbuatan” itusen diri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Contohnya : ”dagingbabi”. Hukum syara’ terdiri dari dua macam yaitu: hukum taklifi dan hukum wadhi. Hukum taklifi menyangkut perbuatan mukalaf, sedangkan sebagian hukum wadhiada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukalaf.[4]
2.    Syarat-Syarat MahkumBih
Para ahli ushulfiqih mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
1)   Mukallaf mengetahui perbuatan yang akn dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan.
2)   Mukallaf harus mengetahui sumber taklif.
3)   Perbuatan harus dilaksanakan atau di tinggalkan.[5]



3.    Macam-Macam MahkumBih
Para ulama Ushulfiqh membagi mahkumbih menjadi dua segi : yaitu dari segi kebenaranya yakni dari segi material dan Syara’ yang terdiri   atas : [6]
·      Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’ : misalnya makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak terkait hukum syara’.
·      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’, misalnya perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishah.
·      Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan zakat.
·      Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya hukum syara’ misalnya : nikah, jual beli dan sewa menyewa.[7]

C.      SubjekHukum(MahkumAlaih)

1.    Pengertian Subjek Hukum (MahkumAlaih)
Ulama ushul fiqih mengatakan bahwa mahkumalaih adalah seseorang yang perbuatanya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang di bebani hukum, sedangkan dalam istilah ushulfiqih, mukallaf disebut juga mahkumalaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah dan larangan-Nya.
2.    Taklif
Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan hukum. Sebagian besar ulama ushulfiqih berpendapat bahwa dasar hukum bagi seorang mukalaf adalah akal dan pemahaman, maka orang yang tidak atau belum mengetahui berakal dianggap tidak bias memahami taklifsyar’I termasuk golongan ini, adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadar.[8]
3.    Syarat-syarat Taklif
Ulama fiqih sepakat bahwa seorang mukalaf bias dikenai taklif apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu :
a.    Orang yang telah mampu memahami khithab Syar’I (tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hal itu, karena orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk kithab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
b.    Seseorang harus mampu bertindak hukum, dalam hukum ushulfiqih disebut dengan ahliyah.[9]
4.    Ahliyah
Secara etimologi, ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan”. Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka ia dianggap ahli menangani bidang tersebut. Ada pun arti ahliyyah secara terminologi, menurut para ahli ushulfiqih, yakni sifat yang menunjukan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’.
v Pembagian Ahliyyah ada dua bentuk yaitu :
a)    Ahliyahada’, yaitu sifat kecakapan bertindak hokum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun negatif.
b)   Ahliyyah Al-Wajib, yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu dibebani seluruh kewajiban.


v Halangan ahliyyah
Sebagaimana diatas bahwa, penentuan mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak hokum dilihat dari segiak alnya. Halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan hukumnya, yakni ada kalanya bersifat menghilangkan atau menguranginya. Berdasarkan inilah, ulama ushulfiqih menyatakan bahwa kecakapan hokum seseorang bisa berubah disebabkan :
·      Awaridth as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah bukan disebabkan perbuatan manusia, misanya : gila, dungu, perbudakan, dan lupa.
·      Awaridth al-muktasabah, Maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia, misalnya : mabuk, terpaksa bersalah, berada di bawah pengampunan, dan bodoh.[10] 


DAFTAR PUSTAKA

Rachmat Syafe’i,2010,IlmuUshulFiqih,Bandung.
Nasrun Haroen,1996,UshulFiqh,Jakarta Logos.
Amir Syarifuddin,1997,UshulFiqh,JilidI,Jakarta.
Abd.Rahman Dahlan,2010,UshulFiqih,Jakarta.



[1]Amir Syarifuddin, UshulFiqihJilid 1, Cet. I, (Jakarta: Logos WacanaIlmu, 1997), hlm.347 
[2]Ibid
[3]Ibid hal,348
[4]Ibid hal,351
[5]RachmadSyafe’i,IlmuUsulFiqih, cet,IV (Bandung:PustakaSetia 2010)hal,320
[6] Ibid hal,331
[7]Ibid hal,332
[8]Ibid hal,334
[9]NasrunHaroen,ushulfiqih,cet 1( jakarta,Logos,1996) hal 306
[10]RachmatSyafei,IlmuUshulFiqih,cet IV(Bandung,PustakaSetia),hal 343

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini