BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hakim termasuk persoalan yang cukup yang penting dalam ushul fiqih, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’,yang mendatangkan pahala
bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum bih, karena didalam perbuatan atau peristiwa ada
hukum, baik hukum yang wajib maupun yang hukum haram. Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang
yang perbuatanya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf. Makalah ini juga membahas mengenai dan ahliyyah, yang memiliki arti bahwa adalah sifat
yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat
dinilai oleh syara’.
B.
RumusanMasalah
1.
Apa
yang di maksud dengan pembuat Hukum (Hakim)?
2.
Apa
yang di maksud dengan Objek Hukum (MahkumBih)?
3.
Apa Macam-Macam
MahkumBih?
4.
Ada
Berapakah Syarat-Syarat MahkumBih?
5.
Apa
yang di maksud dengan Subjek Hukum (MahkumAlaih)?
6.
Bagaimana
Syarat perbuatan Objek Hukum?
7.
Bagaimana
perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang pembuat Hukum (Hakim)?
C.
Tujuan Masalah
1.
Supaya
mengetahui pengertian pembuat hukum (Hakim)
2.
Mengetahui
Objek Hukum (MahkumBih)
3.
Mengetahui
Syarat-Syarat (MahkumBih)
4.
Dapat
Mengetahui Macam-Macam (MahkumBih)
5.
Mengetahui
Subjek Hukum (MahkumAlaih)
6.
Mengetahui
Syarat-Syarat pembuat Objek Hukum
7.
Mengetahui
perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang
pembuat Hukum (Hakim)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembuat Hukum (Hakim)
1.
PengertianPembuatHukum(Hakim)
Dari definisi, dapat di pahami bahwa
”pembuat Hukum (Syari’) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia yang telah
menciptakan manusia di atas bumi ini dan ia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi
kehidupan dunia maupun kepentingan hidup di akhirat. Dari uraian di atas dapat
di pahami bahwa pembuat Hukum (Syari’) satu-satunya bagi umat islam adalah Allah.
Hal ini merupakan manifestasi dari Allah sebagaimana di tegaskan firman Allah
dalam surat Al-An’am (6):57; Yusuf (12):40 dan 67 yang artinya ‘’Sesungguhnya
tidak ada hukum kecuali bagi Allah”. Tentang kedudukan Allah sebagai satu-satunya
pembuat hukum dalam pandangan islam maka tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan umat islam. Masalah-masalahnya bahwa Allah sebagai pembuat hukum berada
dalam alam yang berbeda dengan manusia yang menjalankan hukum itu.[1]
Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu
:[2]
a.
Pendapat
mayoritas ulama Ahlussunah mengatakan bahwa satu-satunya yang mengenalkan hukum
Allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang di
turunkan Allah kepadanya.
b.
Kalangan
Ulama kalammu’tazilah yang berpendapat bahwa memang Rasulullah adalah manusia satu-satunya
yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Seandainya Rasul itu
belum datang mengenalkan hukum Allah itu
kepada manusia, namun melalui akal yang di berikan Allah kepada manusia, ia mempunyai
kemampuan mengenai hukum Allah.
Kedua pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasul sebagai pembawa hukum
Allah dan Rasul sebagai orang yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada
manusia. Perbedaan pendapat I kalangan dua kelompok
terletak pada adanya taklif sebelum datangnya Rasul. Sedangkan ulama mu’tazilah berpendapat adanya taklif sebelum datangnya
Rasul karena akal manusia bisa menilai baik dan buruknya suatu perbuatan. [3]
B. ObjekHukum(MahkumBih)
1.
Pengertian
Objek Hukum (mahkumbih)
Sesuatu yang di kehendaki oleh pembuat
Hukum untuk dilakukan atau di tinggalkan oleh manusia, atau di biyarkan oleh pembuat
hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulam’ushul fiqih, yang disebut MahkumBih
atau objek hukum ”sesuatu yang berlaku pada hukum syara’. Objek hukum adalah
“perbuatan” itusen diri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat.
Contohnya : ”dagingbabi”. Hukum syara’ terdiri dari dua macam yaitu: hukum taklifi
dan hukum wadh’i. Hukum taklifi menyangkut perbuatan mukalaf, sedangkan sebagian hukum
wadh’iada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukalaf.[4]
2.
Syarat-Syarat
MahkumBih
Para ahli ushulfiqih mengemukakan beberapa
syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
1)
Mukallaf
mengetahui perbuatan yang akn dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan
jelas dan dapat ia laksanakan.
2)
Mukallaf
harus mengetahui sumber taklif.
3)
Perbuatan
harus dilaksanakan atau di tinggalkan.[5]
3.
Macam-Macam
MahkumBih
Para ulama Ushulfiqh membagi mahkumbih
menjadi dua segi : yaitu dari segi kebenaranya yakni dari segi material dan Syara’
yang terdiri atas : [6]
· Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’
: misalnya makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak terkait
hukum syara’.
· Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’, misalnya
perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hudud
dan qishah.
· Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila
memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan zakat.
·
Perbuatan
yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya hukum syara’ misalnya
: nikah, jual beli dan sewa menyewa.[7]
C.
SubjekHukum(MahkumAlaih)
1.
Pengertian
Subjek Hukum (MahkumAlaih)
Ulama ushul fiqih
mengatakan bahwa mahkumalaih adalah seseorang yang perbuatanya dikenai khitab
Allah ta’ala, yang disebut mukallaf.
Dari
segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang di bebani hukum, sedangkan dalam
istilah ushulfiqih, mukallaf disebut juga mahkumalaih (subjek hukum).
Mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baik
yang berhubungan dengan perintah Allah dan larangan-Nya.
2.
Taklif
Dalam Islam, orang
yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan
hukum. Sebagian besar ulama ushulfiqih berpendapat bahwa dasar hukum bagi
seorang mukalaf adalah akal dan pemahaman, maka orang yang tidak atau belum
mengetahui berakal dianggap tidak bias memahami taklifsyar’I termasuk golongan
ini, adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan
tidak sadar.[8]
3.
Syarat-syarat
Taklif
Ulama fiqih sepakat
bahwa seorang mukalaf bias dikenai taklif apabila telah memenuhi dua syarat,
yaitu :
a.
Orang
yang telah mampu memahami khithab Syar’I (tuntutan syara’) yang terkandung dalam
Al-Qur’an dan Sunnah. Hal itu, karena orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk
kithab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
b.
Seseorang
harus mampu bertindak hukum, dalam hukum ushulfiqih disebut dengan ahliyah.[9]
4.
Ahliyah
Secara etimologi,
ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan”. Misalnya orang yang
memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka ia dianggap ahli menangani bidang tersebut.
Ada pun arti ahliyyah secara terminologi, menurut para ahli ushulfiqih,
yakni sifat yang menunjukan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya,
sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’.
v Pembagian Ahliyyah ada dua bentuk yaitu :
a)
Ahliyahada’, yaitu sifat kecakapan bertindak hokum bagi seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif
maupun negatif.
b)
Ahliyyah
Al-Wajib, yaitu sifat kecakapan seseorang untuk
menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu dibebani seluruh kewajiban.
v Halangan ahliyyah
Sebagaimana diatas
bahwa, penentuan mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak hokum dilihat dari
segiak alnya. Halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan hukumnya,
yakni ada kalanya bersifat menghilangkan atau menguranginya. Berdasarkan inilah,
ulama ushulfiqih menyatakan bahwa kecakapan hokum seseorang bisa berubah
disebabkan :
· Awaridth as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah bukan disebabkan perbuatan manusia,
misanya : gila, dungu, perbudakan, dan lupa.
· Awaridth al-muktasabah, Maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia, misalnya : mabuk,
terpaksa bersalah, berada di bawah pengampunan, dan bodoh.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Rachmat
Syafe’i,2010,IlmuUshulFiqih,Bandung.
Nasrun
Haroen,1996,UshulFiqh,Jakarta Logos.
Amir
Syarifuddin,1997,UshulFiqh,JilidI,Jakarta.
Abd.Rahman
Dahlan,2010,UshulFiqih,Jakarta.
[1]Amir
Syarifuddin, UshulFiqihJilid 1, Cet. I, (Jakarta: Logos WacanaIlmu,
1997), hlm.347
[2]Ibid
[3]Ibid
hal,348
[4]Ibid
hal,351
[5]RachmadSyafe’i,IlmuUsulFiqih,
cet,IV (Bandung:PustakaSetia 2010)hal,320
[6]
Ibid hal,331
[7]Ibid
hal,332
[8]Ibid
hal,334
[9]NasrunHaroen,ushulfiqih,cet
1( jakarta,Logos,1996) hal 306
[10]RachmatSyafei,IlmuUshulFiqih,cet
IV(Bandung,PustakaSetia),hal 343
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar anda di sini