Kamis, 01 Mei 2014

PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KWANTITAS RAWI


KATA PENGANTAR

الّسَّلاَمُ عَلَيكُم وَرَحمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ

Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan dan melimpahkan rahmat, hidayat dan inayahnya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.

Mengingat kurangnya kemampuan dan keterbatasan penulis dalam menyelesaikan makalah ini, penulis meyakini bahwa tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Atas bimbingan dan bantuan tersebut tiada yang dapat penulis ucapan salain ucapan terima kasih, kepada:

1.      Allah SWT yang telah memberikan nikmat, sehat dan segala barokahnya.
2.      Dosen pembimbing, Moh. Asif.M.Ud
3.      Seluruh pihak yang membantu yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Demikian penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat bagi kita semua. Semoga makalah ini dapat kita ambil manfaatnya bersama, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.

وَالسَّلاَمُ عَلَيكُم وَرَحمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 3
A. Latar belakang........................................................................................................... 3
B. Tujuan Masalah ......................................................................................................... 3
C. Rumusan Masalah...................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 3
PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KWANTITAS RAWI.................................. 4
1. Hadits Mutawatir............................................................................................................... 4
a. Pengertian Hadits Mutawatir........................................................................................ 4
b. Syarat-syarat Hadits Mutawatir.................................................................................... 4
c. Macam-macam Hadits Mutawatir................................................................................. 5
d. Kriteria Hadits Mutawatir............................................................................................ 5
e. Kehujjahan Hadits Mutawatir....................................................................................... 6
2. Hadits Ahad...................................................................................................................... 6
a. Pengertian Hadits Ahad................................................................................................ 6
b. Macam-macam Hadits Ahad........................................................................................ 7
c. Kehujjahan Hadits Ahad............................................................................................... 8
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 9
Kesimpulan................................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Hadits mutawatir merupakan hadits sahih yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat berdusta. Hadits ini diriwayatkan oleh banyak periwayat pada awal, tengah, sampai akhir sanad dengan jumlah tertentu. Hadits Ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur atau mutawatir. Dari segi isinya hadits ahad berstatus zhanni bukan qath’i. Kedua hal inilah yang membedakan hadits ahad dan hadits mutawatir.
Hadits Nabi dilihat dari segi kuantitas sanad dapat diklasifikasi menjadi hadits mutawatir dan ahad. Kajian tentang hadits mutawatir dan syarat-syaratnya banyak dibahas oleh ahli Ushul Fiqih dari pada ahli hadits, karena bukan bagian dari pengkajian ilmu sanad yang menjelaskan tentang sahih tidaknya suatu hadits. Hadits mutawatir dan hadits ahad mengkaji tentang definisi, syarat-syarat, macam-macam, kriteria, dan , kehujjahannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi hadits mutawatir dan hadits ahad?
2.      Apa syarat-syarat hadits mutawatir?
3.      Apa macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad?
4.      Apa kriteria hadits mutawatir dan hadits ahad?
5.      Apa kedudukan berhujjah hadits mutawatir dan hadits ahad?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui definisi hadits mutawatir dan hadits ahad
2.      Untuk mengetahui syarat-syarat hadits mutawatir
3.      Untuk mengetahui macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad
4.      Untuk mengetahui kriteria hadits mutawatir dan hadits ahad
5.      Untuk mengetahui kedudukan berhujjah hadits mutawatir dan hadits ahad

BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KWANTITAS RAWI

A.    Hadits Mutawatir
1.      Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir secara bahasa, merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang bermakna al-tatabu (berturut-turut).
Mutawatir secara istilah adalah hadits yang diriwayatkan banyak rowi minimal sepuluh, diawal sampai akhir sanad dan menurut adat mereka mustahil berbohong, bisa mendapatkannya melalui dengan panca indra.[1]

2.      Syarat Hadits Mutawatir
a.       Diriwayatkan oleh banyak rowi, minimal sepuluh menurut qoul yang dipilih.
b.      Rowi banyak ditemukan mulai awal sampai akhir sanad.
c.       Menurut adat mustahil berbohong.
d.      Sandaran hadits menggunakan panca indra.[2]

3.      Macam-macam Hadits Mutawatir
a.       Mutawatir Lafdzi.
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak rowi dari awal sampai akhir sanad dengan memakai redaksi yang sama.
Contoh hadits mutawatir lafdzi adalah:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barang siapa berdusta atas namaku,maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dineraka”.
b.      Mutawatir Ma’nawi.
Hadits mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain hadits-hadits yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya sehingga menyatu kepada makna umum yang sama.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah:
اَحَادِيْثُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِى الدُّعَاءِ.
            “Hadits tentang mengangkat tangan ketika seorang berdo’a”  
c.       Mutawatir Amali.
Menyangkut perbuatan Rasulullah SAW yang disaksikan dan ditiru oleh orang banyak.[3]

4.      Kriteria Hadits Mutawatir
   Adapun kriteria yang harus ada dalam hadits mutawatir adalah sebagai berikut:
a.       Diriwayatkan Oleh Sejumlah Besar Perawi
Secara umum sejumlah besar periwayat tersebut bisa memberikan suatu keyakinan yang mantap bahwa mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, tanpa melihat berapa jumlah besar perawinya. Dalam menanggapi masalah nominalisasi jumlah besar perawi dalam hadits mutawatir, para ahli berbeda-beda pendangan, diantaranya:
Ø  Al-Qadly al-Baqilaniy berpendapat bahwa jumlah nominal perawi hadits mutawatir adalah 5 orang.
Ø  Al-Isthakhariy berpendapat minimal 10 orang, sebab jumlah ini merupakan awal dari bilangan banyak.
Ø  Sebagian ulama’ berpendapat minimal 12 orang, dan ada juga yang mengatakan 20 orang.
Ø  Sebagian lagi mengatakan minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah dan dan sabda Rasulnya.
b.      Adanya kesinambungan antara para perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan thabaqat (generasi) berikutnya.
Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus seimbang, jika generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya juga  harus 20 orang.
c.       Berdasarkan Tanggapan Panca Indra
Maksudnya hadits yang sudah mereka sampaikan itu harus benar hasil dari pendengaran atau penglihatan mereka sendiri. Karena jika dihasilkan dari pemkiran atau hayalan dan renungan atau rangkuman dari suatu peristiwa lain atau hasil istinbath dari dalil lain, maka tidak dapat dikatakan mutawatir.[4]

5.      Kehujjahan Hadits Mutawarir
Menurut Muhammad Al-Shabbagh, harus bersifat dharuri yang diperoleh dari pengamatan panca Indra. Hal ini dimaksudkan agar berita yang disampaikan didasarkan pada ilmu yang pasti bukan berdasar prasangka dan bersifat apoligis dan apriori. Dengan harapan, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Hajar Al-Asqalani, berita yang disampaikan oleh para periwayat hadits itu dapat melahirkan keyakinan pada diri orang-orang yang mendengarnya tentang kebenaran isi berita tersebut.
Muhammad Al-Thahhan mengatakan bahwa hadits mutawatir bersifat dharuri, yaitu ilmu yang meyakinkan yang mengharuskan manusia mempercayai dan membenarkannya secara pasti seperti orang menyaksikannya sendiri, tanpa disertai dengan keraguan sedikitpun.[5]

B.     Hadits Ahad
1.      Pengertian Hadits Ahad
Ahad dalam bahasa arab berasal dari kata dasar ahad artinya satu jadi khabar wahid. Sedangkan menurut istilah hadits yang tidak sesuai dengan syarat mutawatir.[6]

2.      Macam-macam Hadits Ahad
a.       Hadits Mashur
Menurut bahasa masyhur berarti sesuatu yang sudah tersebar dan popular (terkenal).[7] Sedangkan menurut istilah masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh minima 3 perawi baik pada salah satu tingkatan atau semua tingkatan sanad.[8]
            Contoh hadits masyhur adalah:
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّمَا الاَعْمَال بِالنِّيَّات وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِى مَا نَوَى
“Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu dengan niat dan bagi tiap-tiap orang mendapatkan apa-apa yang telah ia niati”
b.      Hadits Aziz
Kata aziz dalam bahasa arab berasal dari kata ‘azza ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang dan kata ‘azza ya’azzu yang berarti kuat dan sangat.[9] Menurut istilah hadits aziz ialah hadits yang diriwayatkan minimal 2 orang rowi, baik pada semua tingkatan sanad atau sebagian tingkatan.[10]
Contoh hadits aziz ialah:
قَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى اَكُوْنُ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَوَالَدِهِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ.
“Rasulullah SAW bersabda tidak sempurna iman salah satu diantara kamu sekalian sampai aku lebih dicintainya dari pada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan semua manusia”.
c.       Hadits Gharib
Secara etimologi berarti al-munfarid (menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya.[11] Secara terminology ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi, tidak ada orang lain yang menceritakan selain dia.[12]
Contoh hadits gharib adalah:
اِنَّمَا الْاَعْمَالُ بِاالنِّيَاتِ.
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat”. (HR. Bukhari-Muslim).
Hadits gharib ditinjau dari tempat gharib ada dua, yaitu:
i.        Gharib Mutlak
Hadits yang kegharibannya terletak pada awal/akhir sanad. Maksudnya, hadits pada saat disampaikan oleh Rasulullah SAW hanya diterima oleh satu orang (sahabat).
Contoh hadits gharib mutlak adalah:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ الاِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةٌ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْاِيْمَانِ.
“Rasulullah SAW bersabda bahwa iman itu bercabang-cabang menjadi 37 cabang, sedangkan malu termasuk salah satu cabang dari iman”.
ii.      Gharib Nisbi
Apabila kegharibannya terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya, satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada awal sanadnya kemudian dari semua perawi itu, hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari pada perawi tersebut.[13]
Contoh hadits gharib nisbi adalah:
كَانَ يَقْرَأُ فِى الاَضْحَى وَالفِطْرِى بِقَ وَالقُرْاَّنِ الْمَجِيْد وَاقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَر.
“Rasulullah SAW pada hari raya kurban dan fitrah, membaca surat qaf dan surat al-qamar”.

3.      Kehujjahan Hadits Ahad
Jumhur ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in, serta para ulama sesudah mereka dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli usul, berpendapat bahwa hadits ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah yang wajib diamalkan. Dasar argumentasi kewajiban beramal dengan hadits ahad itu adalah kewajiban syar’i bukan kewajiban aqli.
Dikemukakan pula oleh Muslim Ibn al-Hajjaj bahwa beramal dengan hadits ahad yang memenuhi persyaratan maqbul (dapat diterima) hukumnya wajib. Bahkan menurut sebagian ahli hadits, hadits ahad yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Sahih Muslim menunjukkan pada ilmu yakin, yang berfaedah qath’i sebagaimana hadits mutawatir.[14]



BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan banyak rowi minimal sepuluh, diawal sampai akhir sanad dan menurut adat mereka mustahil berbohong, bias mendapatkannya melalui dengan panca indra. Syarat hadits mutawatir ialah diriwayatkan oleh banyak rowi, minimal sepuluh menurut qoul yang dipilih, rowi banyak ditemukan mulai awal sampai akhir sanad, menurut adat mustahil berbohong, sandaran hadits menggunakan panca indra. Macam-macam hadits mutawatir ialah mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, dan mutawatir Amali. Kriteria hadits mutawatir ialah diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, adanya kesinambungan antara para perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan thabaqat (generasi) berikutnya, berdasarkan tanggapan panca indra. Hadits ahad adalah hadits yang tidak sesuai dengan syarat mutawatir ialah hadits ahad, hadits mashur, hadits aziz, hadits gharib.


DAFTAR PUSTAKA

Almaliki, Manhalul Latif fi Ushuli Hadits as-Syarif. Indonesia: Darul hikmah al-islamiyah.,
Thohhan Muhammad, Taisiru Mustalah al-Hadits. Surabaya: Tokoh kitab hidayah, 1985.
Sulaiman Muhammad Noor, Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada, 2008.
Zein Muhammad Ma’sum, Ulumul Hadits dan Mustholah Hadits. Bareng: Darul Hikmah, 2008.
 Idri, Studi Hadits. (Jakarta: kencana prenada media group, 2010.





[1] Assayyidu Muhammad bin Alwi, Manhalul Latif fi Ushuli Hadits as-Syarif, (Indonesia: Darul hikmah al-islamiyah), Hlm: 19
[2] Mahmud Thohhan, Taisiru Mustalah al-Hadits, (Surabaya: Tokoh kitab hidayah, 1985), Hlm: 73
[3] Muhammad Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada, 2008), hlm: 88
[4] Muhammad Ma’sum Zein, Ulumul Hadits dan Mustholah Hadits, (Bareng: Darul Hikmah, 2008), hlm: 172
[5] Idri, Studi Hadits, (Jakarta: kencana prenada media group, 2010), hal: 139
[6] Muhammad Ma’sum Zein, Ulumul Hadits dan Mustholah Hadits, (Bareng: Darul Hikmah, 2008), hlm: 177
[7] Muhammad Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada, 2008), hlm: 90
[8] Muhammad Ma’sum Zein, Ulumul Hadits dan Mustholah Hadits, (Bareng: Darul Hikmah, 2008), hlm: 177
[9] Idri, Studi Hadits, (Jakarta: kencana prenada media group, 2010), hal: 147
[10] Muhammad Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada, 2008), hlm:
[11] Muhammad Ma’sum Zein, Ulumul Hadits dan Mustholah Hadits, (Bareng: Darul Hikmah, 2008), hlm: 94
[12]  Idri, Studi Hadits, (Jakarta: kencana prenada media group, 2010), hal: 149
[13]Ibid, hlm: 150
[14] Ibid, hlm: 153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini