Rabu, 07 Mei 2014

Syarath, Rukn, dan Sabab




BAB I
PENDAHULUAN

  A.    LATAR BELAKANG MASALAH

            Syarath berarti sesuatu yang diperlukan untuk adanya sesuatu yang lain. Dengan kata lain, syarath adalah suatu sifat yang keberadaannya sangat menentukan keberadaan hukum syari’ dan ketiadaan sifat itu membawa kepada ketiadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum syari’ tersebut dan keberadaannya tidak selalu menyebabkan adanya hukum.

            Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian syarath, perbedaan syarath dan rukn,hubungan antara syarath dan sabab,dan macam-macam syarath.


  B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian Syarath?
2.      Apa perbedaan Syarath dan Rukn?
3.      Bagaimana hubungan antara Syarath dan Sabab?
4.      Apa macam-macam Syarath?

  C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian Syarath
2.      Untuk memahami perbedaan Syarath dan Rukn
3.      Untuk mengetahui hubungan Syarath dan Sabab
4.      Untuk mengetahui macam-macam Syarath


BAB II
PEMBAHASAN

  A.   Pengertian Syarath

Dari segi etimologi, syarath berarti ‘alamah atau pertanda. Sedangkan dari segi terminologi, adalah:
مَا يَتَوَقَّفَ وُجُودُ الْحُكْمِ وُجُوْدًا شَرْعِيًّا عَلَى وُجُودِهِ، وَيَكُوْنُ خَارِجًا عَنْ حَقِيْقَتِهِ، وَيَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ الْحُكْمِ
Artinya:  “ sesuatu yang bergantung kepada adanya hukum, diamana jika ia tidak ada, maka hukumpun tidak ada, tetapi tidak berarti jika hukum tidak ada, sesuatu itupun menjadi tidak ada juga.”
            Dengan kata lain, syarath adalah suatu sifat yang keberadaannya sangat menentukan keberadaan hukum syara’ dan ketiadaan sifat itu membawa kepada ketiadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum syara’ tersebut dan keberadaannya tidak selalu menyebabkan adanya hukum. Misalnya, saksi adalah syarat sah dalam pernikahan. Pernikahan tanpa saksi tidaklah sah. Tetapi, saksi bukanlah bagian dari pernikahan, karena saksi bisa tetap ada tanpa adanya pernikahan.

  B.     Perbedaan Syarath dan Rukn

Rukn adalah sifat yang keberadaannya hukum bergantung dan sifat yang termasuk ke dalam hukum itu sendiri. Misalnya, takbiratul ihram adalah salah satu rukun shalat, dan ia berada dalam shalat itu sendiri. Tidak ada rukun maka hukum menjadi tidak sah. Adapun syarath adalah sifat yang keberadaannya hukum tersebut bergantung, tetapi ia berada di luar hukum tersebut. Misalnya, wudhu’ merupakan syarath sah shalat, tetapi wudhu itu berada di luar shalat dan adanya wudhu tidak mesti adanya shalat. Dari segi ini terdapat persamaan antara rukn dan syarath, yaitu keduanya sama-sama menentukan keberadaan dan keabsahan sutu hukum.

Akan tetapi, terdapat pula perbedaan mendasar diantara keduanya, yaitu rukn  merupakan bagian dari hukum, sedangkan syarath bukan dari bagian hukum; ia berada di luar hukum.

  C.    Hubungan antara Sabab dengan Syarath

Syarath merupakan penyempurna bagi sebab, apabila sebab dan syarat tidak terpenuhi, maka hukum tidak ada. Oleh karena itu, sebab mesti ada dalam hukum, syarat-syaratnya terpenuhi, dan tidak ada halangan dalam pemberlakuan hukum. Misalnya, pembunuhan sebagai sebab dikenakan hukum qishash, jika syaratnya terpenuhi, yaitu disengaja dan dilakukan dengan rasa permusuhan, maka pelaku dari pembunuhan tersebut wajib untuk di qishash.

  D.    Macam-macam Syarath

Para ulama’ ushul fiqih berpendapat bahwa syarath dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu:
1.      Dari segi kaitannya denagan sabab dan musabab terbagi 2 yaitu:
a.       Al-syarat al-mukammil li al-saba/ اَلشَّرْطُ اَلْمُكَمِل لِلسَبَبِ (syarath sebagai penyempurna sebab), seperti haul dalam kewajiban zakat pada harta yang telah mencapai satu nisab. Nisab adalah sebab wajibnya zakat, dan harta satu nisab itu tidak bisa dikenakan zakat, kecuali telah haul. Dengan demikian, haul adalah syarath penyempurna bagi nisab.
b.      Al-syarath al-mukammil li al-misabbab/ اَلمُكَمِل لِلمُسَبَبِاَلشَّرْطُ (syarat sebagai penyempurna musabbab), seperti bersuci dan menutup aurat adalah syarath bagi penyempurna shalat dan kemampuan menyerahkan barang sebagai penyempurna bagi akad jual beli. Ketiadaan syarat-syarat ini menyebabkan ketiadaan hukum (musabbab).

2.      Dari segi hubungan Syarath dan Masyruth terbagi 3 yaitu:
a.       Syarath ‘aqli (اَلشَّرْطُ الْعَقْلِي ) seperti kehidupan menjadi syarat untuk mengetahui. Adanya kefahaman menjadi syarat untuk taklif atau bebam hukum.
b.      Syarath ‘adi ( اَلشَّرْطُ الْعَادِي), adalah syarath yang didasarkan atas kebiasaan yang berlaku seperti bersentuhannya api dengan barang yang dapat ternakar menjadi syarat terjadinya kebakaran.
c.       Syarath syar’i (اَلشَّرْطُ الشَّرْعِيَّةِ), adalah syarat yang berdasarksan atas hukum syara’ , seperti bersuci menjadi syarat untuk shalat.

3.      Dari segi persyaratan terbagi menjadi 2 yaitu:
a.       Syarath syar’iah ( الشرط الشرعيَّة), yaitu syarat yang ditetapkan oleh Allah terhadap berbagai hukum, seperti dalam bidang hukum, mu’amalah, dan pelaksanaan hukum.
b.      Syarath ja’liyah (الشرط الجعليَّة), yaitu syarat yang dibuat oleh para mukallaf, seperti membawa barang yang telah dibeli ke rumah pembeli sebagai syarat yang disepakati penjual dan pembeli ketika akad jual beli berlangsung. Syarat bentuk kedua ini harus sejalan dengan syara’ dan sejalan dengan kebiasaan akad yang dilakukan. Apabila syarat tersebut bertentangan dengan syara’ atau tidak sejalan dengan kebiasaan akad, maka syarat tersebut batal.
                                                     


BAB III
KESIMPULAN

            Syarath merupakan suatu sifat yang keberadaannya sangat menentukan keberadaan hukum syara’ dan ketiadaan sifat itu membawa kepada ketiadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum syara’ tersebut dan keberadaannya tidak selalu menyebabkan adanya hukum. Syarath mempunyai beberapa bagian-bagian yang dibagi lagi menjadi beberapa jenis. Dalam pembahasan syarath, kita dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara syarath dan rukn juga hubungan antara sabab dan syarath.



DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011
H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1997
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda di sini