PENDAHULUAN
Problematika
teologis di kalangan umat Islam muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin
Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung
Ali yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap Ali yang
menerima Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah
bin abi Sofyan pada waktu perang Shiffin. Kelompok ini selanjutnya dikenal
dengan Kelompok Khawarij. Lahirnya Kelompok Khawarij ini menjadi dasar
kemunculan kelompok baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. Lahirnya
Aliran teologi ini mengawali kemunculan berbagai Aliran-Aliran teologi di dunia
islam
Pada
masa-masa selanjutnya wilayah Islam telah berkembang ke timur dan kebarat.
Meluasnya wilayah Islam mempunyai akibat yang berarti bagi perkembangan
pemikiran umat Islam. Umat Islam mulai bersentuhan dengan keyakinan-keyakinan
dan pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran lain, terutama dengan filsafat
Yunani. Prinsip-prinsip dasar dari pemikira Yunanilah yang mempengaruhi corak
pemikiran rasional di kalangan umat islam. Di samping itu dikalangan umat islam
itu sendiri, terutama masyarakat Arab lebih cendrung memakai cara-cara
tradisional dari segi pemikiran.
Dengan
demikian, disamping corak pemikiran tradisional, corak pemikiran rasional dan
liberal juga telah berkembang di dunia Islam. Kedua bentuk pemikiran itu
dikenal dengan paham Jabariayah dan paham Qadariah.
Perbedaan
nyata antara bentuk paham Jabariyah dan paham Qadariah terlihat nyata ketika
menjawab pertanyaan: sampai dimanakah manusia bergantung pada kehendak mutlak
Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Atau manusia terikat seluruhnya
dengan kehendak mutlak Tuhan?.
JABARIYAH
DAN QADARIYAH
A.
Aliran Jabariayah
1.
Sejarah munculnya Aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung arti “memaksa” atau جَبَرٌ yang mengandung arti “terpaksa”.[1]
Dikatakan demikian, karena segala sesuatu yang terjadi bukanlah atas kehendak
manusia itu sendiri, akan tetapi perbuatan itu terjadi atau terlaksana adalah atas
kekuasaan Allah semata. Seumpama terbit dan terbenamnya matahari, pahala dan
siksa. Dalam hal ini manusia bagaikan kapas, kemana angin bertiup kesanalah
kapas pergi. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa Allah akan memperbuat
sesuatu adalah atas kehendak, karena kekuasaan dan kemutlakan-NYA dalam
berbuat.[2]
Pola pikir Jabariyah kelihatannya
sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam, mereka kelihatannya lebih dipengaruhi
oleh paham fatalis[3].
Bangsa Arab pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan,
terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir yang tandus dan
gersang. Mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling
mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dan tak
kuasa menghadapi berbagai kekerasan dan kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh
suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka banyak bergantung
pada kehendak alam.[4
Pada masa Nabi, benih-benih paham
Jabariyah itu sudah ada perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah
qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah SAW, menyuruh umat
Islam beriman kepada taqdir, tetapi beliau mencegah mereka membicarakannya
secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa’ al-Rasyidin) kelihatannya sudah
ada orang yang berpikir Jabariyah.[5]
Diceritakan dalam suatu riwayat yang masyhur bahwa Khalifah Umar bin Khattab
pernah bertanya kepada seorang pencuri yang dihadapkan kepadanya: “Mengapa kamu
mencuri?” Lalu ia menjawab:”Allah telah menetapkan perbuatan tersebut atas saya
sejak azali”. Riwayat ini menunjukkan bahwa masalah qadha dan qadar
merupakan masalah yang pertama dipersoalkan Khalifah Umar bin Khattab menghukum
pencuri itu karena menafsirkan perbuatannya itu dengan pemahaman yang salah,
sehingga dia berani menisbahkan kepada Allah perbuatan mencuri yang dilakukan.[6]
Pada masa pemerintahan bani Umayah,
pandangan tentang Jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas
dengan suratnya, memberi reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga
berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan oleh Hasan Basri kepada penduduk
Basrah. Ini menunjukkan bahwa sebagai suatu pola pikir (Mazhab) yang dianut,
dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah.[7]
Paham Jabariyah pertama kali
dikembangkan oleh al-Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Safwam yang menyebarkannya
sehingga memperoleh pengikut yang banyak. Adapun ajaran Jabariyah ini juga
dikenal dengan mazhab Jahamiyah, paham ini jelas didasarkan pada kuasa Allah
yang mutlak meliputi segala sesuatu.[8]
Di samping dua tokoh utama ini, ada lagi tokoh lain yang cukup dikenal dari
kalangan Jabariyah yaitu al-Husein bin Mahmun al-Najjar dan Dhirar bin Amr yang
menganut paham Jabariyah moderat, sedangkan al-Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin
Safwam menganut paham Jabariyah ekstrem.[9]
2.
Pemikiran dan Ajaran Aliran Jabariyah
a.
Pemikiran Aliran Jabariyah
Jabariyah menganut paham bahwa hidup
manusia itu sudah ditentukan oleh Allah. Segala gerak-geriknya ditentukan oleh
Allah, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak
mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan adalah dipaksa dengan tidak ada
kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya perbuatan-perbuatan diciptakan tuhan
dalam dirinya.[10]
Paham Jabariyah dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Jabariyah
ekstrim dan Jabariyah moderat.
a1. Jabariyah ekstrim
Golongan ini memahami manusia tidak
mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya,
tetapi terikat kepada kehendak mutlak Tuhan. Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan
di dalam diri manusia, tak obahnya dengan gerakan yang diciptakan dalam
benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti
sebenarnya, melainkan dalam arti majazi atau kiasan, tak obahnya sebagaimana
disebut air mengalir, batu bergerak, matahari terbit, dan sebagainya. Segala
perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, termasuk di
dalam perbuatan-perbuatan seperti mengerjakan kewajiban, menerima pahala, dan
siksa. Singkatnya, manusia tidaklah punya andil dalam perbuatannya. Manusia
tidak obahnya bagaikan wayang yang dikendalikan oleh dalangnya.[11]
2. Jabariyah moderat
Golongan ini memahami bahwa Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik,
tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang
dimaksud dengan kasab (acquisition). Menurut faham kasab, manusia
tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang
dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan.[12]
b.
Ajaran Aliran Jabariyah
Faham Jabariyah ini terpecah menjadi 3 firqah besar yaitu :
Aliran Jahmiyah, yang dipimpin oleh Jaham bin Safwan, Aliran Najjariyah, yang
dipimpin oleh Husein bin Muhammad an Najjar, Aliran Dlirariyah, yang dipimpin
oleh Dlirar bin Umar.[13]
Ketiga firqah ini memiliki ajaran-ajarannya masing.
1. Aliran Jahmiyah
1) Penggunaan Takwil.
Artinya, Allah tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Dan karena itu
ia menakwilkan sifat-sifat Allah yang ada persamaannya dengan sifat-sifat
manusia. Akibatnya dia tidak mengakui Alquran sebagai kalam Allah yang qadim,
karena yang qadim itu hanya Allah saja. Jadi Alquran itu makhluk.
2) Surga dan neraka
tidak kekal. Akan datang suatu masa yang padanya surga dan neraka akan
fana dengan segala isinya dan yang tinggal kekal hanya Allah saja. Selain dari
Allah, semuanya akan binasa. Kata khulud (خلود) yang disebut dalam firman Allah (dalam surat al-Bayyinah/98:6
dan 8) untuk segala isi surga dan neraka ditakwilkan dengan makna “lama
tinggal” (طول المدّة) bukan dengan arti
“selama-lamanya” (دوام).
3) Iman. Menurut
pendapat Jaham bin Safwam, iman itu adalah ma’rifah atau pengakuan hati saja
akan wujud Allah dan kerasulan Nabi Muhammad. Ucapan dengan lisan akan dua
kalimah syahadat dan pengamalan dengan anggota badan akan ajaran Islam seperti
shalat, puasa, dan sebagainya bukan daripada iman
4) Ma’rifah iman itu
wajib berdasarkan akal sebelum turunnya wahyu atau kedatangan Rasul. Pendapat
ini juga terdapat kemudian dalam Mazhab Mu’tazilah. Setiap orang yang membela
kebenaran Islam terhadap kepercayaan yang lain dan juga bagi orang yang
menakwilkan ayat-ayat Alquran, maka wajib atasnya berpegang kepada
kaidah-kaidah akal.[14]
2. Aliran Najjariyah
1) Tuhan menciptakan
segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari.
Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang
yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2) Tuhan tidak dapat
dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja
memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat
Tuhan.[15]
3. Aliran Dhirariyah
1) Manusia tidak hanya
merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam
perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya.
2) Tuhan dapat dilihat
di akhirat melalui indera keenam.
3) Hujjah yang dapat
diterima setelah wafat Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan
sumber dalam menetapkan hukum.[16]
c.
Dasar Al-Qur’an yang sejajar dengan pemahaman aliran jabariyah
a1.Dalam surat al-Saffat ayat
96
“Padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
b1.
Dalam surat al-Insan ayat 30:
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”.
c1.Dalam surat al-An’am ayat 122:
“Dan Apakah orang
yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya
yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap
gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami
jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”
d1.
Dalam surat al-Hadid ayat 22:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi
dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.”
e1.Dalam surat al-Anfal ayat 17:
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu
yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu
yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah
berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.”[17]
B.
Aliran Qadariyah
1.
Sejarah munculnya Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab,
yaitu kata qadara (قدر) yang artinya
kemampuan (استطاع) dan kekuatan (قوي).[18]
Nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kemampuan untuk melakukan kehendaknya, Dalam istilah Inggrisnya, paham ini dikenal
dengan nama free will dan free act (manusia bebas berkeinginan
dan berkehendak).[19]
Golongan Qadariyah pertama kali
muncul kira-kira pada tahun 70 H-689 M di Irak pada masa Khalifah Abdul Malik
bin Marwan yang hidup antara tahun 685–705 M. Kelompok Qadariyah ini dimotori
oleh Ma’bad bin Juhani al-Bisry (w. 699 M) dan Al-Ja’du bin Dirham.[20]
Pada awal munculnya kelompok Qadariyah ini diduga sebagai protes atas
kezaliman politik Bani Umayah. Qadariyah sangat bertolak belakang dengan paham
kelompok Jabariyah. Jabariyah mempunyai kepercayaan bahwa segala sesuatu tentang
manusia sudah terkait dengan ketentuan Allah, sementara Qadariyah mengatakan
bahwa manusia tidak selamanya terkait pada ketentuan Allah semata, tetapi harus
disertai dengan upaya dan usaha untuk menentukan nasibnya. Aliran
Qadariyah termasuk yang cukup cepat berkembang dan mendapat dukungan cukup luas
di kalangan masyarakat. [21]
Ma’bad al-Juhaini menyebarkan
pahamnya di Irak, sedang Ghailan menyebarkannya di Damaskus. Menurut Ibn
Nabatah, Ma’bad maupun temannya Ghailan mengambil paham itu dari seorang
Kristen yang masuk Islam dan murtad kembali. Ma’bad sendiri adalah seorang
tabi’I yang jujur. Akan tetapi, ia memasuki lapangan politik dan memihak kepada
Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as dalam menentang kekuasaan bani Umayah. Dalam
pertempuran dengan Hujjad, Ma’bad mati terbunuh pada tahun 80 H/699 M.
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan terus
menyebarkan pahamnya di Damaskus. Akan tetapi ia mendapat tantangan dari Khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Setelah Umar wafat, Ghailan terus menyebarkan pahamnya,
sehingga akhirnya ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam bin Abdul Malik.[22]
Sejak terbunuhnya tokoh-tokoh
Qadariyah, bukan berarti aliran Qadariyah ikut terkubur bersama tokohnya.
Meskipun dari kalangan minoritas, paham Qadariyah dihidupkan terus oleh
kelompok Mu’tazilah dan dibangkitkan kembali oleh kalangan para pembaru Islam
di zaman modern.
2.
Pemikiran dan Ajaran Aliran Qadariyah
a.
Pemikiran Aliran Qadariyah
Qadariyah juga melahirkan pemikiran
tentang perbuatan manusia. Qadariyah menganut paham kebebasan manusia dalam
berbuat.[23]Aliran
Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat
jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.[24]
Paham ini tampaknya lebih mendorong kemajuan bagi manusia, meningkatkan rasa
tanggung jawab, dan menumbuhkan prasangka baik kepada Tuhan.[25]
Kelompok Qadariyah juga percaya
kepada taqdir. Akan tetapi taqdir bagi mereka bukanlah bermakna “nasib”
melainkan bermakna kemampuan, kekuatan, atau kekuasaan. Faham takdir dalam
pandangan Qadariyah adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam
semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah[26],
yaitu hukum-hukum Tuhan yang diciptakan-NYA, dan hukum-hukum itu berlaku untuk
alam semesta beserta isinya. Alam semesta beserta segala isinya tentulah
berjalan menurut sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah. Sunnatullah
menunjukkan perjalanan sebab akibat. Manusia mampu mengetahui dan membuat
rencana untuk melaksanakan pilihan dalam hidupnya. Bahkan manusia harus mampu
menguak rahasia sunnatullah yang amat banyak dan rumit itu. Apalagi sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Allah sendiri bahwa sunnatullah itu tidaklah akan
pernah berubah.[27]
b. Ajaran Aliran Qadariyah
Di antara cirr-ciri paham Qadariyah
adalah sebagai berikut.
a1.Manusia berkuasa penuh untuk
menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan dan nasib manusia itu
dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa ada campur tangan
Allah SWT.
b1.
Iman adalah ma’rifah serta mengetahui dengan lisan adanya Allah dan Rasul-NYA,
yakni dengan hati dan lisan saja. Sedangkan amalan itu bukan bagian dari iman.
Amalan menduduki tempat kedua setelah iman. Artinya, apabila seseorang yang
telah menyatakan imannya dengan pengakuan hati dan ucapan lisan, maka dia tidak
lagi dituntut sesudahnya untuk beramal.[28]
c1.Orang yang sudah beriman tidak
perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal kebajikan lainnya.[29]
Adapun pokok-pokok ajaran Qadariyah
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman
297/298, adalah sebagai berikut:[30]
a1. Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan
bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
b1. Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia,
melainkan manusia lah yang menciptakannya dan karena itulah maka manusia akan
menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan
buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa karena
itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
c1. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa
atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu,
Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut
mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan melihat
dengan zatnya sendiri.
d1. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan
agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan
baik atau buruk.
c. Dasar Al-Qur’an yang sejajar dengan pemahaman aliran Qadariyah
a1.Dalam surat al-Ra’ad Ayat 11:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat
yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
b1.
Dalam Surat al-Kahfi ayat 29:
“Dan Katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.”
c1.Dalam surat Ali Imran ayat 165:
“Dan mengapa
ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah
menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?"
Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.”
d1.
Dalam surat Fushilat ayat 40:
“{Sesungguhnya orang-orang yang
mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka Apakah
orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang
yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu
kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”[31]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jabariyah adalah paham yang menganut
bahwa hidup manusia ditentukan oleh Allah dan manusia tidak mampu untuk berbuat
apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak
mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatan adalah dipaksa dengan tidak ada
kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya perbuatan-perbuatan diciptakan tuhan
dalam dirinya.
Sedangkan Qadariyah adalah paham
yang menganut bahwa manusia mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan
kehendaknya. Dalam istilah Inggrisnya, paham ini dikenal dengan nama free
will dan free act. Kelompok Qadariyah juga percaya kepada taqdir.
Akan tetapi taqdir bagi mereka bukanlah bermakna “nasib” melainkan bermakna
kemampuan, kekuatan, atau kekuasaan.
Dua kutub akidah ini bukan lah
sesuatu hal yang harus di pertentangkan tapi bisa di jadikan sebuah formula
dalam menjalani kehidupan. Kita harus meyakini bahwa kita tak punya daya tak
punya kekuatan kecuali dengan allah, sedangkan Allah menyuruh kita untuk
berusaha, ini menjadi tugas yg di perintahkan allah pada manusia di
permukaan bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar anda di sini