BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari tidak
dapat terlepas dari aturan dan norma-norma yang berlaku menurut hukum syara’.
Hukum syara’ itu ada dua macam yaitu hukum syara’ yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf yang mengandung tuntutan dan kebolehan yang dinamakan
“hukum taklifi” dan yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung
persyaratan, sebab atau mani’ dinamakan ‘hukum wadh’i”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Hukum wadh’i?
2.
Apa macam-macam hukum wadh’i ?
C.
Tujuan Pnulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian Hukum wadh’i
2.
Untuk mengetahui macam-macam hukum wadh’i
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah
sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.[1]
Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik
bersifat sebagai sebab, atau syarat, atau penghalang maka ia disebut hukum
wadh’i. Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.[2]
Adapun
contohnya yaitu :
1.
Firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab:
.يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوْآاِذَا
قُمْتُمْ اِلَى الصَّلوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْ هَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى
الْمَرَافِقِ....(المائدة:6)
Artinya
:”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri untuk mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada suku.”(QS.
Al-Ma’idah:6)
Ayat di atas dapat dipahami bahwa mendirikan shalat menjadi sebab
untuk mewajibkan wudhu atau menjadikan sesuatu adalah sebab terhadap sesuatu.[3]
2.
Firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
لَا نِكَاحَ
اِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ(روه احمد)
Artinya :”Tidak syah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi
yang adil.” (HR. Ahmad)
Dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya pernikahan itulah yang
dimaksud dengan menentukan sesuatu menjadi sahnya sesuatu.[4]
3.
Contoh mani’ atau penghalang seperti tercantum dalam hadist yang
berbunyi :
لَيْسَ
لِلْقَاتِلِ مِنَ المِيْرَاثِ شَيْءٌ (رواه النسائ والدا رقطنى)
Artinya:”Tidak sedikitpun bagian orang yang membunuh dari harta
warisan (yang terbunuh)”. (HR. Nasa’i dan Daraquthi dari Amrin bin Suaib dari
ayahnya dan dari anaknya)
Hadist tersebut menunjukkan bahwa membunuh sebagai penghalang untuk
mendapatkan warisan.[5]
B.
Macam-Macam Hukum Wadh’i
Para
ulama fiqh menyatakan bahwa hukum wadh’i itu ada lima macam, yaitu :
1.
Sebab
a.
Pengertian Sebab
Sebab
menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain.[6] Sedangkan
menurut istilah adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas
musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab, dengan ketiadaannya.[7] Hukum
syara’ kadang-kadang diketahui melalui tanda yang menunjukkan bahwa perbuatan
itu menjadi kewajiban mukallaf. Misalnya: Perbuatan zina menyebabkan
seseorang dikenai hukuman dera 100 kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab
wajibnya sholat dhuhur, dan terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat
magrib. Apabila perzinaan tidak dilakukan, maka
hukuman dera tidak dikenakan. Apabila matahari belum tergelincir, maka shalat
dhuhur belum wajib. Dan apabila matahari belum terbenam, maka shalat mahgrib belum
wajib.[8]
Dengan
demikian terlihat hukum wadh’i dalam hal ini adalah sebab, dengan hukum
taklifi, keberadaan hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum
taklifi. Hukum wadh’I
hanya sebagai petunjuk atau indikator untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan
tetapi, para ulama’ ushul fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari
nash, bukan buatan manusia.
b. Pembagian sebab
Secara garis besar sebab ada dua macam,
yaitu:
1) Sebab yang tidak termasuk perbuatan
mukallaf.
Seperti dalam contoh tibanya waktu shalat dan menimbulkan wajibnya
shalat.[9] Dalam
firman Allah SWT.:
اَقِمِ الصَّلَا ةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ...
Artinya:” dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir….( Q.S.
Al-isra’ : 78 )
2) Sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Seperti pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan adanya
qishas. Dalam firman Allah SWT. :
يَآ أَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا كُتِبَ
عَلَيْكُمْ الْثِصَاصُ فِى القَتْلَى.....
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuhHai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….”( al-Baqarah:178)
2. Syarat
a. Pengertian syarat
Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’,
tetapi keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak
ada, hukum pun tidak ada, tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum
syara’.[10]
Misalnya: Wudlu adalah
salah satu syarat sahnya shalat. Sholat tidak dapat dilaksanakan, tanpa
berwudlu terlebuh dahulu. Akan tetapi apabila seseorang berwudlu, ia tidak
harus melaksanakan shalat.
b. Pembagian syarat
Para
ulama’ memberi uraian tentang pembagian syarat dengan berbagai tinjauan, akan
tetapi yang terpenting ialah bahwa ditunjau dari segi penetapannya sebagai
hukum syara’, syarat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1)
Syarat Asy-syar’iyyah
Ialah
syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang timbul padanya
yang ditentukan oleh syara’.[11]
Misalnya: akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri namun
agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian apabila akad atau tindakan
hukum tidak akan menimbulkan efekya kecuali apabila syarat-syaratnya telah
terpenuhi.[12]
2) Syarat Al-Ja’liyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang
timbul padanya yang ditentukan oleh mukallaf. Contohnya , seorang suami
yang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan mengatakan: “ jika engkau
mengulangi perkataan dusta itu, maka talakmu jatuh satu”. Dengan demikian talak
tidak akan menimbulkan efeknya kecuali tidak terpenuhi syarat talak.
3. Mani’
a. Pengertian Mani’
Menurut bahasa berarati “ penghalang “. Sedangkan dari
segi istilah yang dimaksud dengan mani’ adalah :[13]
مَا رَتَّبَ الشَّارِعُ عَلَى وُجُوْدِهِ عَدَمُ
وُجَوْدِالحُكْمَ أَوْعَدَمُ السَّبَبَ اَيْ بُطْلَانُهُ
“ sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan
hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.”
Misalnya: hubungan suami istri dan hubungan
kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewarisi ).
Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan bagian warisan dari harta ayah
atau suami yang wafat sesuai dengan bagian masing-masing akan tetapi,
hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami
atau ayah tersebut.
( H.R.Bukhari-Muslim ). Jadi, yang
menghalangi ahli waris untuk mendapatkan warisan itu karena membunuh orang yang
mewarisi.[14]
b. Pembagian Mani’
Para ulama’ membagi mani’ dari sisi pengaruhnya bagi sebab dan hukum
menjadi dua macam :
1) Mani’ yang menghalangi adanya hukum
Yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi adanya hukum syara’,
ialah ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang
berlakunya hukum syara’ yang umum. Misalnya: hukum syara’ yang umum
menyatakan wajib shalat bagi setiap mukallaf, baik laki-laki maupun wanita.
Akan tetapi, syara’ juga menetapkan, haid dan nifas merupakan penghalang bagi
wanita untuk dikenakan kewajiban meng-qadha’ shalat yang tidak dilaksanakan selama
haid atau nifas.[15]
2) Mani’ yang menghalangi hubungan sebab
Yaitu
ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang bagi
lahirnya musabbab/ akibat hukum dari suatu sebab syara’ yang berlaku umum. Misalnya:
jumlah harta yang telah mencapai kadar
nishab dan telah dimiliki selama satu tahun ( haul ) merupakan sebab bagi
kewajiban mengeluarkan zakat. Akan tetapi, ketetapan syara’ juga menyatakan
bahwa keadaan berhutang merupakan penghalang ( mani’ ) bagi seseorang untuk
dikenakan kewajiban zakat.[16]
c. Kaitan antara sebab, syarat, dan mani’
Dari rumusan definisi dan penjelasan diatas, terlihat
bahwa antara sebab, syarat, dan halangan terdapat hubungan yang saling terkait.
Mani’ ada bersamaan dengan sebab dan syarat, dan berakibat tidak adanya hukum
disebabkan keberadaan mani’. Misalnya, matahari telah tergelincir
sebagai penyebab disebabakannya shalat dhuhur dan seorang wanita mukallaf wajib
berwudlu sebagai syarat sah shalat. Tetapi jika wanita yang akan shalat itu
sedang haid yang menjadi penghalang ( mani’ ) maka hukumnya menjadi tidak ada,
karena wanita dalam keadan haid tidak boleh melaksanakan shalat.[17]
4. Ash-Shihah,
Al-Buthlan dan Al-Fasad
a. Pengertian Ash-Shihah, Al-Buthlan dan
Al-Fasad
1) Ash-Shihah secara bahasa
Sah atau Shihah (الصححة ) atau shahih ( الصحيح ) lawan dari ( المريضة
) yang artinya sakit. Secara istilah, para ahli ushul fiqih
merumuskan definisi sah dengan :[18]
تَرَتُّبُ ثَمْرَتِهِ الْمَطْلُوْبَةِ مِنْهُ شَرْعًا
عَلَيْهِ. فَإِذَا حَصَلَ السَّبَبُ وَتَوَفَّرَ الشَّرْطُ وَانْتَفَى المَانِعُ
تَرَتَّبَتِ اْلآثَارُ الشَّرْ عِيْةةُ عَلَى الفِعْلِ
“ Tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya
ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak
syara’ pada perbuatan itu.”
Maksudnya,
sesuatu perbuatan dikatakan sah apabila terpenuhi sebab dan syaratnya, tidak
ada halangan dalam melaksanakannya, serta apa yang diinginkan syara’ dari
perbuatan itu berhasil dicapai. Misalnya: seseorang melaksanakan shalat dengan
memenuhi rukun, syarat, dan sebab, serta orang yang shalat itu terhindar dari
mani’ atau terhalang. Apabila shalat dhuhur akan dilakdanakan, sebab wajibnya
shalat itu telah ada yaitu matahari telah tergelincir, orang yang akan shalat
itu telah berwudlu, dan tidak ada mani’ dalam mengerjakan shalat tersebut maka
shalat yang dikerjakan tersebut sah.[19]
2) Al- Bathl secara
etimologi batal yang dalam bahasa arabnya al-buthlan (البطلان
) yang berarti rusak dan
gugur hukumnya. Secara terminologi menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, yang
mengatakan batal adalah :[20]
تَجَزُّدُ التَّصَترُّفِ الشَّرْعِيِّ عَنْ
اِعْتَبَارَهِ وَآثَارِهِ فِى نَظَرِ الشٍّرْعِ
“ Tindakan
hukum yang bersifat syar’i terlepas dari sasarannya, menurut pandangan syara’.”
Maksudnya, tindakan hukum yang bersifat syar’i tidak memenuhui
ketentuan yang ditetapkan oleh syara’, sehingga apa yang dikehendaki syara’
dari perbuatan tersebut lepas sama sekali (tidak tercapai). Misalnya suatu
perbuatan tidak memenuhi rukun atau tidak memenuhi syarat, atau suatu perbuatan
dilaksanakan ketika ada mani’ (penghalang). Perbuatan seperti itu dalam
pandangan syara’ tidak sah (bathl). Misalnya, dalam persoalan ibadah
yaitu orang yang melaksanakan ibadah sholat harus memenuhi rukun dan syaratnya,
apabila ada penghalang seperti haid atau nifas maka sholatnya tidak sah atau
batal.
Sedangkan
dalam bidang muamalah, misalnya dalam transaksi jual beli apabila yang
melakukannya adalah orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum (seperti
anak kecil atau orang gila) maka hukum jual beli tersebut tidak sah.
Dengan
demikian baik dalam bidang ibadah maupun dalam bidang muamalah, keabsahan suatu
perbuatan ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun, syarat, dan penyebab
perbuatan itu, dan tidak mani’ untuk melaksanakan perbuatan itu. Tetapi apabila perbuatan itu tidak memenuhi
syarat, rukun, dan sebabnya belum ada, atau ada mani’, maka perbuatan itu
menjadi batal.[21]
Disamping istilah sah dan batal, dalam fiqih islam juga dikenal
dengan istilah fasad, yang posisinya diantara sah dan batal.
3) Al-Fasad Secara
etimologi, fasad (الفساد ) berarti ”perubahan
sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat).” Dalam bahasa indonesia berarti
“rusak”. Dalam pengertian terminologi menurut jumhur ulama bahwa antara batal
dan fasad mengandung esensi yang sama, yang berakibat kepada tidak sahnya
perbuatan itu. Apabila sesuatu perbuatan tidak memenuhi syarat, rukun, dan
tidak ada sebabnya, atau ada mani’ terhadap perbuatan tersebut, maka perbuatan
itu disebut fasad atau batal.[22]
Menurut ulama Hanafiyyah juga mengemukakan
hukum lain yang berdekatan dengan batal, yaitu fasad. Menurut mereka fasad
adalah “terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad.” Artinya, akad itu
pada dasarnya adalah sah, tetapi sifat akad itu tidak sah. Misalnya,
melakukan jual beli ketika panggilan shalat jum’at berkumandang. Jual beli dan
shalat jum’at sama-sama memiliki dasar hukum. Akan tetapi jual beli itu
dilaksanakan pada waktu yang sifatnya terlarang untuk melakukan jual beli, maka
hukumnya menjadi fasad atau rusak.[23]
5. ‘Azimah dan
Rukhshah
‘Azimah adalah
hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada seluruh hambanya sejak semula.
Maksudnya belum ada hukum sebelum hukum itu
disyari’atkan oleh Allah. Misalnya,
jumlah shalat dhuhur adalah empat reka’at. Jumlah reka’at ini ditetapkan Allah
sejak semula, dimana tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah reka’at shalat
dhuhur. Hukum tentang shalat dhuhur tersebut adalah empat reka’at, disebut
dengan ‘Azimah.[24]
Adapun yang dimaksud al-Rukhshah sebagian
ulama’ ushul fiqih ialah :[25]
مَا شُرِعَ مِنَ الأَحْكَامِ لِلْتَخْفِيْفِ
عَنِ العِبَادِ فِي أَحْوَالِ خَاصَة
“Hukum-hukum yang disyari’atkan untuk keringanan bagi
mukallaf dalam keadaan tertentu.”
Adapun contonya yaitu :
a. Rukhshah untuk melakukan perbuatan yang
menurut ketentuan syari’at yang umum diharamkan, karena darurat atau kebutuhan.
Contohnya, boleh memakan daging babi jika keadaan darurat, diman tidak
terdapat makanan selain itu yang jika tidak dimakan maka jiwa seseorang akan
terancam. Berdasarkan firman Allah :[26]
وقد فصّا ل لكم ما حرمعليكمالا مااضطر رتماليه....
Artinya:…”padahal
sesungguhnya Allah yelah menjlaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,
kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” (QS. Al-An’am:119)
b. Rukhshah untuk meninggalkan yang menurut
aturan syri’at yang umum diwajibkan, karena kesulitan melaksanakannya. Contohnya, barang siapa dalam keadaan sakit atau berpergian pada bulan ramadhan,
maka ia diperbolehkan untuk buka puasa. Sebagaimana firman Allah :[27]
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلى شَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
Artinya: “…Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka puasa), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…” (QS. Al- Baqarah: 184)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan yang telah dijelaskan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa :
Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah
sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Adapun yang menjadi bagian dari hukum
wadh’i ada 5 yaitu, sebab, syarat, mani’, Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad,
‘Azimah dan rukhsah.
a. Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas
musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab, dengan ketiadaannya.
Contoh: perbuatan zina menyebabkan
seseorang dikenai hukuman dera 100 kali
b. Syarat ialah sesuatu yang berada di luar
hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya
c.
Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya
menjadi ketiadaan hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.
d.
As-shihah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’,
apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil
memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu, sedangkan bathl berarti
rusak dan gugur hukumnya dan fasad yaitu perubahan sesuatu dari keadaan
yang semestinya (sehat)
e.
‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada
seluruh hambanya sejak semula, sedagkan rukhsah yaitu keringanan melakukan
sesuatu dlam keadaan tertentu.
Jadi jelaslah bahwa kita harus mengetahui dalil hukum yang harus
kita lakukan dan menjadi pedoman dalam melakukan sesuatu agar tidak menyalhi
aturan yang sudah ditetapkan oleh syara’.
DAFTAR PUSTAKA
A Syafe’i
Karim, 1997, Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia
Nasrun Haroen, 1996, Ushul Fiqih I, Jakarta: Pustaka Setia
Wahhab Kallaf, Abdul,1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina
Utama
Rachmat Syafe’i, 2010, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka
Setia
Abd. Rahman Dahlan, 2011, Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH
[1] A. Syafi’i Karim, FIQIH USHUL FIQIH, Cet.I, (Bandung:Pustaka
Setia, 1997) hlm. 107
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka Setia,
2010) hlm. 312
[3] A. Syafi’i Karim, FIQIH USHUL FIQIH, Cet.I, (Bandung:Pustaka
Setia, 1997) hlm. 107
[4] Ibid, hlm.108
[5] Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010) hlm. 313
[6] Dikutip oleh Abd. Rahman Dahlan dari kitab al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam juz III, Al-Amidi, hlm.89
[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu USHUL FIQIH, Terj. Moh. Zuhri, cet.
I, (Semarang: Dina Utama, 1994) hlm. 171
[8] Nasrun Haroen, USHUL FIQH 1, Cet.I, (Jakarta: Logos,1996),
hlm.260
[9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu USHUL FIQIH, Terj. Moh. Zuhri, cet.
I, (Semarang: Dina Utama, 1994) hlm. 171
[10] Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010) hlm. 313
[11] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu USHUL FIQIH, Terj. Moh. Zuhri, cet.
I, (Semarang: Dina Utama, 1994) hlm. 173
[12] Ibid, hlm. 173
[13] Dikutip oleh Abd. Rahman Dahlan dari kitab Ushul al-Fiqh, Muh.
Abu Zahrah, hlm.56
[14] Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010) hlm. 314
[15] Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, Cet.II, (Jakarta: Amzah, 2011)
hlm.74
[16] Ibid, hlm.74
[17] Nasrun Harun, USHUL FIQH 1, Cet.I, (Jakarta:Logos, 1996),
hlm.269
[18] Ibid, hlm.270
[19] Ibid, hlm.271
[20] Dikutip oleh Nasrun Haroen dari kitab al Makhal al-Fiqhi al-‘Am jilid
I, Mushthafa Ahmad al-Zarqa, hlm.687
[21] Nasrun Haroen, USHUL FIQH 1, Cet.I, (Jakarta:Logos, 1996),
hlm.273
[22] Ibid, hlm.273
[23] Ibid, hlm.273
[24] Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010) hlm. 315
[25] Nasrun Haroen, USHUL FIQH, Cet.I, (Jakarta: Logos, 1996)
hlm.276
[26] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu USHUL FIQIH, Terj. Moh. Zuhri, cet.
I, (Semarang: Dina Utama, 1994) hlm. 176
[27] Ibid, hlm.177
terimah kasih atas penjelasannya saya udah puas
BalasHapusterimahkasih infonya
BalasHapusmakasih infonya cukup jelas
BalasHapusmakasih atas infonya
BalasHapusmakasih infonya
BalasHapusterimahkasih infonya udah tambah ilmu baru
BalasHapusmantap,, terima kasih makalahnya bos
BalasHapussangat membantu, izin berbagi ilmu dengan kawan2 lainnya, terimakasi.
BalasHapus