KATA PENGANTAR
الّسَّلاَمُ
عَلَيكُم وَرَحمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ
Alhamdulillah segala
puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan dan
melimpahkan rahmat, hidayat dan inayahnya kepada penulis sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.
Mengingat kurangnya
kemampuan dan keterbatasan penulis dalam menyelesaikan makalah ini, penulis
meyakini bahwa tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan
dari berbagai pihak. Atas bimbingan dan bantuan tersebut tiada yang dapat
penulis ucapan salain ucapan terima kasih, kepada:
1. Allah
SWT yang telah memberikan nikmat, sehat dan segala barokahnya.
2. Dosen
pembimbing, Moh. Asif.M.Ud
3. Seluruh
pihak yang membantu yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Demikian penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu
penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat bagi
kita semua. Semoga makalah ini dapat kita ambil
manfaatnya bersama, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.
وَالسَّلاَمُ
عَلَيكُم وَرَحمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 3
A.
Latar belakang........................................................................................................... 3
B.
Tujuan Masalah ......................................................................................................... 3
C.
Rumusan Masalah...................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 3
PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KWANTITAS
RAWI.................................. 4
1. Hadits Mutawatir............................................................................................................... 4
a.
Pengertian Hadits Mutawatir........................................................................................ 4
b.
Syarat-syarat Hadits Mutawatir.................................................................................... 4
c.
Macam-macam Hadits Mutawatir................................................................................. 5
d.
Kriteria Hadits Mutawatir............................................................................................ 5
e.
Kehujjahan Hadits Mutawatir....................................................................................... 6
2. Hadits Ahad...................................................................................................................... 6
a.
Pengertian Hadits Ahad................................................................................................ 6
b.
Macam-macam Hadits Ahad........................................................................................ 7
c.
Kehujjahan Hadits Ahad............................................................................................... 8
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 9
Kesimpulan................................................................................................................ 9
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................... 10
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits mutawatir
merupakan hadits sahih yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut
logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat berdusta. Hadits ini
diriwayatkan oleh banyak periwayat pada awal, tengah, sampai akhir sanad dengan
jumlah tertentu. Hadits Ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu
orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur
atau mutawatir. Dari segi isinya hadits ahad berstatus zhanni
bukan qath’i. Kedua hal inilah yang membedakan hadits ahad dan
hadits mutawatir.
Hadits Nabi dilihat dari segi kuantitas sanad dapat
diklasifikasi menjadi hadits mutawatir dan ahad. Kajian tentang
hadits mutawatir dan syarat-syaratnya banyak dibahas oleh ahli Ushul
Fiqih dari pada ahli hadits, karena bukan bagian dari pengkajian ilmu sanad
yang menjelaskan tentang sahih tidaknya suatu hadits. Hadits mutawatir
dan hadits ahad mengkaji tentang definisi, syarat-syarat, macam-macam,
kriteria, dan , kehujjahannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
definisi hadits mutawatir dan hadits ahad?
2. Apa
syarat-syarat hadits mutawatir?
3. Apa
macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad?
4. Apa
kriteria hadits mutawatir dan hadits ahad?
5. Apa
kedudukan berhujjah hadits mutawatir dan hadits ahad?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui definisi hadits mutawatir dan hadits ahad
2. Untuk
mengetahui syarat-syarat hadits mutawatir
3. Untuk
mengetahui macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad
4. Untuk
mengetahui kriteria hadits mutawatir dan hadits ahad
5. Untuk
mengetahui kedudukan berhujjah hadits mutawatir dan hadits ahad
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAGIAN HADITS
BERDASARKAN KWANTITAS RAWI
A. Hadits Mutawatir
1. Pengertian
Hadits Mutawatir
Mutawatir secara bahasa,
merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang bermakna al-tatabu
(berturut-turut).
Mutawatir secara istilah adalah
hadits yang diriwayatkan banyak rowi minimal sepuluh, diawal sampai
akhir sanad dan menurut adat mereka mustahil berbohong, bisa mendapatkannya
melalui dengan panca indra.[1]
2. Syarat
Hadits Mutawatir
a. Diriwayatkan
oleh banyak rowi, minimal sepuluh menurut qoul yang dipilih.
b. Rowi
banyak ditemukan mulai awal sampai akhir sanad.
c. Menurut
adat mustahil berbohong.
d. Sandaran
hadits menggunakan panca indra.[2]
3. Macam-macam
Hadits Mutawatir
a. Mutawatir Lafdzi.
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak rowi
dari awal sampai akhir sanad dengan memakai redaksi yang sama.
Contoh hadits mutawatir
lafdzi adalah:
مَنْ
كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barang
siapa berdusta atas namaku,maka hendaklah ia menempati tempat duduknya
dineraka”.
b. Mutawatir
Ma’nawi.
Hadits mutawatir dengan makna umum yang sama,
walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain
hadits-hadits yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya
sehingga menyatu kepada makna umum yang sama.
Contoh hadits mutawatir
ma’nawi adalah:
اَحَادِيْثُ
رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِى الدُّعَاءِ.
“Hadits
tentang mengangkat tangan ketika seorang berdo’a”
c. Mutawatir
Amali.
Menyangkut perbuatan
Rasulullah SAW yang disaksikan dan ditiru oleh orang banyak.[3]
4. Kriteria
Hadits Mutawatir
Adapun kriteria yang harus ada dalam hadits mutawatir
adalah sebagai berikut:
a. Diriwayatkan
Oleh Sejumlah Besar Perawi
Secara umum sejumlah besar periwayat tersebut bisa
memberikan suatu keyakinan yang mantap bahwa mereka tidak mungkin bersepakat
untuk berdusta, tanpa melihat berapa jumlah besar perawinya. Dalam menanggapi
masalah nominalisasi jumlah besar perawi dalam hadits mutawatir, para
ahli berbeda-beda pendangan, diantaranya:
Ø Al-Qadly
al-Baqilaniy berpendapat bahwa jumlah nominal perawi hadits mutawatir
adalah 5 orang.
Ø Al-Isthakhariy
berpendapat minimal 10 orang, sebab jumlah ini merupakan awal dari bilangan
banyak.
Ø Sebagian
ulama’ berpendapat minimal 12 orang, dan ada juga yang mengatakan 20 orang.
Ø Sebagian
lagi mengatakan minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah dan dan sabda
Rasulnya.
b. Adanya
kesinambungan antara para perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan
thabaqat (generasi) berikutnya.
Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan
berikutnya harus seimbang, jika generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada
generasi berikutnya juga harus 20 orang.
c. Berdasarkan
Tanggapan Panca Indra
Maksudnya hadits yang sudah mereka sampaikan itu
harus benar hasil dari pendengaran atau penglihatan mereka sendiri. Karena jika
dihasilkan dari pemkiran atau hayalan dan renungan atau rangkuman dari suatu
peristiwa lain atau hasil istinbath dari dalil lain, maka tidak dapat dikatakan
mutawatir.[4]
5. Kehujjahan
Hadits Mutawarir
Menurut Muhammad Al-Shabbagh, harus bersifat dharuri
yang diperoleh dari pengamatan panca Indra. Hal ini dimaksudkan agar berita
yang disampaikan didasarkan pada ilmu yang pasti bukan berdasar prasangka dan
bersifat apoligis dan apriori. Dengan harapan, sebagaimana
dinyatakan oleh Ibn Hajar Al-Asqalani, berita yang disampaikan oleh para
periwayat hadits itu dapat melahirkan keyakinan pada diri orang-orang yang
mendengarnya tentang kebenaran isi berita tersebut.
Muhammad Al-Thahhan mengatakan bahwa hadits mutawatir
bersifat dharuri, yaitu ilmu yang meyakinkan yang mengharuskan manusia
mempercayai dan membenarkannya secara pasti seperti orang menyaksikannya
sendiri, tanpa disertai dengan keraguan sedikitpun.[5]
B. Hadits
Ahad
1. Pengertian
Hadits Ahad
Ahad dalam bahasa arab
berasal dari kata dasar ahad artinya satu jadi khabar wahid. Sedangkan
menurut istilah hadits yang tidak sesuai dengan syarat mutawatir.[6]
2. Macam-macam
Hadits Ahad
a. Hadits
Mashur
Menurut bahasa masyhur berarti sesuatu yang
sudah tersebar dan popular (terkenal).[7]
Sedangkan menurut istilah masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh
minima 3 perawi baik pada salah satu tingkatan atau semua tingkatan sanad.[8]
Contoh
hadits masyhur adalah:
قَالَ
رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّمَا الاَعْمَال بِالنِّيَّات
وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِى مَا نَوَى
“Rasulullah
SAW bersabda sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu dengan niat dan bagi
tiap-tiap orang mendapatkan apa-apa yang telah ia niati”
b. Hadits
Aziz
Kata aziz dalam bahasa arab berasal dari kata
‘azza ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang dan kata ‘azza ya’azzu
yang berarti kuat dan sangat.[9]
Menurut istilah hadits aziz ialah hadits yang diriwayatkan minimal 2
orang rowi, baik pada semua tingkatan sanad atau sebagian
tingkatan.[10]
Contoh hadits aziz
ialah:
قَالَ
رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى اَكُوْنُ اَحَبَّ
اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَوَالَدِهِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ.
“Rasulullah
SAW bersabda tidak sempurna iman salah satu diantara kamu sekalian sampai aku
lebih dicintainya dari pada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya,
anak-anaknya dan semua manusia”.
c. Hadits
Gharib
Secara etimologi berarti al-munfarid (menyendiri).
Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang
perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya
maupun selainnya.[11]
Secara terminology ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi,
tidak ada orang lain yang menceritakan selain dia.[12]
Contoh hadits gharib
adalah:
اِنَّمَا
الْاَعْمَالُ بِاالنِّيَاتِ.
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung
pada niat”. (HR. Bukhari-Muslim).
Hadits gharib
ditinjau dari tempat gharib ada dua, yaitu:
i.
Gharib
Mutlak
Hadits yang kegharibannya terletak pada awal/akhir sanad.
Maksudnya, hadits pada saat disampaikan oleh Rasulullah SAW hanya diterima oleh
satu orang (sahabat).
Contoh hadits gharib
mutlak adalah:
قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ الاِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ
شُعْبَةٌ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْاِيْمَانِ.
“Rasulullah
SAW bersabda bahwa iman itu bercabang-cabang menjadi 37 cabang, sedangkan malu
termasuk salah satu cabang dari iman”.
ii. Gharib Nisbi
Apabila kegharibannya terjadi pada pertengahan
sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya, satu hadits yang diriwayatkan oleh
lebih dari satu orang perawi pada awal sanadnya kemudian dari semua perawi itu,
hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari pada
perawi tersebut.[13]
Contoh hadits gharib nisbi adalah:
كَانَ
يَقْرَأُ فِى الاَضْحَى وَالفِطْرِى بِقَ وَالقُرْاَّنِ الْمَجِيْد وَاقْتَرَبَتِ
السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَر.
“Rasulullah
SAW pada hari raya kurban dan fitrah, membaca surat qaf dan surat al-qamar”.
3. Kehujjahan
Hadits Ahad
Jumhur ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in,
serta para ulama sesudah mereka dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli
usul, berpendapat bahwa hadits ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah
yang wajib diamalkan. Dasar argumentasi kewajiban beramal dengan hadits ahad
itu adalah kewajiban syar’i bukan kewajiban aqli.
Dikemukakan pula oleh Muslim Ibn al-Hajjaj bahwa
beramal dengan hadits ahad yang memenuhi persyaratan maqbul
(dapat diterima) hukumnya wajib. Bahkan menurut sebagian ahli hadits, hadits
ahad yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Sahih Muslim menunjukkan
pada ilmu yakin, yang berfaedah qath’i sebagaimana hadits mutawatir.[14]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hadits Mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan banyak rowi minimal sepuluh, diawal sampai akhir sanad dan menurut
adat mereka mustahil berbohong, bias mendapatkannya melalui dengan panca indra.
Syarat hadits mutawatir ialah diriwayatkan oleh banyak rowi, minimal
sepuluh menurut qoul yang dipilih, rowi banyak ditemukan mulai awal sampai
akhir sanad, menurut adat mustahil berbohong, sandaran hadits menggunakan panca
indra. Macam-macam hadits mutawatir ialah mutawatir lafdzi, mutawatir
ma’nawi, dan mutawatir Amali. Kriteria hadits mutawatir ialah
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, adanya kesinambungan antara para
perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan thabaqat
(generasi) berikutnya, berdasarkan tanggapan panca indra. Hadits ahad
adalah hadits yang tidak sesuai dengan syarat mutawatir ialah hadits
ahad, hadits mashur, hadits aziz,
hadits
gharib.
DAFTAR PUSTAKA
Almaliki,
Manhalul Latif fi Ushuli Hadits as-Syarif. Indonesia: Darul hikmah
al-islamiyah.,
Thohhan Muhammad, Taisiru Mustalah
al-Hadits. Surabaya: Tokoh kitab hidayah, 1985.
Sulaiman
Muhammad Noor, Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada, 2008.
Zein
Muhammad Ma’sum, Ulumul Hadits dan Mustholah Hadits. Bareng: Darul
Hikmah, 2008.
Idri, Studi Hadits. (Jakarta: kencana
prenada media group, 2010.
[1] Assayyidu Muhammad bin Alwi, Manhalul
Latif fi Ushuli Hadits as-Syarif, (Indonesia: Darul hikmah al-islamiyah), Hlm:
19
[2] Mahmud Thohhan, Taisiru
Mustalah al-Hadits, (Surabaya: Tokoh kitab hidayah, 1985), Hlm: 73
[3] Muhammad Noor Sulaiman, Antologi
Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada, 2008), hlm: 88
[4] Muhammad Ma’sum Zein, Ulumul
Hadits dan Mustholah Hadits, (Bareng: Darul Hikmah, 2008), hlm: 172
[5] Idri, Studi Hadits,
(Jakarta: kencana prenada media group, 2010), hal: 139
[6] Muhammad Ma’sum Zein, Ulumul
Hadits dan Mustholah Hadits, (Bareng: Darul Hikmah, 2008), hlm: 177
[7] Muhammad Noor Sulaiman, Antologi
Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada, 2008), hlm: 90
[8] Muhammad Ma’sum Zein, Ulumul
Hadits dan Mustholah Hadits, (Bareng: Darul Hikmah, 2008), hlm: 177
[9] Idri, Studi Hadits,
(Jakarta: kencana prenada media group, 2010), hal: 147
[10] Muhammad Noor Sulaiman, Antologi
Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada, 2008), hlm:
[11] Muhammad Ma’sum Zein, Ulumul
Hadits dan Mustholah Hadits, (Bareng: Darul Hikmah, 2008), hlm: 94
[12] Idri, Studi Hadits, (Jakarta: kencana
prenada media group, 2010), hal: 149
[14] Ibid, hlm: 153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar anda di sini